Perokok Aktif di Atas 40 Tahun Perlu Skrining Kanker Paru

Meskipun kebiasaan merokok menyumbang presentase angka kematian terbesar kedua di Indonesia setelah hipertensi, namun tingkat perokok aktif di Indonesia terus tumbuh. Berangkat dari hal tersebut, divisi Imunologi dan penyakit paru onterstisial, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, Sita Laksmi Andarini mengatakan, para perokok aktif yang sudah menginjak usia 40 tahun ke atas perlu melakukan skrining kanker paru.“Yang wajib skrining adalah kelompok risiko tinggi di atas 45 tahun dengan kondisi perokok aktif atau mantan perokok kurang dari 10 tahun,”ujarnya dalam diskusi memperingati Bulan Kesadaran Kanker Paru secara daring di Jakarta, kemarin.

Dia melanjutkan, masih terdapat beberapa sasaran kelompok yang juga wajib untuk melakukan skrining guna mencegah terjadinya kanker paru, seperti para pekerja tambang, pekerja berisiko, dan juga keluarga yang mengidap kanker paru. Seringkali para pasien kanker paru, kata dia, datang ketika mereka sudah mencapai stadium 4 atau dalam kategori yang cukup parah. Untuk mengatasi hal itu, masyarakat yang berisiko memang sangat disarankan untuk melakukan skrining di awal.

Keterlambatan pasien datang untuk mengobati penyakitnya itu, lanjutnya, memang karena kanker paru  tidak memiliki gejala pada awal-awal. Para pengidap ini memang baru mulai merasakan ketika mereka saat masuk ke stadium 4. Alasan tersebut dikarenakan kanker paru tidak memiliki ciri-ciri khusus seperti halnya penyakit kanker-kanker yang lain.

Namun, ketika sudah masuk dalam kategori 4, mereka akan merasakan sesak hingga batuk yang berkepanjangan.“Kanker paru itu tidak ada gejala sama sekali, dia gejalanya apa? gejalanya kalau sudah muncul cairan di paru baru itu ada sesak. Batuk-batuk kalau sudah muncul cairan di paru, maka itu stadiumnya 4,” ujar dia.

Hal tersebut karena paru tidak memiliki indra perasa seperti pada organ atau bagian tubuh lain yang dapat merespon sesuatu yang tidak beres dalam bagian tersebut. Untuk diketahui bersama, tingkat kematian pada pengidap kanker ini masih sangat besar sekali. Pada tahun 2021, kata dia, data yang dibagikan mencapai 183.368 dengan tingkat kematiannya mencapai 96%.

 

Didominasi Anak Anak

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) terbaru mengungkapkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia telah mencapai 70 juta orang. Kelompok utama dari jumlah total tersebut adalah anak-anak dan remaja. Menurut data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 oleh Kemenkes RI, total jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang dengan kelompok anak dan remaja berusia 10 hingga 18 tahun menjadi perokok utama. Kelompok tersebut menunjukkan angka prevalensi yang paling signifikan, yakni sekitar 7,4%.

Berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, sebagian besar dari 63,4 perokok di Indonesia mengaku kesulitan untuk berhenti merokok meskipun memiliki keinginan untuk setop. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Indonesia perlu memiliki terapi farmakologi, yakni Terapi Pengganti Nikotin atau Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk menekan angka prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia.

NRT merupakan salah satu solusi alat bantu efektif untuk kesehatan yang lebih baik. Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa hingga saat ini tren penggunaan rokok di Indonesia masih tinggi. Tak hanya rokok konvensional alias tembakau, kenaikan tren juga diikuti oleh penggunaan rokok elektrik."Naik. Di Indonesia itu saya lihat naik," ucap Budi.

Menurut data SKI 2023, anak dan remaja berusia 10 hingga 18 tahun menjadi kelompok dengan peningkatan jumlah perokok tertinggi, yakni 7,4%. Secara rinci, kelompok usia 15 hingga 19 tahun adalah kelompok perokok terbanyak, yakni 56,5% yang diikuti usia 10 hingga 14 tahun, yaitu 18,4%.

Sementara itu, pengguna rokok elektrik dalam kelompok remaja juga mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir. Menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2021, prevalensi rokok elektrik menjadi tiga persen.

Menkes yang kerap disapa BGS itu mengatakan, pengguna rokok di Indonesia menyumbang kerugian negara sebesar triliunan rupiah lebih. Bahkan, kerugian tersebut diklaim jauh lebih besar daripada pendapatan yang diterima negara."Beban kesehatan yang dikeluarkan karena penyakit paru kronis itu jauh lebih besar dari pendapatan Bea Cukai," tegas Budi.

Secara rinci, Menkes mengungkapkan bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang salah satunya disebabkan oleh polusi dari asap rokok menghabiskan anggaran kesehatan lebih dari Rp10 triliun. Menurutnya, jumlah tersebut bahkan baru yang bersumber dari catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)."PPOK waktu polusi kemarin, itu mungkin di atas Rp10 triliun. Rp10 triliun lebih, ya. Itu yang tercatat Di BPJS, ya, belum yang di luar BPJS-nya," ungkapnya.

BERITA TERKAIT

Cegah Diare di Musim Hujan - Ingatkan Jaga Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Musim hujan potensi penyebaran penyakit juga cukup besar dan karena itu menjaga imunitas tubuh serta menjaga pola hidup bersih menjadi…

Waspadai Potensi Bahaya Dermaroller dan Merkuri di Kosmetik

Maraknya produk kosmetik kecantikan di pasar, menawarkan beragam pilihan bagi kaum hawa dalam mempersolek diri. Hanya saja, dari sekian banyak…

Perlunya Deteksi Dini Cepat Penyakit DBD

Guru Besar dalam Bidang Ilmu Virologi dan Imunologi Virus Demam Berdarah Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Prof Dra Beti Ernawati Dewi,…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Cegah Diare di Musim Hujan - Ingatkan Jaga Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Musim hujan potensi penyebaran penyakit juga cukup besar dan karena itu menjaga imunitas tubuh serta menjaga pola hidup bersih menjadi…

Waspadai Potensi Bahaya Dermaroller dan Merkuri di Kosmetik

Maraknya produk kosmetik kecantikan di pasar, menawarkan beragam pilihan bagi kaum hawa dalam mempersolek diri. Hanya saja, dari sekian banyak…

Perlunya Deteksi Dini Cepat Penyakit DBD

Guru Besar dalam Bidang Ilmu Virologi dan Imunologi Virus Demam Berdarah Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI) Prof Dra Beti Ernawati Dewi,…