Jakarta-Pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025 hanya untuk barang-barang mewah. "Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah, yang semuanya serba mewah," ujar Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco, belum lama ini. Sementara itu, kebijakan PPh final sebesar 0,5% untuk pelaku UMKM akan berakhir pada Desember 2024.
NERACA
Pemberlakuan ketentuan PPN 12% itu sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sementara itu untuk barang lainnya masih akan dikenakan pajak 11%. "Barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11%," ujar Dasco.
DPR juga mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar pajak pertambahan nilai (PPN) kebutuhan pokok diturunkan. "Mengenai usulan dari kawan-kawan DPR bahwa ada penurunan pajak kepada kebutuhan-kebutuhan pokok yang langsung menyentuh kepada masyarakat, Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji," tutur dia.
Adapun jenis-jenis kendaraan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 141/PMK.010/2021 tentang Penetapan Jenis Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengenaan Pemberian dan Penatausahaan Pembebasan, dan Pengembalian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 2 (ayat) 1 PMK No 141/2021 itu menetapkan, jenis barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor angkutan orang untuk pengangkutan kurang dari 10 orang, termasuk pengemudi dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 3.000 cc.
Tercantum, jenis kendaraan ini dikenai PPnBM dengan tarif:
a. 15%; (b) 20%; (c) 25%, atau (d) 40%, tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021.
Masih di pasal yang sama, pada ayat (3) tercantum ketentuan Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor angkutan orang untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3.000-4.000 cc, yang dikenai PPnBM dengan tarif:
(a). 40%; (b) 50%; (c) 60%; atau (d) 70%, seperti tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021. Sementara untuk ketentuan serupa untuk kendaraan jenis lain, seperti sepeda motor diatur pada Bab V Pasal 22 huruf (a) PMK No 141/2021.
Yaitu, kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250-500 cc, dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 60%, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK No 141/2021.
Lebih lanjut, Pasal 23 menetapkan, "Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, berupa:
a. kendaraan bermotor dengan kapasitas isi silinder lebih dari 4.000 cc;
b. kendaraan bermotor beroda 2 atau 3 dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc; atau
c. trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah, yang dikenai PPnBM dengan tarif sebesar 95%, tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini."
Insentif Pajak
Namun, di sisi lain, pemerintah ternyata juga akan memberikan berbagai insentif pajak untuk jenis pajak itu mulai dari PPN ditanggung pemerintah (DTP) hingga pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang juga DTP.
Sekertaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, pemberian insentif itu bukan ditujukan semata untuk mengkompensasi barang mewah yang dikenakan PPN 12%, melainkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akhir tahun ini hingga kuartal I-2025.
"Fungsinya memang yang direncanakan insentif fiskal itu kan memang untuk menjaga pertumbuhan kita juga, jadi sektor-sektor yang dipilih yang memang berkontribusi besar ke PDB, yang properti, otomotif, yang sektor padat karya, yang dipilih. Jadi bukan semata-mata hanya merespon itu (PPN 12%)," kata Susiwijono di kantornya, Jumat (6/12).
Susiwijono mengatakan, pemerintah ingin mendorong pertumbuhan itu karena demi mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada 2024 hingga kuartal I-2025. Maka, pada kuartal IV-2024 dia menekankan pertumbuhan ekonomi harus mencapai 5,2%.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia terus merosot tiga kuartal terakhir. Pada kuartal I-2024, pertumbuhan ekonomi masih mampu tumbuh 5,11%, namun pada kuartal II-2024 hanya tumbuh 5,05%, dan pada kuartal III-2024 makin anjlok ke level 4,95%.
Kondisi ini terjadi seiring dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terus menerus merosot di bawah 5% sepanjang tahun ini. Pada kuartal I-2024 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91%, kuartal II 4,93%, dan kuartal III sebesar 4,91%, padahal kontribusinya ke PDB paling dominan, mencapai 53,08%.
"Kita dorong kuartal IV nya kan juga harus kita dorong karena kalau mau tetap di atas 5%, 5,1% kan paling enggak pasti 5,2% lebih di Q4 dan itu kan tidak mudah, karena siklusnya memang biasanya rendah," tegas Susiwijono.
Insentif PPN DTP dan PPnbM DTP yang diberikan untuk sektor properti, otomotif, hingga industri padat karya juga akan didorong pada 2025 karena belanja pemerintah berpotensi tidak optimal pada awal tahun.
"Karena kan Q1 itu kan dengan transisi kelembagaan yang masih perlu waktu, bisa jadi government spending kan belum bisa penuh di Q1. Transfer ke daerah juga pasti masih belum ini, jadi kontraksinya lebih banyak dorong pertumbuhan juga," tegas Susiwijono.
PPh Final UMKM 0,5% Berakhir
Di sisi lain, Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menargetkan perpanjangan kebijakan pajak penghasilan (PPh) final atau PPh final sebesar 0,5 persen untuk pelaku UMKM dapat selesai pada akhir Desember 2024.
"Perpanjangan pemberlakuan pajak 0,5 persen gross bagi para pengusaha-pengusaha UMKM. Harus sebelum Desember ini, akhir Desember ini karena awal 1 Januari sudah harus berjalan," ujar Menteri UMKM Maman Abdurrahman kepada media, Jumat (6/12).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan terus melakukan sosialisasi mengenai berakhirnya fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) UMKM sebesar 0,5 persen pada Tahun Pajak 2025.
Aturan tersebut telah termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
“Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM yang di tahun ketujuh harus naik kelas menjadi Wajib Pajak yang tidak lagi menggunakan PPH final (0,5 persen). Itu PP (Peraturan Pemerintah) 55 Nomor 2022 aturan pelaksanaan UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), tapi sejatinya untuk pengenaan tarif 0,5 persen di PP 23 Tahun 2018,” kata Suryo saat konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, belum lama ini.
Maman menuturkan, kebijakan ini penting karena memberikan keringanan bagi UMKM. Dalam aturan yang berlaku, penghasilan dari penjualan hingga Rp500 juta tidak dikenakan pajak atau dikenakan tarif 0 persen. Namun, untuk penghasilan dari Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, dikenakan tarif PPh final 0,5 persen dari total penghasilan bruto.
Maman mengatakan, kebijakan ini tengah dalam tahap finalisasi. Ia menegaskan, pemerintah akan terus mendorong pembahasan intensif antara Kementerian UMKM, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Maman juga menekankan kebijakan ini sangat penting untuk mendukung keberlangsungan usaha kecil dan menengah di tengah berbagai tantangan ekonomi. Dengan tarif PPh final yang rendah, diharapkan UMKM dapat terus berkembang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. bari/mohar/fba
Jakarta-Bank Dunia menilai bahwa terlepas dari pondasi makroekonomi yang kuat, Indonesia mengalami perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas. Hambatan struktural menghambat…
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…
Jakarta-Bank Dunia menilai bahwa terlepas dari pondasi makroekonomi yang kuat, Indonesia mengalami perlambatan dalam pertumbuhan produktivitas. Hambatan struktural menghambat…
NERACA Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti adanya peningkatan signifikan di tahap joint study atau studi…
Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tumbuh di kisaran 5%, meski Dana Moneter…