Definisi Kepentingan Umum dan Skema Ganti Rugi Belum Jelas - RUU Pengadaan Lahan Masih Terganjal

NERACA

Jakarta - Belum jelasnya definisi kepentingan umum dan skema harga ganti rugi, membuat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah masih terhambat. Kementrian Perindustrian berharap Undang-Undang Pengadaan Tanah dapat terbit dalam tahun ini

“RUU ini sedang dalam pembahasan Panitia Khusus (Pansus) di DPR. Dalam tiga bulan ini akan dibahas di Pansus. Kemudian akan di Panitia-Kerjakan (Panja) lalu Paripurna. Saya harap dalam 6-7 bulan ke depan sudah dapat diterbitkan,” terang Menteri Perindustrian MS Hidayat, usai rapat kerja bersama Pansus DPR tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, di Jakarta, Rabu (23/3).

Menurutnya, percepatan penerbitan UU ini dibutuhkan untuk menghilangkan praktek spekulasi tanah yang kerap dilakukan para calo yang menguasai tanah tertentu guna menaikkan harga untuk kebutuhan investasi.

Namun dalam raker dengan pansus tersebut, masalah dalam draf RUU Pertanahan yang dibahas adalah masalah definisi kepentingan umum dalam rangka pembebasan tanah, serta harga beli tanah dari masyarakat.

Berdasarkan draf RUU Pengadaan Tanah pasal 5 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, dalam ayat 10 dinyatakan bahwa “pemerintah dan atau pemerintah daerah menjamin penyediaan tersediannya pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuai kemampuan negara.”

Hidayat mengatakan, perlu adanya kejelasan yang sangat detail, kepentingan publik agar tidak terjadi bias dan pendomplengan kepentingan.

“Saya harap DPR dan kementrian terkait dapat membuat kategori-kategori umum, konsekuensinya tidak bisa dalam definisi hitam putih saja, namun perlu melihat program-program pemerintah dalam pembangunan infrastruktur yang menggunakan skema seperti PPP dan kerjasama model BOT yang dilakukan pemerintah,” terangnya.

Dia menegaskan, hal tersebut perlu dilakukan karena saat ini pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp 1.500 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Namun dari anggaran pemerintah hanya dikucurkan sekitar 15% dari kebutuhan dan sisanya akan diberikan kepada swasta baik dalam maupun luar negeri.

“Percepatan pembangunan infrastruktur merupakan fokus pemerintah. Sehingga, dibutuhkan kepastian hukum untuk pengadaan lahannya. Sehingga perlu dirumuskan definisinya. Intinya UU itu tidak ditujukan untuk proyek swasta. Misalnya untuk rencana pembangunan mal, biarkan saja mekanisme pasar yang terjadi,” tegas dia.

Hidayat juga meminta lahan untuk pembangunan rumah subsidi, pembebasan tanah tidak menggunakan UU ini, pasalnya nanti akan memberikan bias. Menurutnya untuk perumahan subsidi dapat mengunakan dana CSR industri perumahan besar. “Bilangnya untuk rumah subsidi, nanti yang dibangun untuk subsidi sedikit yang lainnya untuk komersil, ini harus dihindari,” terangnya.

Sementara itu, untuk tanah kawasan industri swasta, lanjut Hidayat tidak dibutuhkan metode pembebasan lahan oleh pemerintah. Pasalnya pembangunan kawasan industri akan berjalan cepat jika infrastruktur seperti jalan raya, energi cukup baik maka pembangunan kawasan akan cepat terjadi.

“Infrastruktur merupakan aspek penting untuk industri. Pengembangan klasterisasi industri yang saat ini digencarkan pemerintah bergantung pada ketersediaan dan akses infrastruktur. Saya juga tahu bahwa ada tindakan penyelewengan yang menjual hak pembebasan lahannya ke pihak lain untuk digunakan atas proyek non kebutuhan publik. Sehingga harus ada sanksinya,” tandas Hidayat

Selain itu, Hidayat menambahkan, RUU tersebut juga harus memuat rumusan jelas terkait harga yang dibayarkan atas pemanfaatan lahan terkait. “Untuk harga ganti rugi, perlu dibuat skim yang jelas. Tidak perlu harus selalu cash, tapi bisa dengan mekanisme relokasi. Ini penting. Sehingga, investasi untuk pembangunan publik memberikan nilai yang sepadan bagi investor. Pada akhirnya, dia bisa mencapai break even point (BEP) dan pada jangka waktu tertentu, aset-aset bisa dikembalikan ke pemerintah. Di satu sisi, juga harus menganut nilai kewajaran dan adil bagi pemilik tanah,” imbuh Hidayat.

Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Malik, anggota Komisi V DPR. Dia mengatakan perlu ada kejelasan harga dalam hal ganti rugi. Pasalnya selama ini beredar tiga harga dalam pembebasan lahan yaitu harga berlaku, harga yang beredar di masyarakat dan harga yang diterima.

“Nah biasanya harga yang diterima masyarakat jauh lebih kecil. Padahal menurut pemerintah banyak proyek yang terhambat karena pembebasan lahan. Selain itu defenisi kepentingan umum juga harus jelas, jangan sampai kepentingan umum ini dimanfaatkan swasta,” terangnya.

BERITA TERKAIT

PIS Siap Jadi Agregator Transportasi dan Logistik CCS

NERACA Jerman – PT Pertamina International Shipping (PIS) memaparkan sejumlah strategi dan kesiapan perusahaan untuk dekarbonisasi di Indonesia, salah satunya…

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…