Standar Kompetensi Pelaku Bisnis Syariah

Oleh : Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Telah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) beberapa tahun yang lalu  menjadikan Indonesia harus cepat berbenah diri dalam menata segala manajemen, terutama adalah sumber daya manusia (SDM). Hal ini tidak lepas dari kesepakatan bersama antar negara ASEAN yang dituangkan dalam perjanjian – perjanjian di MEA diantaranya standarisasi terhadap tenaga kerja yang menjadikan para pekerja asing bisa bekerja di Indonesia. Untuk mengantisapasi hal tersebut Badan Nasional Standarisasi Profesi (BNSP) memberlakukan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) di berbagai profesi, sehingga dengan adanya SKKNI  para pekerja  di Indonesia terlindungi dan tak akan tergerus dengan dampak MEA tersebut. Lantas bagaimanakah dengan para pekerja atau pelaku bisnis syariah di Indonesia? Apakah sudah menjalankannya?

Ternyata sejauh ini belum banyak pelaku bisnis syariah untuk memperoleh sertifikasi standarisasi  tersebut. Hanya lembaga tertentu seperti perbankan dan asuransi syariah yang sejauh ini memiliki komitmen dalam pemberlakuan SKKNI, sementara lembaga lain belum banyak melakukan sertifikasi standarisasi.  

Sementara peluang Indonesia  untuk menjadi sebuah negara besar dalam pengembangan industri halal kedepan sangat besar, namun jika kondisi standarisasi kompetensi untuk industri saja belum siap, maka harapan Indonesia untuk menjadi sebuah negara pengembang industri halal tak akan terwujud. Maka bagi pelaku bisnis syariah di Indonesia kesadaran untuk membangun SDM memiliki standarisasi kompetensi menjadikan sebuah keniscayaan untuk dilakukan.

Standarisasi kompetensi selama ini masih banyak dimaknai dengan nada minor bahkan ada yang menganggap standarisasi kompetensi tak ada korelasi dengan keterampilan dalam pekerjaan pemahaman tersebut yang banyak berkembang. Sekali lagi, makna standarisasi kompetensi syariah bukan sekedar memperoleh sertifikat saja yang dikeluarkan oleh BNSP dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Namun memiliki makna yang sangat luas, diantaranya adalah  pertama, pemahaman tentang kepatuhan syariah bagi para pekerja. Kepatuhan syariah dalam pemahaman pekerja industri syariah bukan sekedar pemahaman tentang makna halal dan haram saja dalam dimensi fiqh muamalah, akan tetapi memiliki makna tentang maqosid al syariah sebagai sebuah Islamic word of view.

Perkembangan industri syariah di Indonesia sudah 2 dekade lebih namun secara implementatif belum mampu mengubah secara progresif sudut pandang para pekerja tentang makna hijrah syariah  secara universal. Bisnis oriented masih menjadi pakem dan paradigma utama bagi para pelaku bisnis syariah sejauh ini,  sehingga perilaku dalam pengembangan ekonomi syariah banyak mengalami distorsi. Inilah yang menjadikan urgensi tersendiri tentang, mengapa kepatuhan syariah sebagai pelaku bisnis syariah menjadikan sebuah fundamental yang mutlak untuk dilakukan.

Kedua, adalah pemahaman Good Corporate Governance (GCG) atau disebut tatakelola perusahaan. Dalam tatakelola perusahaan bukan sekedar dimaknai tentang pemahaman standarisasi operasional prosedur (SOP) saja yang dijalankan dan diketahui, tapi adalah tentang tatanan nilai dari sebuah visi dan misi perusahaan yang didalamnya memiliki makna yang luas dan menjadikan sebuah corporate culture. Dalam GCG ada sebuah mindset bagi para pekerja tentang sebuah nilai-nilai dalam tatakelola perusahaan dan menjadi kesepakatan bersama untuk menjadi perilaku dalam perusahaan. Maka nilai akuntabilitas, kedisiplinan dan integritas adalah sebuah para pemeter dalam GCG secara universal yang diterapkan di banyak perusahaan begitu juga di industri syariah.             

Maka dari itu pemberlakuan (SKKNI) untuk industri syariah  bukan sekedar sebuah lisensi yang dikeluarkan oleh BNSP seperti Surat Izin Mengemudi (SIM) saja, namun sebuah integrasi regulasi yang komperehensif yang didalamnya ada kepatuhan syariah dan GCG. Bahkan, setiap lisensi yang dikeluarkan oleh BNSP tersebut harus ada monitoring seperti halnya yang ada diluar negeri. Dengan demikian setiap orang yang memiliki standarisasi kompetensi syariah bisa dipertanggung jawabkan secara integritas publik. Begitu juga bagi karyawan perusahaan industri syariah harus punya komitmen tinggi, apabila ada karyawannya memiliki sertifikasi standarisasi syariah harus memiliki jenjang karir yang jelas begitu juga dengan income pendapatannya. Dengan demikian keberadaan dari SKKNI untuk pelaku bisnis syariah sebagai tanggung jawab kemanusiaan dan keadilan sosial.

Semoga pemahaman ini bisa diterima oleh berbagai pihak, baik itu regulator pemerintah dan pelaku bisnis syariah untuk sama–sama mengembangkan SDM yang berkualitas. Sehingga adanya SKKNI industri syariah bukan sekedar isu MEA saja atau ladang bisnis LSP dan bahkan  menjadi ketakutan bagi pemilik perusahaan dalam menaati legalitas regulasi. Tapi sebuah upaya dalam tanggung jawab moral dan keadilan sosial dalam perspektif ekonomi.        

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…