GELAR FOCUS GROUP DISCUSSION, IKADIN KAJI PENERAPAN SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PIUTANG NEGARA

GELAR FOCUS GROUP DISCUSSION, IKADIN KAJI PENERAPAN SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PIUTANG NEGARA
Jakarta, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) melanjutkan rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update melalui Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk "Menelusuri Kembali Legitimasi Surat Paksa sebagai Instrumen Penagihan Utang: Sebuah Otoritarianisme Terselubung" di Hotel Morrissey Menteng, Jakarta.
Membuka kegiatan FGD ini adalah Ibu Dr. Susilo Lestari, S.H., M.H., selaku Wakil Ketua Umum DPP IKADIN yang menjelaskan pentingnya pemahaman advokat mengenai penagihan piutang negara menggunakan instrumen Surat Paksa.
“Penggunaan surat paksa bersifat parate executie, disamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena menyematkan irah-irah.”
Dr. Susilo juga menggarisbawahi pentingnya pembedahan terhadap instrumen surat paksa karena potensinya yang mudah disalahgunakan, “Luasnya wewenang Pemerintah ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang.”
Kepala Research Center dari Indonesia Center for Tax Law Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil., mengontraskan penagihan dengan surat paksa dalam piutang negara dengan perpajakan. “Dari segi due process of law, terdapat perbedaan. Di bidang pajak, dilakukan proses penagihan terlebih dahulu dan harus melalui upaya hukum. Ini beda dengan piutang negara yang bisa diterbitkan bahkan ketika Pernyataan Bersama tidak disetujui.”
“Terdapat perbedaan paradigma antara penagihan di bidang piutang negara dan pajak. Kalau di bidang pajak, biaya penagihan itu tidak boleh lebih besar dari utang pajak yang ditagih. Karenanya fokusnya adalah memperoleh pembayaran terlepas dari seberapa kecilnya itu. Hal ini berbeda dari penagihan di bidang piutang negara yang dengan terbatasi ketentuan hukum yang berlaku,” ucap perempuan yang kerap disapa Arum.
Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini juga menegaskan adanya permasalahan dari Perppu No. 49 Tahun 1960 yang menjadi dasar penagihan dengan surat paksa ini: “Banyak aspek dari Perppu 49 1960 ini sudah ketinggalan zaman dan menimbulkan problematika, seperti Pasal 14 yang memberikan delegasi kewenangan mengatur yang luas dalam membuat peraturan pelaksana. Ini sebenarnya bisa diubah dan diperbaiki jika ada kehendak politis dari DPR.”
Di sisi lain, penagihan piutang negara menggunakan surat paksa ini merupakan penyimpangan dari prinsip-prinsip hukum perdata. Pandangan ini dikemukakan oleh Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Djumikasih, S.H., M.H., yang mengemukakan kontradiksi nomenklatur dalam Pernyataan Bersama. “Pernyataan Bersama yang menjadi dasar Surat Paksa ini menarik. Biasanya suatu Pernyataan bersifat sepihak tetapi dalam hal ini dianggap ada kesepakatan dari debitur.” 
Dr. Djumikasih juga menjelaskan kejanggalan dari kedudukan Pemerintah dalam penagihan yang menggunakan surat paksa. “Piutang Negara ini bisa bersumber dari perjanjian yang berarti Pemerintah bertindak dalam bidang hukum perdata. Tidak seharusnya ditagih dengan instrumen hukum publik seperti surat paksa.” 
“Dalam hukum perdata, pemerintah sekalipun harus dianggap setara dengan pihak-pihak lainnya. Jika tidak, ini akan menjadi sangat problematik.” ucap Dr. Djumikasih.
Diskusi ini juga diperkaya dengan perspektif hukum hak asasi manusia yang dibawakan Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Eko Riyadi, S.H., M.H., “Pemerintah tidak bisa menggunakan alasan efisiensi dan efektivitas untuk menggunakan surat paksa sebagai alat penagihan piutang negara. Hal ini tidak legitimate menurut norma hukum hak asasi manusia,” ucap Eko.
“Selain alasan yang sah, penggunaan surat paksa untuk penagihan piutang negara ini juga tidak proporsional karena sumber persoalannya lebih kental dengan aspek hukum perdata. Karenanya jika bisa diselesaikan dengan hukum perdata, mengapa diperlukan instrumen semacam ini?”
Eko menyimpulkan bahwa penggunaan surat paksa merupakan kegagalan negara untuk melindungi hak kepemilikan pribadi masyarakatnya, “Seharusnya Pemerintah hadir melindungi masyarakat, tetapi ini justru mengkhianati janji-janji republik yang semakin dilupakan.”
Selain paparan dari segi teoritis, turut hadir dalam FGD ini adalah peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Alfeus Jebabun, S.H., M.H. yang menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dari surat paksa yang sangat nyata. “Surat paksa ini bisa menjadi senjata untuk mematikan lawan politik karena dapat diterbitkan sekalipun pihak yang diklaim sebagai debitur membantah keberadaan piutang negara.”
“Akhirnya dijadikan ancaman, kalau tidak mau mengakui piutang negara maka akan diterbitkan surat paksa.”
Alfeus juga menyoroti penggunaan surat paksa justru dijadikan jalan pintas untuk memperoleh pelunasan, “Atas nama efektivitas dan efisiensi pengembalian uang, Pemerintah menerabas prinsip-prinsip hukum yang berlaku.”
Para narasumber dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu hukum ini sepakat melihat isu ini problematik dan malah akan merugikan warganya, dan dengan pertimbangan kerumitan hal kehendak politik dalam menggodok produk legislasi yang bisa mengoreksinya, semuanya mengusulkan upaya uji materiil. 
Kegiatan FGD ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update yang berfokus pada hukum penagihan piutang negara yang dis

Jakarta, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) melanjutkan rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update melalui Focus Group Discussion (FGD) yang bertajuk "Menelusuri Kembali Legitimasi Surat Paksa sebagai Instrumen Penagihan Utang: Sebuah Otoritarianisme Terselubung" di Hotel Morrissey Menteng, Jakarta.

Membuka kegiatan FGD ini adalah Ibu Dr. Susilo Lestari, S.H., M.H., selaku Wakil Ketua Umum DPP IKADIN yang menjelaskan pentingnya pemahaman advokat mengenai penagihan piutang negara menggunakan instrumen Surat Paksa.

“Penggunaan surat paksa bersifat parate executie, disamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena menyematkan irah-irah.”

Dr. Susilo juga menggarisbawahi pentingnya pembedahan terhadap instrumen surat paksa karena potensinya yang mudah disalahgunakan, “Luasnya wewenang Pemerintah ini bisa menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang.”

Kepala Research Center dari Indonesia Center for Tax Law Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil., mengontraskan penagihan dengan surat paksa dalam piutang negara dengan perpajakan. “Dari segi due process of law, terdapat perbedaan. Di bidang pajak, dilakukan proses penagihan terlebih dahulu dan harus melalui upaya hukum. Ini beda dengan piutang negara yang bisa diterbitkan bahkan ketika Pernyataan Bersama tidak disetujui.”

“Terdapat perbedaan paradigma antara penagihan di bidang piutang negara dan pajak. Kalau di bidang pajak, biaya penagihan itu tidak boleh lebih besar dari utang pajak yang ditagih. Karenanya fokusnya adalah memperoleh pembayaran terlepas dari seberapa kecilnya itu. Hal ini berbeda dari penagihan di bidang piutang negara yang dengan terbatasi ketentuan hukum yang berlaku,” ucap perempuan yang kerap disapa Arum.

Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini juga menegaskan adanya permasalahan dari Perppu No. 49 Tahun 1960 yang menjadi dasar penagihan dengan surat paksa ini: “Banyak aspek dari Perppu 49 1960 ini sudah ketinggalan zaman dan menimbulkan problematika, seperti Pasal 14 yang memberikan delegasi kewenangan mengatur yang luas dalam membuat peraturan pelaksana. Ini sebenarnya bisa diubah dan diperbaiki jika ada kehendak politis dari DPR.”

Di sisi lain, penagihan piutang negara menggunakan surat paksa ini merupakan penyimpangan dari prinsip-prinsip hukum perdata. Pandangan ini dikemukakan oleh Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Djumikasih, S.H., M.H., yang mengemukakan kontradiksi nomenklatur dalam Pernyataan Bersama. “Pernyataan Bersama yang menjadi dasar Surat Paksa ini menarik. Biasanya suatu Pernyataan bersifat sepihak tetapi dalam hal ini dianggap ada kesepakatan dari debitur.” 

Dr. Djumikasih juga menjelaskan kejanggalan dari kedudukan Pemerintah dalam penagihan yang menggunakan surat paksa. “Piutang Negara ini bisa bersumber dari perjanjian yang berarti Pemerintah bertindak dalam bidang hukum perdata. Tidak seharusnya ditagih dengan instrumen hukum publik seperti surat paksa.” 

“Dalam hukum perdata, pemerintah sekalipun harus dianggap setara dengan pihak-pihak lainnya. Jika tidak, ini akan menjadi sangat problematik.” ucap Dr. Djumikasih.

Diskusi ini juga diperkaya dengan perspektif hukum hak asasi manusia yang dibawakan Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Eko Riyadi, S.H., M.H., “Pemerintah tidak bisa menggunakan alasan efisiensi dan efektivitas untuk menggunakan surat paksa sebagai alat penagihan piutang negara. Hal ini tidak legitimate menurut norma hukum hak asasi manusia,” ucap Eko.

“Selain alasan yang sah, penggunaan surat paksa untuk penagihan piutang negara ini juga tidak proporsional karena sumber persoalannya lebih kental dengan aspek hukum perdata. Karenanya jika bisa diselesaikan dengan hukum perdata, mengapa diperlukan instrumen semacam ini?”

Eko menyimpulkan bahwa penggunaan surat paksa merupakan kegagalan negara untuk melindungi hak kepemilikan pribadi masyarakatnya, “Seharusnya Pemerintah hadir melindungi masyarakat, tetapi ini justru mengkhianati janji-janji republik yang semakin dilupakan.”

Selain paparan dari segi teoritis, turut hadir dalam FGD ini adalah peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Alfeus Jebabun, S.H., M.H. yang menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang dari surat paksa yang sangat nyata. “Surat paksa ini bisa menjadi senjata untuk mematikan lawan politik karena dapat diterbitkan sekalipun pihak yang diklaim sebagai debitur membantah keberadaan piutang negara. Akhirnya dijadikan ancaman, kalau tidak mau mengakui piutang negara maka akan diterbitkan surat paksa.”

Alfeus juga menyoroti penggunaan surat paksa justru dijadikan jalan pintas untuk memperoleh pelunasan, “Atas nama efektivitas dan efisiensi pengembalian uang, Pemerintah menerabas prinsip-prinsip hukum yang berlaku.”

Para narasumber dari berbagai latar belakang dan disiplin ilmu hukum ini sepakat melihat isu ini problematik dan malah akan merugikan warganya, dan dengan pertimbangan kerumitan hal kehendak politik dalam menggodok produk legislasi yang bisa mengoreksinya, semuanya mengusulkan upaya uji materiil. 

Kegiatan FGD ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan IKADIN Legal Update yang berfokus pada hukum penagihan piutang negara yang diselenggarakan pada tanggal 10, 11, 17, dan 18 September 2024 di Jakarta.

BERITA TERKAIT

SALVO Masuk Daftar Top 10 Creative Agencies versi MMA Global Indonesia

Neraca, Agensi kreatif SALVO kembali menorehkan prestasi, kali ini SALVO masuk daftar Top 10 Creative Agencies di Indonesia oleh MMA…

PRODUKSI TENUN KALEDUPA

PRODUKSI TENUN KALEDUPA : Perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun khas Kaledupa di Rumah Tenun Gelanserei, Desa Balasuna Selatan, Kabupaten Wakatobi,…

PRESIDEN RESMIKAN KAWASAN INDONESIA ISLAMIC CENTER

Presiden Joko Widodo (keempat kanan) berjabat tangan dengan Dirut BSI Hery Gunardi (kedua kiri) didampingi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua…

BERITA LAINNYA DI Berita Foto

SALVO Masuk Daftar Top 10 Creative Agencies versi MMA Global Indonesia

Neraca, Agensi kreatif SALVO kembali menorehkan prestasi, kali ini SALVO masuk daftar Top 10 Creative Agencies di Indonesia oleh MMA…

PRODUKSI TENUN KALEDUPA

PRODUKSI TENUN KALEDUPA : Perajin menyelesaikan pembuatan kain tenun khas Kaledupa di Rumah Tenun Gelanserei, Desa Balasuna Selatan, Kabupaten Wakatobi,…

PRESIDEN RESMIKAN KAWASAN INDONESIA ISLAMIC CENTER

Presiden Joko Widodo (keempat kanan) berjabat tangan dengan Dirut BSI Hery Gunardi (kedua kiri) didampingi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua…