Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar secara langsung merupakan manifestasi terhadap peningkatan sistem demokrasi di Indonesia. Pilkada secara langsung menjadi sebuah konfigurasi sistem demokrasi sebagai instrumen untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berpolitik dan masyarakat dapat secara langsung turut serta membuat keputusan politik di daerahnya. Dalam perkembangannya,
Pilkada kemudian bertransformasi menjadi Pilkada serentak dengan pertimbangan mengikuti dinamika perpolitikan yang terus berkembang. Pilkada secara langsung dan serentak yang akan digelar pada 27 November 2024 merupakan kelanjutan dari Pilkada serentak yang telah tergelar selama empat (4) kali sebelumnya yang berlangsung pada 9 Desember 2015; 15 Februari 2017; 27 Juni 2018; dan 9 Desember 2020 lalu.
Namun ada kekhasan tersendiri dalam Pilkada serentak 2024 ini karena gelarannya cukup berbeda dari Pilkada sebelumnya. Pertama, dari sisi jumlah kuota kepesertaan daerah dan kedua dari sisi pelaksanaan Pilkada. Apabila dalam Pilkada serentak sebelum 2024 hanya diikuti oleh daerah-daerah yang sudah waktunya menyelenggarakan Pilkada dan tidak menyeluruh semua daerah (2015 diikuti 8 Provinsi, 170 Kabupaten dan 26 Kota; 2017 diikuti 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 Kota; 2018 diikuti 17 Provinsi, 115 Kabupaten, dan 39 Kota; 2020 diikuti 9 Provinsi, 225 Kabupaten, dan 37 Kota) tetapi pada Pilkada 2024 kali ini cakupan kepesertaannya melingkupi daerah yang ada di seluruh Indonesia (2024 diikuti 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota).
Kemudian pada waktu pelaksanaan, Pilkada serentak sebelumnya tidak berbarengan dengan (pergantian jabatan Presiden dan DPR) Pilpres dan Pemilu tetapi pada Pilkada kali ini waktu pelaksanaannya berbarengan dengan (pergantian jabatan Presiden dan DPR) Pilpres dan Pemilu.
Oleh sebab itu ada poin yang perlu diperhatikan dalam gelaran Pilkada serentak 2024 tersebut; Pilkada 2024 merupakan transisi kepemimpinan di daerah secara menyeluruh dan Pilkada ini ialah kelanjutan dari Pilkada sebelum-sebelumnya yang pernah tergelar. Apabila Pilkada 2024 tidak memiliki perbedaan dengan Pilkada sebelumnya dalam arti tidak dapat melahirkan kepemimpinan yang berkualitas itu sama dengan gelaran Pilkada yang berlangsung hanya sebatas seremonial dan tidak memperhatikan substansialitas demokrasi. Ditambah terbuangnya secara sia-sia pendanaan yang begitu besar untuk Pilkada tersebut apabila kepemimpinan yang dihasilkan dari proses Pilkada tersebut tidak memenuhi harapan publik.
Lalu, adanya kekuatiran akan penularan penyakit demokrasi pada Pilkada 2024 oleh tindakan-tindakan buruk yang telah mewarnai cacatnya proses demokrasi yang dilakukan oleh para aktor politik di Pemilu dan/atau Pilpres 2024 lalu. Mulai dari utak-atik peraturan untuk memuluskan kepentingan tertentu, kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi secara susbtansi belum maksimal, pengadaan kampanye yang tidak sportif, membudayanya politik uang, dan penyelewengan fungsi dan/atau tugas aparatur negara.
Dengan demikian berbarengannya pelaksanaan antara Pemilu dan Pilpres dengan Pilkada memunculkan adanya kekuatiran publik apabila tindakan-tindakan buruk tersebut ditularkan kepada Pilkada serentak 2024. Hal ini membutuhkan kesadaran dan keseriusan masyarakat untuk terlibat di dalam pembenahan dan juga kritis agar perjalanan demokrasi berada di arah yang lebih baik di samping negara juga turut andil melakukan koreksi terhadap pelembagaan sistem demokrasi yang efektif, urgensi pendanaan dan menjaga kompetisi yang sehat.
Salah satu manifestasi adanya sebuah kehidupan bagi demokrasi dapat dilihat dalam sistem pelembagaan Pilkada yang digelar secara langsung. Hal ini mengisyaratkan bahwa adanya kehidupan berdemokrasi setelah sepeninggal orde baru. Pilkada langsung ini merupakan sebuah sistem kepemiluan yang dibentuk oleh negara untuk mengajak masyarakat agar dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara langsung melalui pemilihan para kandidat Kepala Daerah yang dikehendaki oleh masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dapat secara langsung berinteraksi dengan para calon pemimpinnya dengan harapan calon pemimpin tersebut mampu memahami dan menganalisis permasalahan masyarakat di daerahnya.
Dalam prosesnya berbagai cara dan strategi akan ditempuh oleh para calon dalam rangka untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan menarik perhatiannya untuk memilih (memutuskan pilihan politiknya) dari satu di antara beberapa kandidat yang berkompetisi. Sederhananya, keputusan politik masyarakat dalam hal ini hanya sebatas pemakaian hak politik untuk mencoblos/memilih salah satu di antara kandidat yang dikehendaki dengan pertimbangan adanya kesesuaian antara kandidat Kepala Daerah dengan pemilih. Tetapi partisipasi masyarakat dalam politik tidak akan menjaminkan apa-apa ketika partisipasi politik disimplifikasi sebatas pemberian hak politik dalam bilik suara. (www.marhaenist.id)
Oleh: Annisa Rahimah, Pemerhati Sosial Politik Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi sorotan berbagai pihak, terutama terkait…
Oleh: Fermi Irawan, Pengamat Energi Presiden Prabowo Subianto memulai masa kepemimpinannya dengan komitmen tegas untuk memperkuat kedaulatan energi…
Oleh: Rita Helbra Tenrini, Analis Madya di BKF, Kemenkeu Indonesia rawan bencana, rata-rata 15 kejadian bencana alam per…
Oleh: Wildan Ainul Yaqin, Dosen Universitas KH Abdul Chalim Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar secara…
Oleh: Annisa Rahimah, Pemerhati Sosial Politik Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi sorotan berbagai pihak, terutama terkait…
Oleh: Fermi Irawan, Pengamat Energi Presiden Prabowo Subianto memulai masa kepemimpinannya dengan komitmen tegas untuk memperkuat kedaulatan energi…