Rupiah Melemah, OJK Diminta Perhatikan Internal Bank

 

 

 

NERACA

Jakarta – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memandang bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperhatikan kondisi internal perbankan dalam negeri di tengah melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS. "OJK juga harus memperhatikan kondisi internal bank atau individual bank, kira-kira bank-bank mana yang akan tereksposur terhadap gejolak nilai tukar yang tinggi agar tidak terjadi risiko bank gagal," kata Abdul, sebagaimana dikutip Antara, kemarin.

Pelemahan nilai tukar rupiah di hari kerja pertama pasca-liburan Lebaran ini terjadi seiring dengan konflik Iran dan Israel serta sentimen penundaan pemotongan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS). Abdul mengatakan, durasi konflik geopolitik yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah perlu untuk terus-menerus dicermati. Terkait pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap bisnis perbankan dalam negeri, dia memandang kondisi tersebut tidak membawa dampak yang signifikan.

Hal itu, imbuh Abdul, mengingat penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dalam valuta asing (valas) terhadap total DPK masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas yang dinilai masih rendah terhadap total kredit bank. "Karena porsi kredit valas ini tidak begitu signifikan terhadap total kredit bank, saya pikir tidak akan besar pengaruhnya menggerus laba bank. Karena ketika bank sudah mulai mengurangi penyaluran kredit ke valas, maka dia akan mengganti atau mengurangi portofolionya di valas dan menggesernya ke portofolio lain," kata Abdul.

Akan tetapi, bank-bank yang tetap menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global, berpotensi menghadapi peningkatan non-performing loan (NPL). Oleh sebab itu, bank dengan kredit valas dalam porsi besar perlu mendapat perhatian dari regulator. Di samping itu, bank juga dinilai perlu melakukan perbaikan terhadap portofolio bisnisnya.

"Katakanlah bank X itu sangat besar penyaluran kreditnya ke sektor-sektor pertambangan dan penggalian di mana sektor ini adalah sektor yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi global dan rupiah. Ketika dia (bank) maksimal di sana, maka akan terkena NPL yang tinggi. Karena gejolak yang tinggi itu akan mempengaruhi kemampuan deposan atau kreditur untuk memenuhi cicilannya," kata Abdul.

Dia mengamini bahwa bank-bank dengan aset terbesar, terutama yang masuk dalam kategori BUKU IV, biasanya telah memiliki strategi hedging terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang mumpuni dibanding bank dalam kategori BUKU lainnya. Meski begitu, kata Abdul, perlu digarisbawahi yaitu seberapa besar hedging tersebut bisa mengatasi gejolak nilai tukar rupiah.

"Misalnya, hedging mereka (bank) lakukan di (level) Rp16.500. Kalau masih berada di-cover-nya hedging mereka, itu tidak akan terpengaruh apa-apa. Tetapi kalau misalnya hedging-nya sudah di atas Rp16.500, artinya dia akan mengalami kerugian di sisi portofolio di perbankan," kata Abdul.

Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) BI Edi Susianto menyampaikan Bank Indonesia (BI) melakukan sejumlah langkah penting untuk menjaga kestabilan rupiah usai libur Lebaran serta di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah dan dinamika perkembangan perekonomian Amerika Serikat (AS). "Selama libur Lebaran, pasar non delivareble forward (NDF) IDR di offshore juga sudah tembus di atas Rp16.000 atau sudah di sekitar Rp16.100, sehingga rupiah dibuka di sekitar angka tersebut," katanya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, yakni dengan menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing (valas) di pasar melalui triple intervention khususnya di spot dan domestic non-deliverable forward (DNDF). BI juga meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal masuk asing (capital inflow), seperti melalui daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost.

Kemudian, BI akan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemangku kepentingan terkait, seperti pemerintah, Pertamina dan lainnya. Edi mengatakan selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan di global di mana rilis data fundamental Amerika Serikat makin menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar.

BERITA TERKAIT

Perkuat Sektor Keuangan, OJK Kolaborasi dengan Lembaga GRC

    NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus meningkatkan sinergi dan kolaborasi dengan lembaga dan asosiasi profesi di…

Asuransi Jasindo Sebut Lima Produk Topang Kinerja di 2023

    NERACA Jakarta – Penjualan lima produk PT Asuransi Jasa Indonesia (Asuransi Jasindo), yakni Marine Hull, Energy Offshore, Energy…

DANA dan Jalin Kerjasama Perluas Layanan Digital

    NERACA Jakarta – PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin), bagian dari Holding BUMN Danareksa, dan PT Espay Debit Indonesia…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Perkuat Sektor Keuangan, OJK Kolaborasi dengan Lembaga GRC

    NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus meningkatkan sinergi dan kolaborasi dengan lembaga dan asosiasi profesi di…

Asuransi Jasindo Sebut Lima Produk Topang Kinerja di 2023

    NERACA Jakarta – Penjualan lima produk PT Asuransi Jasa Indonesia (Asuransi Jasindo), yakni Marine Hull, Energy Offshore, Energy…

DANA dan Jalin Kerjasama Perluas Layanan Digital

    NERACA Jakarta – PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin), bagian dari Holding BUMN Danareksa, dan PT Espay Debit Indonesia…