Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pengajar UPN Veteran Jakarta dan Pendiri Narasi Institute
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2 Tahun 2022 yang mengatur pencairan jaminan hari tua atau JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun ini menuai protes di masyarakat. Para asosiasi dari serikat pekerja menyatakan penolakannya karena Permenaker tersebut tidak masuk akal dan menyakiti hati para buruh yang banyak terkena PHK di tengah pandemi.
Bagaimana tidak, Dalam aturan tersebut JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun bahkan bagi yang terkena pemutusan hubungan kerja. Sebelumnya dalam Permenaker No 19 Tahun 2015 pekerja hanya menunggu satu bulan untuk mencairkan JHT secara tunai.
Apalagi data PHK 2021 meningkat tajam tercatat sebanyak 143.065 orang kehilangan pekerjaannya. Ini berdasarkan data dari Dirjen PHI dan Jamsos. Akibat dampak Covid-19, ada 2.819 perusahaan berpotensi tutup dan sejumlah 1.075.242 orang berpotensi dirumahkan. Bila pekerja harus dirumahkan mungkin mereka berniat mencari pekerjaan lain, namun ketika pekerjaan tidak bisa ditemukan, pencairan JHT akan membantu mereka bertahan hidup dan membuka usaha mandiri.
Penundaan JHT sampai usai 56 tahun menyebabkan para pekerja tersebut berpotensi menjadi beban pemerintah dan masyarakat karena mereka tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarga mereka. Pencairan JHT menggunakan Permenaker lama No.19/2015 sudah tepat di saat krisis ekonomi 2022.
Permenaker 2/2022 yang mengatur pencairan JHT hanya bisa dicairkan kecuali usai 56 tahun adalah aturan yang berpretensi seolah negara memiliki kemampuan pengelolaan dana JHT yang lebih baik daripada pekerja.
Seolah, negara punya hak divine selalu benar-tepat dan rakyat selalu salah dan tidak mampu mengelola dana JHTnya sendiri. Itu adalah filosofi negara otoriter. Padahal, Indonesia adalah negara demokrasi seharusnya memilik filosofi bernegara yang mendasar bahwa yang baik untuk rakyat adalah baik juga untuk negara.
Iuran JHT adalah iuran para pekerja atas kerja keras mereka, maka dalam kontek kebijakan maka seharusnya negara bersifat netral dan menilai setiap orang punya kebebasan sendiri mengelola dana JHTnya sendiri. Itu sebenarnyaa filosofi permanker lama tahun 2015 yang mengizinkan pekerja dapat mencairkan JHT setelah 1 bulan kehilangan pekerjaan.
Beda cerita, bila Iuaran JHT dibayar oleh pemerintah bukan pekerja. Pemerintah bisa seenaknya menetapkan pada usia 56 tahun pekerja mendapatkan voucher bulan yang diambil dari dana pemerintah seperti dana bantuan sosial. Dana milik pekerja harus kembali kepada pekerja termasuk kapan penggunaan dana tersebut.
Arogansi dan Superior Negara
Tidak ada rujukan teoritis dan filosofis yang standar terkait JHT. Umumnya individu yang ikut plan hari tua tertentu, kapan pun bisa mengambil plan tersebut bahkan partisipasi asuransi saja bila sudah akumulasi unit terlampau bisa diambil kapan saja (any time).
Dalam Permenaker terbaru 2/2022 seolah negara memiliki pretensi lebih hebat dengan mengembangkan dana JHT pekerja sampai 56 tahun padahal kebutuhan individu berbeda terhadap kebutuhan masa depannya.
Individu pekerja setelah kehilangan pekerjaan atau memutuskan berhenti kerja bisa saja memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis sebelum retirement-nya dan memutuskan menggunakan JHT tersebut untuk memulai bisnisnya. Bahkan dia mampu memberikan return JHTnya lebih baik daripada yang dikelola oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, Permenaker 2/2022 harus dibatalkan karena ada arogansi dan superior negara di atas individu dalam mengelola jaminan hari tua para pekerja.
Dalam sudut pandang kebijakan publik, seharusnya setiap kebijakan saling sinergi dengan kebijakan besar terdahulunya. Publik memahami UU nomor 1/2020 tentang kedaruratan keuangan negara akibat covid membuat pemerintah menggelontorkan dana PEN ratusan triliun untuk menangani kesehatan dan pemulihan ekonomi. Narasi pemerintah adalah mengembangkan UMKM dan semangat kemandirian dan entrepreunership.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua telah menghambat program entrepreneurship masyarakat.
Individu yang memutuskan pensiun dini, atau karena diPHK seiring melihat lapangan pekerjaan sedang sulit dan akhirnya individu tersebut memutuskan untuk membangun usaha sendiri dengan memaksimalkan mengunakan dana JHTnya. Permenaker 2/2022 bukannya mendorong entreprenuership malah mempersulit rakyatnya untuk punya usaha mandirinya. JHT tidak bisa cair sampai individu tersebut mencapai 56 tahun. padahal JHT tersebut penting untuk membangun usahanya ketika kehilangan pekerjaan.
Isyaratkan Keterbatasan Likuiditas
Permenaker 2/2022 diklaim pemerintah memiliki JHT memiliki beberapa manfaat di antaranya diantaranya akumulasi iuran dari pengembangan. Kemudian, dana dapat dicairkan sebelum masa pensiun dengan persyaratan tertentu. Dan peserta telah mengikuti kepesertaan selama 10 tahun dengan nilai klaim maksimal sebesar 30 persen. Adapun untuk klaim sebesar 30 persen tersebut digunakan untuk keperluan perumahan. Dan klaim juga bisa dilakukan senilai 10 persen di luar kebutuhan perumahan.
Permenaker tersebut seolah sudah tepat dan ideal untuk pekerja padahal bisa jadi Permenaker tersebut merencana menahan dana sekitar Rp387,45 triliun milik pekerja untuk mengatasi keterbatasan likuid pemerintah atau akan diinvestasikan lain untuk proyek-proyek infrastruktur.
Tuduhan tersebut beralasan karena defisit APBN2021 mencapai Rp787 triliun dan BI tidak diizinkan lagi membeli SUN untuk menutupi defisit APBN tersebut.
Dana investasi yang dikelola BPJS Jamsostek sampai akhir 2021 mencapai Rp 553,5 triliun. Mayoritas dana tersebut digunakan yakni 63% yang ditempatkan di surat utang. Lalu 19% di deposito, 11% di saham, 6,5% di reksadana, dan 0,5% sisanya merupakan investasi langsung. Bila dana investasi JHT (70%) Rp387,45 triliun dapat dikelola sampai pekerja berusia 56 tahun maka pemerintah memiliki dana likuid yang cukup besar untuk dimanfaatkan.
Persoalannya adalah dana tersebut adalah milik pekerja yang mereka juga sedang membutuhkannya disaat kehilangan pekerjaan dan disaat pandemi belum juga mereda.
JKP Bukan Solusi Tepat
Alasan Pemerintah bahwa Permenaker 2/2022 tersebut sudah tepat karena selain dana JHT akan dikembangkan sampai 56 tahun, pekerja juga memiliki JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) dengan besaran sesuai iuran yang dibayarkan ke BP Jamsostek.
Pemerintah berdalih bahwa keberadaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di PP No. 37 Tahun 2021 atau turunan UU No. 11 Tahun 2022 sudah cukup memberikan solusi pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Adalah tidak tepat JKP akan menjawab masalah pekerja saat ini. JKP tidak bisa menjawab kebutuhan pekerja untuk memenuhi sulitnya mencari kerja di saat pandemi 2022 ini karena JKP terlalui kecil dan sulit pencairannya.
Patut diingat bahwa JKP memberikan manfaat berupa uang tunai, akses ke informasi kerja, bimbingan dan konseling karier, serta pelatihan kerja. JKP tidak efektif karena selain uang tunainya kecil juga tidak banyak manfaat dari kegiatan pelatihan dan bimbingan kerja saat pekerjaan sulit ditemukan. Selain uang tunai hanya cukup 1-2 bulan karena hilang pekerjaan, pencairan JKP juga dirasakan sulit dan rumit. Makin membebankan para pekerja.
Harus diketahui juga bahwa JKP tidak berlaku untuk pekerja PKWT sehingga JKP bukan jawaban atas kebutuhan JHT yang dirasakan banyak manfaatnya buat pekerja.
Oleh: Etin Suprihatin, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *) Dokter memiliki peran sentral dalam kesehatan masyarakat. Peran…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Sosial Ekonomi Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menghargai peran vital tenaga pengajar di perguruan tinggi,…
Oleh: Sumintro Disastra, Peneliti di Urban Catalyst Institute Di tengah dinamika perekonomian global yang penuh tantangan, kebijakan ekonomi…
Oleh: Etin Suprihatin, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *) Dokter memiliki peran sentral dalam kesehatan masyarakat. Peran…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Sosial Ekonomi Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menghargai peran vital tenaga pengajar di perguruan tinggi,…
Oleh: Sumintro Disastra, Peneliti di Urban Catalyst Institute Di tengah dinamika perekonomian global yang penuh tantangan, kebijakan ekonomi…