Ekstensifikasi Pajak Minuman Manis sebagai Tambahan Pajak Restoran

 

Oleh: I Gusti Ayu Rasvionita Ambarningrum, Staf  Ditjen Pajak

 

Dalam kehidupan modern, konsumsi minuman manis dalam berbagai jenis seperti minuman bersoda, teh, kopi, dan susu kemasan semakin diminati oleh berbagai kelompok usia dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Indonesia bahkan menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi minuman berpemanis tertinggi di Asia Tenggara dengan jumlah konsumsi sebanyak 20,23 liter per kapita per tahun.

Konsumsi gula tersebut harus dalam takaran harian yang diperbolehkan untuk menjaga kesehatan tubuh, sayangnya masih banyak masyarakat yang tidak peduli dengan hal tersebut. Data Survei Kesehatan Indonesia (2023) menunjukkan 42,2% penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas mengonsumsi gula, sirup, dan konfeksioneri setidaknya sekali sehari, sementara 33,4% lainnya mengonsumsi 1-6 kali seminggu, dan hanya 24,5% penduduk mengonsumsi kurang dari 3 kali dalam sebulan. Tingginya konsumsi minuman berpemanis berdampak negatif terhadap kesehatan dan menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas, diabetes melitus, karies gigi, gangguan metabolisme, dan kardiovaskular.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Indonesia menempati posisi kelima sebagai negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita pada tahun 2021 dan diprediksi menjadi 28,6 juta pada 2045 (Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI, 2019). Oleh karena itu, kebijakan pengenaan PPN atas minuman berpemanis ini menjadi salah satu langkah strategis yang dilakukan pemerintah dalam mengendalikan jumlah konsumsi gula serta mengurangi jumlah penderita diabetes dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh konsumsi gula yang berlebihan.

Sebagai upaya untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis yang menjadi penyebab utama berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes, pemerintah telah merencanakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas minuman berpemanis dalam kemasan yang diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Minuman berpemanis dalam kemasan mencakup minuman ringan, teh manis, jus kemasan, kopi kemasan, dan produk serupa yang diproduksi dan dijual dalam bentuk kemasan dengan harga jual yang menjadi dasar pengenaan PPN sebesar 11%.

Pihak yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yaitu produsen, distributor, atau penjual eceran minuman berpemanis dalam kemasan. Pengenaan PPN atas minuman manis dalam kemasan tersebut merupakan bentuk ekstensifikasi dalam mendukung penerimaan negara sekaligus mendorong masyarakat untuk memilih alternatif minuman yang lebih sehat dengan mengurangi konsumsi minuman manis dalam kemasan.  

Namun, kebijakan ini masih memiliki kelemahan karena hanya mencakup minuman berpemanis dalam kemasan dan tidak mencakup minuman manis yang disajikan langsung di tempat makan seperti restoran dan kafe. Padahal tidak hanya konsumsi minuman manis dalam kemasan yang semakin diminati, tren mengerjakan tugas di Kafe maupun untuk bersosialisasi dan bekerja di luar rumah dengan memesan minuman manis yang disajikan langsung di tempat makan juga semakin sering ditemui.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tujuan pengenaan pajak atas minuman manis dalam kemasan untuk menekan konsumsi minuman manis di masyarakat sebagai upaya untuk mengurangi penyakit yang disebabkan oleh konsumsi gula berlebih belum terwujud sepenuhnya karena masih terdapat minuman manis yang belum dipajaki yaitu minuman manis yang disediakan langsung di restoran.

Dengan demikian, terdapat celah dalam kebijakan perpajakan yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menambah potensi penerimaan pajak melalui ekstensifikasi pemungutan pajak daerah atas minuman manis ini, karena masih terdapat potensi penerimaan daerah. Ekstensifikasi pengenaan pajak atas minuman manis ini dapat memperluas basis pemajakan daerah dan menjadi penguatan local taxing power di daerah-daerah.

Potensi Ekstensifikasi Pajak

Ekstensifikasi ini dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari penerimaan pajak restoran yang masih memiliki potensi yang cukup besar untuk digali. Dengan peningkatan PAD, kebijakan ekstensifikasi pajak atas minuman manis dapat mendukung penguatan kemandirian fiskal daerah-daerah di Indonesia yang masih rendah.

Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (2020) menunjukkan rata-rata Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) kabupaten/kota pada tahun 2019 yaitu hanya sebesar 11% yang berarti sebagian besar pemerintah kabupaten/kota di Indonesia hanya mampu membiayai 11% dari jumlah belanja daerahnya melalui PAD. Dengan memperluas basis pemajakan atas minuman berpemanis, pemerintah daerah dapat memperkuat kemandirian fiskalnya dan meningkatkan local taxing power.

Tantangan dan Solusi

Sayangnya, implementasi dari kebijakan ini berpotensi menghadapi resistensi dari masyarakat dan para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan makanan dan minuman yang disajikan langsung di tempat pelayanan dikenakan pajak restoran dengan tarif paling tinggi sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang menyatakan pajak restoran merupakan pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran termasuk penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi di tempat pelayanan maupun dibawa pulang.

Subjek pajak dari pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengonsumsi makanan atau minuman yang disediakan oleh restoran. Jika pajak tambahan atas minuman berpemanis diberlakukan, maka ada kemungkinan masyarakat merasa terbebani oleh biaya yang lebih tinggi saat makan di restoran. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat diperlukan agar kebijakan ini dapat diterima secara luas.

Perluasan basis pemajakan atas pajak atas minuman manis dalam kemasan terhadap minuman manis yang disediakan langsung di tempat makan sebagai tambahan pajak restoran merupakan tanggung jawab/wewenang pemerintah daerah yang diharapkan dapat turut meningkatkan PAD dan memperkuat kemandirian fiskal daerah, sehingga daerah mampu membiayai program-program pembangunan daerahnya. Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah konsumsi minuman berpemanis dan menekan prevalensi penyakit gula berlebih.

Penerapan tarif pajak yang progresif dapat diberlakukan berdasarkan kandungan gula dalam minuman sehingga secara efektif dapat mengubah perilaku konsumsi masyarakat ke alternatif minuman yang lebih sehat. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan PAD dengan memperkuat local taxing power, tetapi juga menekan konsumsi gula sebagai upaya dalam menciptakan masyarakat yang lebih sehat.

BERITA TERKAIT

Gencarkan Edukasi Bahaya Judol bagi Generasi Muda

Oleh: Satria Putra Haryo,  Pengamat Sosial Budaya   Pemerintah terus menggencarkan upaya edukasi dan literasi digital untuk mencegah generasi muda…

Strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran Wujudkan Kemandirian Energi

    Oleh: Eleine Pramesti, Analis di Greenpeace Resources Institute   Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sumber daya alam yang…

Akselerasi Digital UMKM, Bukti Nyata Komitmen 100 Hari Prabowo-Gibran

    Oleh : Dirandra Falguni, Pemerhati UMKM Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran terus menunjukkan komitmen kuatnya dalam…

BERITA LAINNYA DI Opini

Gencarkan Edukasi Bahaya Judol bagi Generasi Muda

Oleh: Satria Putra Haryo,  Pengamat Sosial Budaya   Pemerintah terus menggencarkan upaya edukasi dan literasi digital untuk mencegah generasi muda…

Strategi Pemerintahan Prabowo-Gibran Wujudkan Kemandirian Energi

    Oleh: Eleine Pramesti, Analis di Greenpeace Resources Institute   Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sumber daya alam yang…

Ekstensifikasi Pajak Minuman Manis sebagai Tambahan Pajak Restoran

  Oleh: I Gusti Ayu Rasvionita Ambarningrum, Staf  Ditjen Pajak   Dalam kehidupan modern, konsumsi minuman manis dalam berbagai jenis…

Berita Terpopuler