Banggar Nilai PPN 12% untuk Dukung Program Presiden

Banggar Nilai PPN 12% untuk Dukung Program Presiden 
NERACA
Jakarta - Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengungkapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025, akan menunjang berbagai program strategis, yang diusung Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kenaikan PPN diarahkan untuk mendanai berbagai program strategis yang berbasis pada anggaran negara.
"Beberapa program tersebut mencakup penyediaan makanan bergizi secara gratis, layanan pemeriksaan kesehatan gratis, pembangunan rumah sakit yang lengkap di berbagai daerah, pemeriksaan penyakit menular seperti TBC, renovasi sekolah, pengembangan sekolah unggulan terintegrasi, serta pembangunan lumbung pangan nasional, regional, dan desa," kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/12).
Said juga mengingatkan pentingnya langkah mitigasi risiko terhadap dampak kenaikan PPN, khususnya bagi rumah tangga miskin dan kelas menengah. Ia mengusulkan peningkatan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial (perlinsos) yang lebih luas, tidak hanya mencakup rumah tangga miskin, tetapi juga kelompok rentan atau hampir miskin. Oleh karena itu, program tersebut harus dijalankan dengan tepat waktu dan tepat sasaran.
Dalam keterangannya, Said menyoroti pentingnya subsidi untuk transportasi umum, khususnya moda transportasi massal di wilayah perkotaan besar. Selain itu, ia menyarankan subsidi perumahan bagi kelompok menengah bawah, terutama untuk rumah tipe 45 ke bawah dan rumah susun. “Subsidi BBM, gas LPG, dan listrik untuk rumah tangga miskin perlu diperluas hingga mencakup rumah tangga kelas menengah. Selain itu, ojek online juga perlu tetap mendapatkan akses ke BBM bersubsidi, bahkan jika memungkinkan, subsidi ini diperluas ke kelompok masyarakat menengah bawah,” jelasnya.
Dalam bidang pendidikan, Said mengusulkan peningkatan bantuan pendidikan dan beasiswa perguruan tinggi yang dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat, terutama siswa berprestasi dari keluarga miskin hingga kelas menengah. Dirinya juga meminta pemerintah untuk mengadakan operasi pasar secara rutin, setidaknya setiap dua bulan, demi menjaga stabilitas harga komoditas pangan dan menekan inflasi.
Selain itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan penggunaan barang dan jasa dari UMKM dalam belanja pemerintah, dari yang sebelumnya minimal 40 persen menjadi 50 persen. Lebih lanjut, Said menekankan perlunya program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat kelas menengah dan kelompok terdampak, sehingga mereka dapat beralih ke sektor-sektor yang lebih potensial dan kompetitif. Pemerintah perlu memastikan target penghapusan kemiskinan ekstrem tercapai pada tahun 2025, dengan menurunkan angkanya dari 0,83 persen menjadi nol persen.
Selain itu, Said mendorong percepatan penurunan angka tengkes (stunting) menjadi di bawah 15 persen dari posisi saat ini sebesar 21 persen. "Langkah-langkah ini penting untuk memastikan keberhasilan program strategis pemerintah serta peningkatan kualitas hidup masyarakat secara merata," ucapnya. Adapun, Said menilai program-program Presiden Prabowo tersebut selaras dengan visi PDI Perjuangan (PDIP) dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta mendorong terciptanya layanan kesehatan yang inklusif. "PDI Perjuangan berkomitmen untuk mengawal keberhasilan Program Quick Win Presiden melalui dukungan terhadap APBN 2025," ujar Said yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan itu.
Minta Ditunda
Disisi lain, Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk menunda penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai Januari 2025 karena dinilai dapat membebani biaya produksi. "Kami dari Apindo menyarankan supaya pemerintah menunda pemberlakuan kebijakan PPN 12 persen," kata Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Darwoto.
Ia menjelaskan, meski bahan pokok tidak dikenakan PPN 12 persen namun barang lain dalam rantai produksi tetap terdampak biaya produksi, seperti bahan baku yang turut mengalami kenaikan atas pengenaan pajak dimaksud. Dia mengingatkan, kebijakan PPN 12 persen juga akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama untuk barang-barang premium seperti beras, buah-buahan, ikan, udang serta daging. Begitu pula dengan layanan kesehatan premium di rumah sakit VIP, pendidikan standar internasional serta listrik untuk pelanggan dengan daya 3.600-6.600 Volt Ampere.
Menurut dia, kebijakan PPN 12 persen sangat berbeda dengan kebijakan yang diterapkan di negara berkembang lain. Seperti Vietnam yang baru-baru ini justru menurunkan PPN mereka dari 10 menjadi delapan persen. "Kita berharap pemerintah lebih bijaksana melihat kondisi ke depan. Kalau kita lihat Vietnam malah jadi delapan persen, ini di kita kok malah naik," katanya.
Ia juga menyoroti rencana kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen di tengah keputusan pemerintah menaikkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar 6,5 persen bertepatan pula dengan kondisi lesu sektor industri. "Industri otomotif sekarang juga lagi turun 30 persen. Berarti turunannya kan turun juga. Artinya ada biaya yang ditambahkan yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kalau bisa menolak ya kita menolak, tapi bagaimana kita menolak karena itu keputusan pemerintah," ucapnya.

 

NERACA

Jakarta - Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengungkapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 2025, akan menunjang berbagai program strategis, yang diusung Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kenaikan PPN diarahkan untuk mendanai berbagai program strategis yang berbasis pada anggaran negara.

"Beberapa program tersebut mencakup penyediaan makanan bergizi secara gratis, layanan pemeriksaan kesehatan gratis, pembangunan rumah sakit yang lengkap di berbagai daerah, pemeriksaan penyakit menular seperti TBC, renovasi sekolah, pengembangan sekolah unggulan terintegrasi, serta pembangunan lumbung pangan nasional, regional, dan desa," kata Said dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/12).

Said juga mengingatkan pentingnya langkah mitigasi risiko terhadap dampak kenaikan PPN, khususnya bagi rumah tangga miskin dan kelas menengah. Ia mengusulkan peningkatan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial (perlinsos) yang lebih luas, tidak hanya mencakup rumah tangga miskin, tetapi juga kelompok rentan atau hampir miskin. Oleh karena itu, program tersebut harus dijalankan dengan tepat waktu dan tepat sasaran.

Dalam keterangannya, Said menyoroti pentingnya subsidi untuk transportasi umum, khususnya moda transportasi massal di wilayah perkotaan besar. Selain itu, ia menyarankan subsidi perumahan bagi kelompok menengah bawah, terutama untuk rumah tipe 45 ke bawah dan rumah susun. “Subsidi BBM, gas LPG, dan listrik untuk rumah tangga miskin perlu diperluas hingga mencakup rumah tangga kelas menengah. Selain itu, ojek online juga perlu tetap mendapatkan akses ke BBM bersubsidi, bahkan jika memungkinkan, subsidi ini diperluas ke kelompok masyarakat menengah bawah,” jelasnya.

Dalam bidang pendidikan, Said mengusulkan peningkatan bantuan pendidikan dan beasiswa perguruan tinggi yang dapat menjangkau lebih banyak penerima manfaat, terutama siswa berprestasi dari keluarga miskin hingga kelas menengah. Dirinya juga meminta pemerintah untuk mengadakan operasi pasar secara rutin, setidaknya setiap dua bulan, demi menjaga stabilitas harga komoditas pangan dan menekan inflasi.

Selain itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan penggunaan barang dan jasa dari UMKM dalam belanja pemerintah, dari yang sebelumnya minimal 40 persen menjadi 50 persen. Lebih lanjut, Said menekankan perlunya program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat kelas menengah dan kelompok terdampak, sehingga mereka dapat beralih ke sektor-sektor yang lebih potensial dan kompetitif. Pemerintah perlu memastikan target penghapusan kemiskinan ekstrem tercapai pada tahun 2025, dengan menurunkan angkanya dari 0,83 persen menjadi nol persen.

Selain itu, Said mendorong percepatan penurunan angka tengkes (stunting) menjadi di bawah 15 persen dari posisi saat ini sebesar 21 persen. "Langkah-langkah ini penting untuk memastikan keberhasilan program strategis pemerintah serta peningkatan kualitas hidup masyarakat secara merata," ucapnya. Adapun, Said menilai program-program Presiden Prabowo tersebut selaras dengan visi PDI Perjuangan (PDIP) dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta mendorong terciptanya layanan kesehatan yang inklusif. "PDI Perjuangan berkomitmen untuk mengawal keberhasilan Program Quick Win Presiden melalui dukungan terhadap APBN 2025," ujar Said yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan itu.

Minta Ditunda

Disisi lain, Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk menunda penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai Januari 2025 karena dinilai dapat membebani biaya produksi. "Kami dari Apindo menyarankan supaya pemerintah menunda pemberlakuan kebijakan PPN 12 persen," kata Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Darwoto.

Ia menjelaskan, meski bahan pokok tidak dikenakan PPN 12 persen namun barang lain dalam rantai produksi tetap terdampak biaya produksi, seperti bahan baku yang turut mengalami kenaikan atas pengenaan pajak dimaksud. Dia mengingatkan, kebijakan PPN 12 persen juga akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama untuk barang-barang premium seperti beras, buah-buahan, ikan, udang serta daging. Begitu pula dengan layanan kesehatan premium di rumah sakit VIP, pendidikan standar internasional serta listrik untuk pelanggan dengan daya 3.600-6.600 Volt Ampere.

Menurut dia, kebijakan PPN 12 persen sangat berbeda dengan kebijakan yang diterapkan di negara berkembang lain. Seperti Vietnam yang baru-baru ini justru menurunkan PPN mereka dari 10 menjadi delapan persen. "Kita berharap pemerintah lebih bijaksana melihat kondisi ke depan. Kalau kita lihat Vietnam malah jadi delapan persen, ini di kita kok malah naik," katanya.

Ia juga menyoroti rencana kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen di tengah keputusan pemerintah menaikkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar 6,5 persen bertepatan pula dengan kondisi lesu sektor industri. "Industri otomotif sekarang juga lagi turun 30 persen. Berarti turunannya kan turun juga. Artinya ada biaya yang ditambahkan yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kalau bisa menolak ya kita menolak, tapi bagaimana kita menolak karena itu keputusan pemerintah," ucapnya.

 

BERITA TERKAIT

Biaya Haji Seharusnya Bisa Dibawah Rp90 Juta

  NERACA Jakarta – Ketua Panitia Kerja (Panja) Biaya Haji Komisi VIII DPR RI Abdul Wachid menyampaikan bahwa hasil telaah…

Inflasi Desember Lebih Tinggi Dibandingkan Sebelumnya

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan inflasi bulan Desember 2024 yang tercatat 0,44 persen (mtm) lebih tinggi…

Tol Semarang - Demak Ditargetkan Selesai 2027

  NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menargetkan pembangunan Tol Semarang-Demak dapat selesai pada April 2027. Dody…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Biaya Haji Seharusnya Bisa Dibawah Rp90 Juta

  NERACA Jakarta – Ketua Panitia Kerja (Panja) Biaya Haji Komisi VIII DPR RI Abdul Wachid menyampaikan bahwa hasil telaah…

Inflasi Desember Lebih Tinggi Dibandingkan Sebelumnya

  NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan inflasi bulan Desember 2024 yang tercatat 0,44 persen (mtm) lebih tinggi…

Tol Semarang - Demak Ditargetkan Selesai 2027

  NERACA Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menargetkan pembangunan Tol Semarang-Demak dapat selesai pada April 2027. Dody…