7 Catatan Banggar DPR dalam RAPBN 2021

 

 

NERACA

 

Jakarta - Pemerintah telah merancang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 dengan melakukan pembahasan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) 2021 dengan perwakilan rakyat. Atas pembahasan tersebut, Ketua Banggar Said Abdullah menyampaikan 7 catatannya. 

 

Pertama, pembahasan KEM dan PPKF 2021 merupakan bentuk tanggung-jawab konstitusi bersama, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 17/2014 tentang MD 3. KEM dan PPKF akan menjadi bahan pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan nota keuangan RAPBN 2021 kepada DPR nantinya.

 

Dalam keterangan yang diterima, Jumat (19/6), Said menyampaikan catatan yang kedua yaitu pembahasan KEM dan PPKF 2021 menjadi sangat krusial dan penting, dalam kondisi yang extraordinary di tengah pandemi. "Pandemi COVID-19 telah mengubah perkembangan dan tatanan ekonomi dan sosial di seluruh dunia. Pandemi ini tidak saja dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, tetapi juga mengganggu perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, KEM dan PPKF yang akan menjadi dasar penyusunan RAPBN Tahun 2021 menjadi harapan untuk pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi," jelasnya. 

 

Ketiga, RAPBN 2021 diharapkan dapat menjadi stimulus yang lebih produktif, efektif dan efisien, agar mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan dan perbaikan neraca keuangan pemerintah. "Oleh karena itu, upaya Pemerintah dalam menjalankan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sektoral dan fiskal yang diarahkan antara Iain untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, mempercepat pembangunan SDM dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, memperkuat peran dan kontribusi sektor UMKM, membangun industri dan domestic supply Chain nasional, membangun ketahanan pangan, serta pemerataaan pembangunan antar wilayah," jelasnya. 

 

Catatan yang keempat adalah kebijakan yang sudah ditempuh oleh pemerintah dan DPR di 2020, antara Iain dengan penetapan Perppu No.1/2020 menjadi Ul-J No. 2 Tahun 2020 dan peraturan turunannya yang sudah dikeluarkan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagai langkah penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan perekonomian nasional serta stabilitas sistem keuangan, menjadi landasan penting dalam perumusan kebijakan fiskal tahun 2021.

 

Oleh sebab itu, yang kelima adalah penyusunan APBN 2021 akan sangat tergantung dari keberhasilan pelaksanaan penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Program Penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diperkirakan akan memakan biaya sebesar Rp 905,10 Triliun. 

 

Melihat kebutuhan pendanaan yang besar untuk biaya penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional tersebut, kata dia, pemerintah dan BI berada dalam satu kesepakatan untuk pembiayaan yang bersifat barang publik dan non publik, dengan beban yang bisa ditanggung bersama (burden sharing). 

 

Misalnya, untuk pembiayaan yang bersifat barang publik (Public Goods), Pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema dalam bentuk beban yang ditanggung bersama atau Burden Sharing, dimana ditetapkan beban Pemerintah sebesar 0% dan BI sebesar 100%. Atau untuk pembiayaan yang bersifat Barang Non-Publik (Non-Public Goods), Pemerintah dan BI bisa menggunakan pola atau skema dalam bentuk beban yang ditanggung bersama atau Burden Sharing, dimana ditetapkan beban Pemerintah sebesar 50% dan dan BI sebesar 50%. dengan suku bunga khusus.

 

Terakhir, kata Said, Selama penanganan COVlD-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berlangsung, tidak boleh terjadi bank gagal yang berdampak sistemik, baik bank yang berstatus sebagai anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) maupun bank non-Himbara. "Untuk mendukung keberhasilan tersebut, Lembaga Penjamin Simapanan (LPS) didorong untuk lebih pro-aktif, untuk dapat masuk lebih awal dalam mengantisipas terjadinya bank gagal dengan menempatkan dana LPS di bank bermasalah tersebut. Oleh sebab Itu, untuk memperkuat peran LPS tersebut, perlu disediakan payung hukumnya. Penambahan kewenangan yang diberikan kepada LPS, sebagaimana terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) point c UU No. 2 Tahun 2020. Adapun ketentuan lebih lanjut, mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan, dalam rangka melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2020," pungkasnya. 

BERITA TERKAIT

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Peruri : Permintaan Pembuatan Paspor Naik Tiga Kali Lipat

    NERACA Jakarta – Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri…

Jika BBM Naik, Inflasi Diprediksi Capai 2,5-3,5%

  NERACA Jakarta – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2,5-3,5 persen pada tahun 2024…

Kemenhub Siap Fasilitasi Investasi Jepang di Proyek TOD MRT Jakarta

    NERACA Jakarta – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya siap memfasilitasi investor dari Jepang untuk pengembangan…