Membangun Tanpa Utang - Oleh : Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung gagasan calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno yang, jika dia dan pasangannya Prabowo Subianto terpilih, akan membangun infrastruktur tanpa utang.  Kebijakan ini, kata Menkeu, akan membuat perekonomian dan keuangan Indonesia jadi sehat.

Dalam kutipannya Sri Mulyani menyebut “Membangun infrastruktur tanpa utang itu bagus. Ini akan menjamin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan negara yang sehat, di mana utang semakin kecil. Itu saya sangat hargai sekali,” .

Sampai di sini kita melihat  adanya paradoks. Sri mengaku membangun infrastruktur tanpa utang menjadi sangat penting karena akan menyehatkan APBN. Dalam banyak kesempatan, Sri selalu mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent atawa hati-hati. Dia juga mengaku  concern dengan utang. Di sisi lain, kendati jumlah utang terus membengkak, bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu selalu saja menyebut masih aman karena rasionya dibanding PDB masih jauh di bawah batas yang diamanatkan UU, yaitu 60%.

Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai triwulan III-2018 mencapai US$359,8 miliar. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN naik 4,2% (yoy). Jumlah ini meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$179,2 miliar, serta utang swasta termasuk BUMN US$180,6 miliar. Dengan kurs dolar sekitar  Rp14.613/US$, maka utang yang US$359,8 miliar itu setara dengan Rp5.258 triliun.

Mungkinkah dukungan Sri terhadap rencana kebijakan Prabowo-Sandi yang akan membangun infrastruktur tanpa utang menunjukkan sejatinya dia nyaris ‘lempar handuk putih’? Pasalnya, jumlah utang yang kelewat gede memang amat merepotkan. Di ring tinju, kalau pelatih sudah melempar handuk putih, artinya menyerah.  Bayangkan, di APBN 2018, alokasi pembayaran bunga plus pokok utang mencapai Rp604,4 triliun. Jumlah superjumbo itu terdiri atas pembayaran bunga sebesar Rp249,4 triliun dan cicilan pokok Rp355 triliun (angka ini tidak dimunculkan di APBN).

Alokasi untuk membayar cicilan dan pokok utang ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pendidikan yang sesuai amanat UU minimal 20%, yaitu Rp444,1 triliun. Juga lebih gede dibanding alokasi untuk infrastruktur yang sangat dibanggakan itu, Rp410,4 triliun. Ternyata, diam-diam anggaran untuk membayar utang telah melahap 37% dari pendapatan perpajakan kita. Itulah barangkali sebabnya Sri tampak antusias jika gagasan Prabowo-Sandi bisa direalisasikan. Mungkin ini bisa jadi exit dari 'nafasnya yang hampir putus' karena kepayahan mengelola APBN.

Intinya, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias out of the box. Pemerintah juga dituntut inovatif dan kreatif.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…