Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
Pilkada serentak 27 November 2024 di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota telah selesai dan rekapitulasi suara juga penetapan pemenangnya sudah disampaikan di KPU masing-masing. Hasilnya sudah dipublikasikan dan pastinya ada pemenang meski ada juga yang kalah, meski ada juga tuntutan penyelesaian sengketa pilkada.
Terkait ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan registrasi 309 perkara sengketa pilkada. Kalkulasi 309 perkara terdiri 23 perkara pemilihan gubernur, 237 perkara pemilihan bupati, dan 49 perkara pemilihan wali kota. Dari 309 perkasa yang diregistrasi adalah bagian dari 314 total sengketa yang didaftarkan.
Sengketa tidak bisa terlepas dari ketidakpuasan dari hasil pilkada dan jalur MK menjadi tahap terakhir untuk legalisasi kemenangan. Beralasan jika kekalahan yang terjadi pasti tidak akan diterima. Hal ini menjadi benar adanya jika ada kata bijak mengemuka yaitu yang kalah jangan gerah tetapi harus legowo menerima sedangkan yang menang jangan jumawa atau sombong. Imbas ini yaitu ancaman terhadap iklim sospol dan bukan tidak mungkin konflik sosial - horizontal. Padahal, jika hal ini terjadi maka justru masyarakat yang menjadi korban.
Sengketa pasca pilkada secara tidak langsung memberikan harapan terhadap komitmen untuk bisa mendapatkan kepastian kemenangan dan pemenangan. Paling tidak argumen yang mendasari adalah masih adanya dugaan sejumlah pelanggaran, baik selama masa kampanye, masa tenang dan juga pada hari H pilkada mulai serangan fajar, pembagian bansos dan juga sejumlah dugaan aksi pengerahan aparat yang membuktikan ketiadaan aspek netralitas yang seharusnya menjadi kunci sukses pelaksanaan pilkada. Padahal, di seruan KPU dan perundangan pilkada sangat jelas disebutkan bahwa aparatur negara di pelaksanaan pesta demokrasi pada umumnya dan di pilkada pada khususnya harus bisa bersikap netral tanpa memihak kandidat paslon manapun dan siapapun.
Ironisnya, fakta yang terjadi justru banyak yang cawe-cawe. Bahkan, mantan Presiden juga melakukan kampanye terhadap paslon tertentu. Begitu juga Presiden melakukan kampanye untuk kandidat tertentu. Terkait ini, Bawaslu seolah tidak berkutik, tidak berdaya dan pastinya tidak berani bertindak sehingga logis jika muncul tudingan netralitas yang tergadaikan.
Logika dibalik munculnya sengketa pilkada juga tidak bisa terlepas dari tuntutan untuk bisa balik modal karena banyaknya amunisi yang telah dikeluarkan. Fakta ini tentu juga untuk banyaknya alat peraga kampanye sebagai bagian dari materi kampanye. Padahal, ketika kandidat paslon kalah dalam pilkada maka otomatis harapan balik modal sangat sulit atau tidak bisa kembali. Secara umum, kalkulasi balik modal pasca pilkada adalah korupsi.
Hipotesis ini bukan tanpa alasan karena memang faktanya demikian. Jadi, jika kalah pilkada maka lenyap uang adalah konsekuensi, sementara jika menang maka ada harapan untuk balik modal dengan korupsi, baik secara individu atau berjamaah. Fakta ini secara tidak langsung menjadi ancaman di balik sukses pilkada.
Kalkulasi sederhana menegaskan bahwa kisaran rupiah yang harus disiapkan petarung di pilkada mencapai miliaran rupiah dan pastinya tidak mungkin dana itu ditanggung sendiri dari kedua kandidat petarung baik itu sebagai calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah. Oleh karena itu, besaran nominal itu menjadi catatan rawan untuk celah korupsi saat menang karena ongkos yang dikeluarkan semakin membengkak.
Jadi logis jika di hampir semua daerah pasca pilkada akan terjadi serangkaian OTT KPK. Bahkan di pilkada kemarin ada kandidat yang harus terjerat OTT KPK dengan dugaan kasusnya pemerasan untuk maju pilkada. Fakta OTT KPK terkait kepala daerah pada dasarnya cenderung klasik yaitu jual beli jabatan dan korupsi pengadaan. Jadi, sejatinya bisa dipetakan potensi kerawanan korupsi pasca pilkada di berbagai daerah dan pasti ini menjadi muara bagi KPK untuk menelisiknya. Jadi, pasca pilkada ada 2 ancaman yaitu gugatan di MK sebagai bentuk sengketa pasca pilkada dan yang kedua ancaman OTT KPK akibat korupsi untuk balik modal.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menkeu Sri Mulyani pada Konferensi Pers APBN 2024, Senin (03/1)…
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan Kalender Promosi Dagang 2025. Peluncuran Kalender Promosi Dagang 2025 ini merupakan…
Oleh : Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Wisata halal yang digadang–gadang menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan ekonomi pemerintahan Prabowo…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Dosen STAN, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menkeu Sri Mulyani pada Konferensi Pers APBN 2024, Senin (03/1)…
Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan Kalender Promosi Dagang 2025. Peluncuran Kalender Promosi Dagang 2025 ini merupakan…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Pilkada serentak 27 November 2024 di 37…