NERACA
Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati membuat regulasi terkait kenaikan pajak, agar tidak menurunkan daya beli masyarakat. "Untuk menaikkan tax ratio kita salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak, walaupun masih ada cara lain. Namun, pemerintah juga harus hati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini malah menggerus daya beli," ujar Agus saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (19/11).
Dirinya pun memahami apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan tarif pajak. Pasalnya, salah satu permasalahan dalam perpajakan adalah masih rendahnya tax ratio Indonesia dibandingkan negara G20 serta beberapa negara di ASEAN. Untuk tahap awal, ia mengusulkan agar implementasi PPN 12 persen yang akan dipungut pada 2025 diterapkan terhadap sektor-sektor tertentu yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap daya beli masyarakat luas.
Menurutnya, pemilihan produk elektronik, fesyen, dan otomotif merupakan langkah yang cukup bijak karena produk-produk ini bukanlah produk primer yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat luas, ketiga jenis produk ini menurutnya masuk ke kategori kebutuhan sekunder, bahkan sebagian masuk ke dalam luxury goods atau barang mewah. "Jadi nanti yang terkena efek secara langsung adalah masyarakat kelas menengah atas yang memiliki penghasilan relatif tinggi," katanya.
Ia juga memprediksi, kenaikan PPN ini di awal implementasi mungkin akan terasa ada efeknya, terutama terhadap jumlah permintaan. Namun, katanya, mengingat konsumen adalah kelas menengah atas, adaptasi dan penyesuaian pola konsumsi akan terjadi sehingga dalam jangka menengah panjang pola konsumsi akan kembali normal.
Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU). Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani. Dia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat perluasan objek pajak lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara daripada kenaikan PPN 12 persen. “Kalau mau mendorong rasio pajak, perluas objek pajak, bukan utak-atik tarif,” kata Bhima.
Menurutnya, pemerintah bisa mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp86 triliun per tahun. Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif dari kebijakan PPN 12 persen.
Sebab, dia meyakini kenaikan tarif PPN di tengah kondisi perekonomian saat ini bukan menjadi solusi yang tepat untuk mendongkrak pendapatan negara. Kenaikan tarif PPN 12 persen bila diakumulasikan dalam empat tahun terakhir, kenaikannya terhitung sebesar 20 persen. “Dari 10 persen ke 11 persen, kemudian ke 12 persen, total 20 persen kenaikannya,” jelasnya.
Dengan perhitungan itu, maka kenaikan tarif PPN terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Sementara efek kenaikan PPN 12 persen bisa berdampak langsung terhadap inflasi umum, yang akhirnya berpotensi meningkatkan harga barang.
Terlebih, kelas menengah yang menjadi kelompok utama penyumbang konsumsi rumah tangga telah menghadapi berbagai tekanan, seperti kenaikan harga pangan dan sulitnya mencari pekerjaan. Bila ada penerapan PPN 12 persen, dikhawatirkan kemampuan belanja masyarakat bisa menurun.
NERACA Jakarta – Plastics & Rubber Indonesia 2024 resmi dibuka hari ini hingga 23 November mendatang, di Jakarta International…
NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang…
NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengingatkan wajib pajak bahwa melapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan…
NERACA Jakarta – Plastics & Rubber Indonesia 2024 resmi dibuka hari ini hingga 23 November mendatang, di Jakarta International…
NERACA Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati…
NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang…