Teror di Laut

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Nelayan Indonesia yang tengah berada di sekitar Laut Sulu kembali diculik. Kejadiaannya masih cukup baru. Hingga kini tak jelas nasib mereka. Penculikan ini ironi karena di perairan tersebut sebenarnya sudah hadir kekuatan angkatan laut tiga negara. Malaysia, Indonesia dan Filipina menggelar kapal-kapal perang dalam skema patroli terkoordinasi untuk mengamankan Laut Sulu sejak kawasan ini dihantui oleh penculikan nelayan atau awak kapal.

Kelompok Abu Sayyaf disebut-sebut terlibat dalam aksi penculikan nelayan Indonesia itu. Tudingan ini banyak benarnya. Ketelibatan kelompok ini dalam teror maritim bukan hal baru. Sejarah mencatat, kelompok inilah di balik pengeboman Superferry 14 yang meledak di Teluk Manila pada 26 Februari 2004. Pada awalnya ledakan besar yang terjadi di atas kapal bertipe ro-ro itu dinilai sebagai murni ledakan dari kenderaan yang diangkut feri. Namun, setelah diselidiki lebih jauh ternyata ledakan tersebut berasal dari bahan peledak trinitrotoluene (TNT). Penyelidikan berhasil pula mengungkap pelaku pengeboman, yaitu Redendo Cain Dellosa.

Kepada para investigator yang menanyainya, Redendo mengatakan bahwa ia diminta oleh kelompok Abu Sayyaf untuk meledakkan Superferry 14. Dan, investigator meyakini bahwa Redendo dikontrak oleh kelompok itu karena operator feri tersebut, William, Gothong & Aboitiz (WG&A), telah menolak permohonan ‘jatah preman’ yang diminta kelompok Abu Sayyaf sebelumnya.

Selain kelompok asal Filipina itu, ada berbagai kelompok lain yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara. Keberadaan mereka tidak permanen seperti kelompok Abu Sayyaf; mereka beroperasi jika ada order. Kelompok-kelompok ini beroperasinya adalah Selat Malaka dan Selat Singapura dan anggotanya sebagian besar berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Berbeda dengan taktik kelompok Abu Sayyaf - kapal tidak ditahan, muatan tidak diambil, hanya menyandera ABK – kelompok-kelompok Selat Malaka dan Selat Singapura lebih memilih muatan dibanding kapal dan ABK.

Hanya satu kesamaan di antara dua tipe kelompok terorisme maritim ini: sama-sama mengejar keuntungan finansial. Motif  mencari untung ini juga dimiliki oleh para lanun yang beroperasi di kawasan ini ratusan tahun yang lalu.

Barangkali, sudah saatnya untuk mengawal kapal-kapal yang melayari perairan rawan teror maritim dengan konvoi. Opsi pengawalan kapal sudah pernah dimunculkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, pengawalan yang ia maksudkan adalah dengan menempatkan pasukan TNI/Polri di atas kapal. Saran presiden ini dapat dilaksanakan dengan mudah jika kapal yang dikawal berlayar dalam perairan teritorial Indonesia. Ceritanya akan amat berbeda manakala kapal yang ditumpangi pasukan TNI/Polri itu berlayar ke perairan teritorial negara lain.

Yang kedua, dengan mengencangkan patroli terkoordinasi yang sudah ada di Laut Sulu. Jika perlu dengan melibatkan juga coast guard masing-masing negara. Sehingga, aspek penegakan hukumnya juga bisa berjalan. Semoga.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…