Menyelamatkan Garuda Indonesia

 

Oleh  : Ahmad Febriyanto, Mahasiswa FEB Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

PT Garuda Indonesia Tbk atau GIAA merupakan perusahaan persero di bawah Kementerian BUMN. Kepemilikan saham mayoritas adalah Pemerintah Republik Indonesia. Dengan rincian saham seri A Dwiwarna adalah Pemerintah Republik Indonesia dan memegang saham seri B Garuda Indonesia sebanyak 15,67 miliar unit atau sekitar 60,54%. Dengan pemegang saham lain adalah PT Trans Airways dengan jumlah saham 7,32 miliar unit atau 28,26% dan kepemilikan saham masyarakat melalui bursa saham sebesar 2,8 miliar unit atau 11,2%.

Namun permasalahan terkait keuangan perusahaan nampaknya masih menghantui perusahaan GIAA. Karena pada semester I 2021 GIAA mencatat kerugian bersih senilai US$ 898,65 juta atau Rp 12,85 triliun. Serta pada akhir September 2021 tercatat bahwa kerugian yang dialami Garuda Indonesia mencapai US$ 1,66 miliar atau Rp 23,7 triliun (kurs Rp 14.307 per dolar AS). Akibat dari kerugian tersebut membuat pembengkakan pada saldo rugi GIAA menjadi Rp 70,5 triliun, serta penyusutan aset sebesar 12,88% atau setara Rp 134,79 triliun.

Pada 2021 juga GIAA telah dua kali lolos dari risiko kepailitan. Lolos nya GIAA pertama adalah ketika Aercap Ireland Limited mencabut gugatan pailit kepada Garuda di Supreme Court New South Wales pada tanggal 28 Juli 2021. Kemudian yang kedua adalah  Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh  PT My Indo Airlines.

Selain itu permasalahan internal GIAA juga menjadi sorotan masyarakat Indonesia. Seperti pada 2021 direktur utama Garuda Indonesia terlibat dalam penyelundupan barang mewah berupa onderdil Harley Davidson dan sepeda brompton pada pesawat baru Airbus a330-900NEO pada 17 November 2021. Selain itu pada 2022 Jaksa Agung mengungkapkan adanya kasus korupsi terkait pengadaan pesawat baru dengan total kerugian negara sebesar Rp8,8 miliar.

Dalam angka Rp8,8 miliar bukanlah angka yang kecil. Indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam pengadaan 18 unit pesawat tersebut dilihat dari ketidaksesuaian mulai dari tahap perencanaan maupun evaluasi dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia Tbk. Sehingga hal tersebut yang juga menyebabkan bahwa performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan dan menimbulkan kerugian negara sebesar USD$ 609 juta atau setara Rp 8,8 miliar.

Dugaan Korupsi

Permasalahan terkait kerugian negara yang menjerat perusahaan milik negara memang bukanlah cerita baru di Indonesia. Serangkaian kisah tentang anak usaha BUMN yang ‘belum selesai’ dengan masalah manajemen internal keuangan sudah banyak terdengar. Dua kasus skandal korupsi yang terjadi di PT. Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI dengan total kerugian Rp 39,58 triliun juga merupakan bukti nyata bahwa masih ada masalah dalam tubuh anak usaha BUMN.

Dalam perspektif ini yang dibicarakan bukan bagaimana cara membebaskan perusahaan dari kepailitan. Namun hal yang paling utama adalah bagaimana memperbaiki mental-mental direksi maupun seluruh bagian yang berada pada dalam PT Garuda Indonesia pada khusus nya. Karena menurut Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo bahwa kerugian yang ada pada PT Garuda Indonesia Tbk utamanya disebabkan karena dua faktor. Pertama adalah dugaan korupsi dan yang kedua adalah dampak covid-19.

Sehingga memang sudah jelas permasalahan atau ‘penyakit’ yang perlu dibebaskan dari tubuh Garuda Indonesia adalah korupsi. Secara pemikiran sederhana dapat dikatakan bahwa seberapa pun keuntungan yang ada jika masih ada ‘penyakit’ maka sedikit demi sedikit akan merugikan perusahaan. Sehingga jargon atau tagline yang saat ini gencar digunakan oleh BUMN adalah AKHLAK (Amanah Kompeten Harmonis Loyal Adaptif Kolaboratif ). Dengan adanya tagline tersebut diharapkan seluruh bagian dari BUMN dapat melakukan perbaikan bukan hanya terkait manajemen perusahaan tetapi juga manajemen moral, sikap, dan akhlak.

Jika dilihat dari segi keuntungan Garuda Indonesia mampu membukukan keuntungan dengan selisih kurs dengan nilai bersih US$ 50,57 juta (periode semester I-2021). Keuntungan tersebut tercatat naik secara signifikan sekitar 149,5% dibanding periode tahun sebelumnya. Terlepas dari segala beban yang ada sebenarnya memang Garuda Indonesia masih dapat untung. Sehingga aspek setelah seluruh direksi dan bagian dari tubuh Garuda Indonesia memiliki semangat yang sama untuk mencari jalan keluar masalah kerugian perusahaan, maka pemerintah pun masih siap membantu untuk memberikan modal bagi Garuda Indonesia.

Negara Turun Tangan

Serangkaian masalah yang nampaknya terus menyelimuti maskapai plat merah tersebut mengharuskan Menteri BUMN Erick Thohir untuk turun tangan dalam menyelamatkan nasib perusahaan. Upaya dalam mencari investor maskapai kelas dunia seperti Emirates dan Etihad dilakukan untuk memperbaiki kinerja Garuda. Namun sebelum itu pemerintah akan melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada PT Garuda Indonesia Tbk dengan nilai Rp 7,5 triliun.

Sehubungan dengan adanya PNM tersebut skema yang akan dilakukan adalah pemberian hak memesan efek (HMETD) atau right issue terlebih dahulu. Sehingga direncanakan Garuda Indonesia akan menerbitkan sebanyak 22,58 miliar saham atau sebesar 871,44% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor GIAA pada saat keterbukaan informasi.  Dari suntikan dana PNM Rp 7,5 triliun tersebut nantinya bukan untuk menyelesaikan terkait hutang dengan jumlah Rp 139 triliun (per Desember 2021) namun untuk menutupi biaya operasional perusahaan.

Kembalinya kepercayaan pemerintah untuk melakukan PMN pada Garuda Indonesia seharusnya juga menjadi pelajaran bahwa sebenarnya maskapai plat merah tersebut masih diselamatkan dan diperhatikan oleh pemerintah. Perbaikan manajemen direksi GIAA diharapkan fokus pada penyelesaian persoalan pelunasan utang maskapai Sehingga memang diharapkan adanya perbaikan manajemen baik dari direksi hingga seluruh aspek yang menjadi bagian dalam perusahaan guna meminimalisir kejadian ‘khilaf’ yang menyebabkan kerugian negara terus bertambah. Karena kembali lagi bahwa aspek utama yang harus diperbaiki adalah mentalitas, moral, dan akhlak agar supaya tidak terjadi lagi ‘main belakang’ saat pemerintah sedang berusaha menyelamatkan Sang Garuda.

BERITA TERKAIT

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…

BERITA LAINNYA DI Opini

Perangi Judi Daring Perlu Dukungan Publik

    Oleh : Aria Seto, Pemerhati Sosial Budaya      Judi daring atau Judi Online bukan sekadar pelanggaran hukum,…

RUU KUHAP Tegaskan Azas Partisipatif dan Transparan

Oleh: Mustika Annan, Pengamat Hukum   Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah memasuki tahap penting dalam…

Perbuatan Melawan Hukum dan Kerugian Negara dalam Tipikor

     Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, CPA., BKP, Akuntan Forensik     Sebuah media nasional (29/11/23) mengungkapkan terkait penjelasan frasa kerugian…