Kaitan Aspek PPh Laba Usaha dengan P3B di Indonesia

 

 

Oleh: Diana Mariani, Penyuluh Pajak Muda di KPP Wajib Pajak Besar Tiga *)

 

            Persetujuan Pengenaan Pajak Berganda (P3B) atau yang biasa dikenal dengan tax treaty” merupakan salah satu simbol dari hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik antara dua negara. Tujuan P3B adalah mengeliminasi pajak berganda (double taxation) serta menanggulangi penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion). Adapun tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan hambatan dalam perdagangan internasional hingga dapat meningkatkan investasi.

Dalam susunan P3B Indonesia yang bersifat komprehensif, konsep hak pemajakan serta ketentuan yang mengatur laba usaha (business profit) diatur secara umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait pihak mana yang berhak melakukan pemotongan pajak penghasilan atas business profit serta tarif yang digunakan sesuai dengan ketentuan P3B. Konsep hak pemajakan yang mengatur business profit perlu dipahami agar pemungutan/pemotongan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan P3B.

Memahami Pembagian Hak Pemajakan  

            Berdasarkan Pasal 32 A Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 tahun 2021 (UU HPP), pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. Hal tersebut dilakukan dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerjasama perpajakan lainnya. 

P3B Indonesia yang berlaku efektif pada umumnya mengacu kepada dua model P3B utama, yaitu Model Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD Model Tax Convention) dan Model United Nations (UN Model Double Convention Between Developed and Developing Countries). Namun demikian, pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra juga dapat bersepakat untuk membentuk pengaturan atau ketentuan yang berbeda dengan pengaturan atau ketentuan dalam kedua model P3B utama tersebut sesuai dengan kepentingan nasional masing masing negara pihak dalam P3B.

Dalam tujuannya untuk menghindari pemajakan berganda, ditentukan pembagian hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis penghasilan (substantive provisions). Dalam model P3B yang dikembangkan oleh OECD, pembagian hak pemajakan menggunakan terminologi “Shall be Taxable Only” dan “May be Taxed”.

“Shall be Taxable Only” menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara dan umumnya diberikan kepada negara tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai tax resident (negara domisili). Konsekuensi dari terminologi ini karena hak pemajakan hanya diberikan kepada satu negara dan negara lainnya dilarang untuk mengenakan pajak, maka isu pajak berganda atas suatu penghasilan yang diatur menggunakan terminologi ini seharusnya tidak akan terjadi.

Sedangkan terminologi “May be Taxed” menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan diberikan kepada negara domisili dan negara sumber. Dalam hal ini terdapat pembagian alokasi hak pemajakan dimana negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Hal ini dapat menimbulkan potensi pajak berganda. Untuk mengindari adanya pajak berganda, negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) sesuai ketentuan domestik dari negara domisili.

Hak pemajakan atas laba usaha (business profit) diatur pada Pasal 7 dalam struktur P3B secara umum. Dimana laba perusahaan disuatu negara hanya akan dikenakan pajak di negara itu kecuali perusahaan itu menjalankan usahanya di negara lainnya melalui suatu pendirian tetap yang berkedudukan di negara lain tersebut. Makna “Shall be Taxable Only” dalam pasal pasal substantif terkait laba usaha (business profit) adalah bahwa penghasilan atas laba usaha hanya dikenakan pajak di negara domisili, sedangkan makna “May be Taxed” adalah bahwa penghasilan atas laba usaha dapat dikenakan pajak di negara sumber jika laba usaha tersebut diperoleh dari kegiatan bisnisnya di negara sumber melalui BUT (Bentuk Usaha Tetap). 

Pada Pasal 7 dalam struktur P3B secara umum disebutkan bahwa suatu perusahaan dari suatu Negara menjalankan usaha nya di Negara lain melalui suatu pendirian tetap yang berkedudukan disana. Masing-masing negara akan memperhitungkan laba pendirian tetap itu sama dengan laba seandainya pendirian tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa, dan yang mengadakan hubungan sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang mempunyai pendirian tetap tersebut. Artinya subjek pajak penghasilan di negara sumber adalah laba usaha dari BUT, terpisah dari laba perusahaan di negara domisilinya.

Definisi laba usaha (business profit) sendiri tidak diatur secara jelas dalam P3B. Pada umumnya laba usaha suatu perusahaan berasal dari kegiatan bisnisnya baik dari imbalan atas jasa yang diterima atau diperoleh maupun laba dari aktivitas penjualan barang yang dilakukan.

Penetapan Bentuk Usaha Tetap (BUT)

            Berdasarkan konsep pembagian hak pemajakan diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum atas penghasilan berupa laba usaha (business profit), pengenaan pajaknya adalah di negara domisili kecuali terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara sumber. Apa yang dimaksud dengan BUT dan apa implikasi perpajakan yang timbul apabila Wajib Pajak Luar Negeri telah memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai BUT di Indonesia?

 Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap pada Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau Badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria berupa adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia, tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a bersifat permanen, dan tempat usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a digunakan oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

 Namun demikian, meski tidak memenuhi kriteria adanya suatu tempat usaha, Orang Pribadi Asing atau Badan Asing tetap dianggap sebagai BUT selama memenuhi kriteria berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35 Tahun 2019, salah satunya adalah pemberian jasa oleh Orang Pribadi Asing atau Badan Asing dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Penyerahan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri di Indonesia yang melebihi jangka waktu (time-test) menimbulkan adanya BUT di Indonesia. Dalam prakteknya time-test ini bervariasi antara suatu perjanjian penghindaran pajak dengan dengan yang lainnya.

Berdasarkan sistem self assessment di Indonesia maka BUT tersebut wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atau dapat ditetapkan secara jabatan. Jadi perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima melalui kegiatan tersebut adalah:

a)    Dalam hal memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai BUT maka perlakuan perpajakannya sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Jika telah terdaftar dan memiliki NPWP maka dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif normal sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  2. Jika tidak memiliki NPWP maka dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif pemotongan lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif normal;

b)    Dalam hal tidak memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai BUT maka perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Wajib Pajak Luar Negeri dengan tarif pemotongan PPh Pasal 26. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dapat memperoleh manfaat P3B sesuai dengan ketentuan P3B sepanjang WPLN menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan pemanfaatan P3B. Dengan adanya konsep pemajakan pada P3B bahwa penghasilan business profit dikenakan di negara domisili, maka di Indonesia sebagai negara sumber dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif pemotongan sebesar 0%.

Dengan memahami konsep hak pemajakan atas laba usaha (business profit), dalam menentukan perlakuan perpajakan atas transaksi internasional langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi subjek pajak dan objek pajak dari transaksi tersebut. Dalam mengidentifikasi penghasilan apabila transaksi tidak termasuk dalam penghasilan dari penggunaan immovable property, berasal dari penghasilan pasif (dividen,bunga dan royalti) serta penghasilan dari pengalihan aset (capital gain) maka penghasilan tersebut akan mengikuti article business profit dalam P3B kecuali penghasilan yang tidak secara tegas diatur dalam pasal-pasal substantif yang masuk ke dalam cakupan “other income” dalam P3B.

Langkah selanjutnya adalah menentukan perlakuan pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, apakah ada pajak yang terhutang atau tidak, mengidentifikasi apakah WPLN dapat memanfaatkan ketentuan P3B atas transaksi tersebut melalui pengecekan Surat Keterangan Domisili (SKD), dan melakukan estimasi time-test atas BUT pemberian jasa untuk menentukan hak pemajakan berdasarkan P3B atas penghasilan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa secara umum atas penghasilan laba usaha (business profit), hak atas pemajakan berada pada negara domisili. Negara sumber memperoleh hak pemajakan apabila Wajib Pajak Luar Negeri diwakili dengan BUT di Indonesia. Wajib Pajak agar mengidentifikasi perlakuan perpajakan yang sesuai untuk masing-masing transaksi mengacu kepada ketentuan P3B terkait khususnya pada Article 7 di P3B secara umum.*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…

BERITA LAINNYA DI Opini

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…