Natura Kena Pajak, Pahami Secara Bijak

 

 

Oleh : Agus Puji Priyono, Penyuluh Pajak Ahli Muda Kanwil DJP Banten *)

 

Selain bentuk uang (benefit in-cash), penghasilan yang diterima pegawai dapat dalam bentuk barang atau disebut natura (benefit in-kind). Demi keadilan dan kesetaraan perlakuan pajak bagi imbalan dalam bentuk uang maupun barang serta untuk menghindari upaya penggerusan basis pajak dimana tarif PPh Badan lebih kecil dari PPh orang pribadi, pemerintah mencoba memberikan stimulus guna menambah kesejahteraan pegawai. Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berlaku 29 Oktober 2021.

Dalam undang-undang tersebut diatur pengeluaran dalam bentuk natura yang sebelumnya tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bagi pemberi menjadi diperbolehkan. Namun sebagai gantinya, bagi pegawai menjadi objek PPh. Pertanyaannya bagaimana memahami kebijakan yang baru ini? Faktor penting yang menjadi pertimbangannya adalah prinsip kepantasan. Diperkirakan potential tax loss dari penerimaan PPh Badan sebesar Rp8,6 triliun menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedangkan penerimaan PPh Pasal 21 diestimasi sebesar Rp6,74 triliun oleh Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).

Lingkup Kebijakan

Hal pertama kali yang harus dipahami terkait dengan natura yang bukan objek PPh sesuai UU HPP dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022) yakni penggantian atau imbalan yang diterima pegawai sehubungan dengan pekerjaan adalah tidak berbentuk uang. Imbalan dalam bentuk natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain cek, saldo tabungan, uang elektronik, ataupun saldo dompet digital melalui pengalihan dari pemberi kepada penerima. Oleh sebab itu, apabila pegawai diberikan tunjangan dalam bentuk uang ataupun reimburse maka tidak termasuk dalam ruang lingkup kebijakan ini.

Kedua, pemberi kerja harus memahami bahwa natura menjadi objek PPh apabila diberikan sebagai bentuk penggantian atau imbalan kepada pegawai. Dengan kata lain, apabila pemberian natura merupakan biaya operasional pemberi kerja maka tentunya natura tersebut diperoleh pegawai bukan karena permintaannya. Oleh sebab itu, kontrak kerja antara pemberi kerja dan pegawai menjadi kunci utama. Contoh pegawai diberi sepeda motor untuk kado pernikahan. Hal ini betul bentuknya natura, namun termasuk dalam aturan sumbangan karena bukan imbalan bagi pegawai sehubungan dengan pekerjaan dan inisiatifnya dari pemberi kerja.

Ketiga, pemberian natura oleh pemberi kerja harus dalam rangka sehubungan dengan pekerjaan. Hal ini dimaksudkan agar pemberi kerja dapat membebankan biaya tersebut sesuai prinsip mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Dengan demikian kembai lagi, kontrak kerja penting adanya.

Apabila ketiga hal ini terpenuhi maka natura yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pegawai dapat dibebankan sebagai biaya, namun bagi penerimanya menjadi objek PPh melalui pemotongan. Tapi pertanyaan selanjutnya apakah semuanya dikenai PPh? Bukankah prinsip kepantasan jadi pertimbangannya?

Natura Bukan Objek PPh

Dalam PP 55/2022 mengatur 2 (dua) hal natura yang bukan merupakan objek PPh bagi penerimanya dan tentunya bagi pemberi boleh menjadi pengurang penghasilan yang dilihat dari aspek keharusan serta sumber dananya. Aturannya juga tidak memberikan batasan nilai bagi penerima.

Pertama, natura yang sifatnya keharusan disediakan oleh pemberi kerja sehubungan dengan persyaratan mengenai keamanan, kesehatan, atau keselamatan (K3) pegawai terbatas untuk pakaian seragam serta natura dalam rangka penanganan endemi, pandemi, atau bencana nasional. Tapi batasannya harus diwajibkan oleh kementerian atau lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, natura yang bersumber atau dibiayai APBN, APBD, atau APBDes serta tidak ada batasan siapa penerimanya.

Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023) mengatur bingkisan yang diterima pegawai dengan mempertimbangkan unsur kepantasan dianggap bukan objek pajak namun tetap dapat menjadi beban bagi pemberinya. Ruang lingkup atau batasan bingkisan tidak dibatasi bentuknya seperti makanan atau minuman termasuk bahannya, emas batangan, ataupun alat elektronik. Pemberian bingkisan ini ada 2 (dua) hal penting yang harus dicermati yakni ada yang syaratnya harus diterima seluruh pegawai atau cukup sebagian pegawai.

Pertama, kewajiban yang harus diterima oleh seluruh pegawai terdapat ketentuan tambahan yakni terbatas dalam rangka 5 (lima) hari besar keagamaan untuk Hari Raya Idulfitri, Hari Raya Natal, Hari Suci Nyepi, Hari Raya Waisak, atau Tahun Baru Imlek. Satu hal yang perlu dicatat adalah tidak adanya batasan nilai serta tentunya setiap pegawai tidak harus memperoleh bingkisan yang sama nilainya, namun seyogyanya tetap mempertimbangkan unsur kepantasan.

Contoh sebuah perusahaan terdapat direktur yang merupakan anak pemegang saham yang diberikan bingkisan berupa mobil sedan listrik terbaru senilai Rp700juta saat hari raya Idulfitri agar supaya tidak kena pajak penghasilan. Pemberian natura tersebut tentunya di luar kepantasan sehingga sepatutnya menjadi objek pajak penghasilan dan dimungkinkan juga menjadi dividen terselubung bagi pemegang saham. Hal ini bisa berdampak pula dengan tidak dapat dibebankannya sebagai biaya oleh pemberi kerja. Untuk menghindari perbedaan pendapatan maka sebaiknya manajemen memiliki notula rapat dalam penentuan pemberian bingkisan kepara para pagawainya.

Lalu apakah semua harus diberi dalam waktu yang sama karena syaratnya harus diterima seluruh pegawai? Jawabannya betul dan solusinya dapat dengan cara pemberian dibagikan kepada setiap pegawai dengan nilai proporsional. Misalnya, untuk hari raya idulfitri bagi pegawai yang beragama Islam diberikan 90% dan pemeluk agama lain 10% dari total biaya. Sebaliknya pada saat ada hari raya keagamaan lain maka pegawai yang beragama Islam hanya mendapatkan 10%.

Kedua, bingkisan yang diterima boleh sebagian pegawai terdapat batasan nilai yakni tidak lebih dari Rp3 juta/pegawai setiap tahun. Lalu besarnya PPh dikenai dari selisihnya saja. Sebagai contoh ada pegawai pada bulan Juli 2023 menerima televisi dalam rangka apresiasi kinerja atau ulang tahun perusahaan senilai Rp4juta. Maka penghasilan yang menjadi objek pajak pada bulan Juli 2023 adalah Rp1juta karena sudah melewati Rp3juta. Untuk bingkisan bulan berikutnya akan dikenakan dari sejumlah yang diterima dengan menggunakan nilai pasar atau harga pokok penjualan sekiranya memang barang tersebut diperjualbelikan oleh pemberinya.

Lalu apa yang membedakan bingkisan dengan hadiah perlombaan, hadiah sehubungan dengan kegiatan, serta penghargaan berupa prestasi dalam kegiatan tertentu yang diterima oleh pegawai? Bukankah PPh yang dikenakan atas hadiah dan penghargaan diatur khusus dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2015 dan dikenakan tarif PPh progresif Pasal 17 dari nilai barang?

Perbedaannya, adalah hadiah dan penghargaan tersebut diperoleh karena pegawai secara aktif mengikuti acara yang disiapkan oleh pemberi kerja serta dapat tidak berhubungan dengan pekerjaan seperti acara 17 Agustusan. Sebaliknya, bingkisan dalam PMK 66/2023 diberikan sebagai imbalan pegawai sehubungan dengan pekerjaan yang merupakan inisiatif dari pemberi kerja. 

Pemahaman terhadap kebijakan baru membutuhkan pengetahuan kerangka desainnya melalui latar belakang dan tujuannya. Imbalan sehubungan dengan pekerjaan semula berlaku konsep Nontaxable-Nondeductible menjadi Taxable-Deductible, di satu sisi menguntungkan pemberi kerja sedangkan bagi penerimanya perlu kehati-hatian serta kejelasan memberikan batasan pengecualian (exceptional clause).

Pendekatan kombinasi negative-list dengan positive-list disertai batasan tertentu menyebabkan regulasi natura menjadi kompleks karena jika tidak memenuhi syarat dan ketentuan khusus yang telah diatur dalam pengecualian akan menyebabkan natura tersebut menjadi objek PPh. Bagi otoritas pajak sebaiknya memberikan definisi dari bingkisan karena hal tersebut dapat menjadi aggressive tax planning oleh pemberi kerja. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi  

 

BERITA TERKAIT

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…

BERITA LAINNYA DI Opini

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…