Dunia Kepelautan Filipina

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari ditundanya penandatanganan Magna Carta of Filipino Seafarers oleh Presiden Ferdinan Marcos Jr. Tidak cukup sampai di situ, DPR negeri itu pun menarik rancangan undang-undang (bill) dimaksud dari pihak eksekutif. Diberitakan oleh berbagai media, rencananya RUU tersebut akan ditandatangani oleh sang presiden pada 26 Februari lalu.

Menurut laman Seatrade Maritime, sebuah portal kemaritiman ihwal ditariknya bill itu dipicu oleh adanya dua RUU lain dengan nama yang sama, juga dilabeli dengan kata-kata Magna Carta of Filipino Seafarers, yang sudah disahkan terlebih dahulu. Mengutip anggota DPR Rufus Rodriguez, RUU Magna Carta (terbaru) ditarik karena ada permasalahan benturan kepentingan di mana tatkala muncul dispute jurisdiksinya dipindah dari sebelumnya berada dalam ranah Department of Labor and Employment ke International Labor Organization.

Dengan langkahnya itu sang presiden ingin meyakinkan komunitas internasional bahwa pemerintahannya serius mematuhi semua kewajiban yang ada dalam berbagai konvensi/lembaga internasional perihal pelatihan, fasilitas dan peralatan bagi pelaut. Salah satu lembaga yang menyoroti persoalan yang ada dalam sektor kepelautan Filipina adalah European Maritime Safety Agency (EMSA).

Presiden Marcos Jr. menilai jika langkah perbaikan tidak diambil dikhawatirkan bakal terdapat sekitar 50.000 pelaut Filipina yang akan dilarang bekerja di atas kapal-kapal berbendera negara-negara Eropa dalam kurun satu dekade ke depan. Komitmen untuk perbaikan presiden tadi diganjar komitmen pula oleh Komisi Eropa bahwa mereka akan terus me-recognize sertifikat-sertifikat pelaut yang dikeluarkan oleh otoritas setempat. Dalam kalimat lain: Magna Carta on Filipino Seafarers akan memasukkan “jiwa internasional” ke dalam raga peraturan lokal.

Lazimnya sebuah policy, rencana Presiden Filipina itu tidak popular di kalangan pemangku kepentingan kemaritiman setempat, utamanya kalangan pelatihan kepelautan. Karenanya, tahun lalu, Philippine Association of Maritime Institutions menyebut Magna Carta sebagai “hukuman mati” bagi dunia pendidikan dan pelatihan pelaut Filipina. Mereka menolak keras RUU tersebut. Senada-seirama, di tahun lalu juga, Philippine Coastwise Shipping Association (PCSA mengeluarkan sebuah surat terbuka yang menghimbau presiden agar memveto bill itu.

Cerita Filipina di atas sesungguhnya pernah terjadi, hingga derajat tertentu, di Indonesia saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Memang ia tidak spesifik mengatur urusan kepelautan nasional tapi tetap saja sektor yang satu ini kena dampaknya. RUU ini, sekarang menjadi UU No. 11 Tahun 2020, tidak ada menyinggung sedikit pun soal upah minimum untuk pelaut di dalam negeri, misalnya.

Selain upah yang seenaknya, pelaut juga tidak dilindungi oleh berbagai skema jaminan sosial seperti BPJS, jaminan hari tua, dll. Acap terjadi, untuk mendapatkan semua itu pelaut harus bersitegang urat leher dengan perusahaan tempat mereka bekerja.

Di tengah situasi seperti itu kemudian diundangkanlah UU No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labor Convention 2006. Niatnya sih mulia: untuk melindungi pelaut, khususnya mereka yang bekerja di luar negeri atau pelaut migran. Lagi, sampai saat ini tidak ada aturan turunan terkait standar upah minimum dan jaminan sosial bagi pelaut indonesia yang bekerja di luar negeri sebagaimana diamanatkan dalam MLC 2006. Dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2022 tentang tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Aturan ini merupakan tindak lanjut UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Bagaimana dengan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diklaim propelaut, paling tidak oleh Kementerian Perhubungan? Tidak seperti Margna Carta Magna on Filipino Seafarers yang merupakan undang-undang tersendiri, peraturan kepelautan di Indonesia lebih banyak ditempatkan di berbagai peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (PM) hingga SK Direktur Jenderal Perhubungna Laut di samping di dalam UU Pelayaran itu sendiri yang sayangnya tidak elaboratif terkait isu terkait.

Saya harus mengakui, PP No. 22 Tahun 2022 di atas jauh lebih baik dibanding UU Pelayaran beserta pasukan aturan turunannya. Hal ini terletak pada penerapan background check atas pemberi kerja. 

BERITA TERKAIT

APBN 2025, dan Janji Politik Pemerintahan Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan Komisi…

Optimalkan Teknologi Digital

Oleh: Suhanto Plt. Sekretaris Jenderal Kemendag   Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) khususnya untuk…

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…

BERITA LAINNYA DI

APBN 2025, dan Janji Politik Pemerintahan Baru

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan Komisi…

Optimalkan Teknologi Digital

Oleh: Suhanto Plt. Sekretaris Jenderal Kemendag   Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) khususnya untuk…

Rupiah Limbung, Bagaimana Bisnis Syariah ?

Oleh: Agus Yuliawan (Pemerhati Ekonomi Syariah) Pelaku bisnis beberapa hari ini dihadapkan dengan masalah yang pelik dengan  melemahnya nilai tukar…