Oleh: Prof. Didik J Rachbini, Ekonom Senior Indef dan Rektor Universitas Paramadina
Saya dan juga rekan-rekan para ekonom muda di Indef sudah memprediksi tingkat pertumbuhan tahun ini dan prediksi tahun depan akan stagnan 5 persen. Alasannya selama ini tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini, dimana PMI sektor tersebar di dalam kue ekonomi ini terus menurun dan jatuh di bawah 50 persen.
Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8 persen?
Sektor industri tumbuh rendah, selama ini dalam beberapa tahun hanya sekitar 3-4 persen. Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Jokowi atau target 8 persen pada pemerintahan Prabowo Subianto. Jika industri tumbuh rendah seperti ini, maka lupakan target yang tinggi tersebut. Selama pemerintahan Jokowi sektor ini diabaikan sehingga target pertumbuhan 7 persen sangat meleset.
Terjebak Deindustrialisasi Dini
Sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini sehingga jebakan ini harus diterobos dengan reindustrialisasi berbasis sumberdaya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasinal yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik. Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri tidak lain adalah resouces-based industry, led-export industry atau outward looking industry. Strategi industri ini pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Tanpa perubahan strategi seperti ini maka mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen. Strategi industri bersaing di pasar internasional ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya target pertumbuhan tersebut.
Permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi. Karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, China, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia. Para duta besar diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.
Di luar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang kita hadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya. Dari 2010 hingga 2024 rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024. Ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik dimana rezim memaksimumkan budget (“teori budget maximazer”) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa check and balances yang sehat. Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun terakhir.
Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang ini paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Indonesia harus menaikkan tingkat suku bunga yang tidak masuk akal sampai 7,2 persen, dengan konsekuensi harus dibayar oleh dan menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar. Tingkat bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen. Tingkat suku bunga tinggi ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah di atas Rp 1.000 triliun setiap tahun.
Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara. Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024). Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo. Belanja nonproduktif semakin mendominasi sedangkan belanja produktif mengecil.
Belanja non produktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang. Tahun 2014, porsi dua belanja tersebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024. Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar Rp441 triliun untuk membayar utang.
Penutup
Demikian catatan akhir tahun 2024 yang memang dibuat untuk menjadi masukan kritis terhadap pemerintah. Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat dengan sasaran target yang tinggi.
Oleh: Kiswati, Penyuluh Pajak KPP Pratama Bekasi Barat *) Kreator konten merupakan elemen penting dari ekonomi kreatif…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Tahun 2025 diperkirakan menjadi salah satu tahun yang penuh…
Oleh: Luthfi Pranama, Pengamat UMKM Program percepatan UMKM naik kelas menjadi salah satu prioritas utama dalam kepemimpinan…
Oleh: Kiswati, Penyuluh Pajak KPP Pratama Bekasi Barat *) Kreator konten merupakan elemen penting dari ekonomi kreatif…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Tahun 2025 diperkirakan menjadi salah satu tahun yang penuh…
Oleh: Luthfi Pranama, Pengamat UMKM Program percepatan UMKM naik kelas menjadi salah satu prioritas utama dalam kepemimpinan…