NERACA
Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mengatakan pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik akan tetap stabil pada 2024 dan 2025, namun perubahan kebijakan Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump yang akan datang kemungkinan besar akan mempengaruhi prospek jangka panjang kawasan itu.
Menurut laporan baru ADB dalam Asian Development Outlook (ADO) Desember 2024, perubahan-perubahan pada kebijakan perdagangan, fiskal, dan imigrasi AS dapat mengurangi pertumbuhan dan menambah inflasi di negara-negara berkembang Asia dan Pasifik. “Kebijakan-kebijakan yang diperkirakan akan diterapkan oleh pemerintahan baru AS dapat memperlambat pertumbuhan dan mendorong inflasi sampai batas tertentu di Republik Rakyat Tiongkok (RRT), kemungkinan besar setelah tahun depan, dan juga berdampak pada perekonomian lain di Asia dan Pasifik,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Park dalam keterangan di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Ekonomi negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik diproyeksikan tumbuh 4,9 persen pada 2024, sedikit di bawah perkiraan ADB pada September 2024 sebesar 5 persen. Sementara proyeksi pertumbuhan 2025 diturunkan menjadi 4,8 persen dari 4,9 persen, terutama karena melemahnya prospek permintaan domestik di Asia Selatan.
Proyeksi inflasi di kawasan itu dipangkas menjadi 2,7 persen dari 2,8 persen pada 2024, dan dipangkas menjadi 2,6 persen dari 2,9 persen pada 2025, sebagian karena ekspektasi moderasi harga minyak. Albert menuturkan permintaan domestik dan ekspor yang kuat secara keseluruhan terus mendorong ekspansi ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik.
Namun, perubahan-perubahan kebijakan AS yang signifikan diperkirakan akan memakan waktu dan dilakukan secara bertahap, sehingga dampaknya terhadap kawasan itu kemungkinan besar baru akan terlihat mulai tahun 2026. Menurut dia, dampaknya dapat terlihat lebih cepat jika kebijakan tersebut diimplementasikan lebih awal dan lebih cepat dari yang diharapkan, atau jika perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS melakukan impor lebih awal untuk menghindari potensi tarif.
Dalam skenario berisiko tinggi, ADB memproyeksikan bahwa perubahan kebijakan AS yang agresif dapat mengikis sedikit pertumbuhan ekonomi global dalam empat tahun ke depan, sebesar 0,5 poin persentase secara kumulatif. Tarif berbasis luas kemungkinan besar akan mengurangi perdagangan dan investasi internasional, sekaligus menyebabkan pergeseran ke arah produksi dalam negeri yang lebih mahal.
Pada saat yang sama, berkurangnya imigrasi dapat memperketat pasokan tenaga kerja AS. Dikombinasikan dengan sikap fiskal yang berpotensi lebih ekspansif di bawah pemerintahan Trump yang akan datang, tarif dan pembatasan migrasi dapat menghidupkan kembali tekanan inflasi di AS.
Terlepas dari skala perubahan kebijakan AS yang diasumsikan, terutama pada tarif, dampaknya terhadap negara berkembang di Asia dan Pasifik terbatas pada skenario berisiko tinggi itu. Bahkan tanpa adanya dukungan kebijakan tambahan, pertumbuhan produk domestik bruto di RRT dapat melambat rata-rata hanya 0,3 poin persentase per tahun hingga tahun 2028.
Efek limpahan negatif di seluruh kawasan, melalui perdagangan dan hubungan lainnya, kemungkinan besar akan diimbangi dengan pengalihan perdagangan dan relokasi produksi dari Tiongkok ke negara lain.
Dalam waktu dekat, prospek sebagian besar perekonomian di kawasan tersebut relatif stabil. Perkiraan pertumbuhan untuk Tiongkok tidak berubah pada 4,8 persen di tahun 2024 dan 4,5 persen pada 2025. Prospek India direvisi turun dari 7 persen menjadi 6,5 persen untuk tahun ini, dan dari 7,2 persen menjadi 7 persen tahun depan, karena pertumbuhan investasi swasta dan permintaan perumahan yang lebih rendah dari yang diperkirakan.
Selanjutnya, prospek pertumbuhan Asia Tenggara telah dinaikkan menjadi 4,7 persen tahun ini dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,5 persen, didorong oleh ekspor manufaktur yang lebih kuat dan belanja modal pemerintah. Perkiraan untuk tahun depan tidak berubah pada 4,7 persen. Sedangkan prospek pertumbuhan untuk Kaukasus dan Asia Tengah telah dinaikkan menjadi 4,9 persen tahun ini dari 4,7 persen, dan menjadi 5,3 persen tahun depan dari 5,2 persen, sementara proyeksi untuk Pasifik tidak berubah yaitu 3,4 persen tahun ini dan 4,1 persen tahun depan.
Terlepas dari ketidakpastian seputar perubahan kebijakan AS, risiko-risiko terhadap prospek pertumbuhan dan inflasi di Asia dan Pasifik termasuk eskalasi ketegangan geopolitik serta berlanjutnya kerentanan pasar properti di Tiongkok. ADB berkomitmen mencapai Asia dan Pasifik yang makmur, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan, serta terus melanjutkan upayanya memberantas kemiskinan ekstrem. Didirikan pada 1966, ADB dimiliki oleh 69 anggota—49 di antaranya berada di kawasan Asia dan Pasifik.
UMKM juga Perlu Beralih ke Energi Bersih NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong UMKM untuk melakukan…
Pajak Digital Terkumpul Rp10,59 Triliun NERACA Jakarta - Pemerintah menghimpun pajak dari sektor digital sebesar Rp10,59 triliun sepanjang Januari hingga…
ESDM Pastikan Percepatan Perizinan Pembangunan SPBUN NERACA Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bakal…
UMKM juga Perlu Beralih ke Energi Bersih NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong UMKM untuk melakukan…
Pajak Digital Terkumpul Rp10,59 Triliun NERACA Jakarta - Pemerintah menghimpun pajak dari sektor digital sebesar Rp10,59 triliun sepanjang Januari hingga…
ESDM Pastikan Percepatan Perizinan Pembangunan SPBUN NERACA Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bakal…