Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)
Dalam beberapa pekan ini, isu pengenaan pajak sembako dan jasa pendidikan tampak menyeruak diberbagai kalangan. Setiap individu sontak menyuarakan pendapat masing-masing baik kelompok ahli yang memang menggeluti dalam kehidupan sehari-hari sekaligus memiliki kapasitas yang mumpuni hingga kelompok awam dan pemula. Respon yang dihasilkan juga beragam buah dari pendalaman substansi ataupun memang semata ikut meramaikan. Pihak yang mendukung berpedoman kepada dasar pemikiran bentuk upaya memperbaiki tata kelola pungutan sekaligus menegakkan aspek keadilan sesuai filosofi utama perpajakan. Sebaliknya pihak yang menentang mendasarkan kepada permasalahan timing yang tidak tepat dikaitkan dengan kondisi pandemi yang masih melanda. Ke depannya, diskursus ini tampaknya masih akan terus mengemuka dengan variasi yang dinamis tergantung intensitas pemberitaan.
Penulis sendiri juga tertarik untuk mencoba mengulik lebih dalam aspek yang paling mendasar dari obyek yang nantinya akan dikenai pungutan pajak yaitu sembako ataupun jasa pendidikan itu sendiri. Untuk lebih memfokuskan pembahasan, sembako akan diulas terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kategori sebagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Sembako sendiri merupakan kepanjangan dari “sembilan bahan pokok” yang secara umum selalu dikonsumsi masyarakat di Indonesia secara menyeluruh. Merujuk kepada beleid Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 115 Tahun 1998, yang masuk daftar sembako adalah: beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, jagung, minyak tanah serta garam beryodium.
Karena statusnya sebagai sembako, maka pemerintah dirasa perlu menetapkan harga acuan pembelian maupun penjualan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017. Beras misalnya harga acuan pembelian di petani Rp7.300 per kg maka acuan harga penjualan dikonsumen menjadi Rp9.300 per kg. Untuk daging beku dan daging segar sapi maka harga acuan pembelian konsumen sebesar Rp80.000 per kg untuk daging beku. Sedangkan untuk daging segar, bagian paha depan sebesar Rp98.000 per kg, paha belakang Rp105.000 per kg, sandung lamur Rp80.000 per kg, dan tetelan Rp50.000 per kg. Hal yang sama juga dikenakan kepada tujuh komoditi lainnya di dalam kelompok sembako ini.
Filosofi Perpajakan
Pandemi betul-betul memporak porandakan seluruh tatanan ekonomi global. Pemerintah sendiri terus memberikan dukungan nyata via belanja APBN yang menyentuh kisaran Rp699,43 triliun dalam kerangka program Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Fokus belanja di sektor kesehatan, jaring pengaman sosial serta jaring pengaman ekonomi. Untuk jaring pengaman sosial diterjemahkan ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, bantuan sosial tunai, kartu pra kerja, bantuan langsung tunai dana desa serta berbagai skema perlindungan sosial lainnya. Sementara belanja kesehatan dititik beratkan untuk diagnostik testing dan tracking, program vaksinasi, insentif pajak sektor kesehatan dan berbagai penanganan lainnya. Tak ketinggalan berbagai program dukungan UMKM, korporasi, sektor prioritas dan insentif usaha.
Jika merujuk regulasi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diperkuat menjadi Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020, skema PEN ini sifatnya sementara saja dimulai 2020 hingga 2023. Di 2023 inilah pemerintah akan berusaha melakukan proses konsolidasi fiskal secara menyeluruh demi penyehatan APBN yang sudah bekerja keras menyelamatkan bangsa menghadapi terjangan badai pandemi sejak 2020. Salah satu contoh proses konsolidasi fiskal yang diupayakan nantinya adalah mengembalikan kembali defisit anggaran 3% PDB secara bertahap dan berkelanjutan sekaligus menilik kembali strategi mengembalikan besaran pendapatan negara khususnya perpajakan yang mengalami penurunan signifikan akibat pembatasan aktivitas ekonomi dan sosial.
Konsolidasi fiskal itu sendiri jelas tidak lepas dari reformasi fiskal yang diarahkan untuk mendukung penyehatan APBN secara menyeluruh. Menyeluruh artinya wajib melihat dari seluruh komponen pembentuk APBN baik dari sisi pendapatan, belanja dan pembiayaan. Kebijakan di salah satu komponen tentu membawa konsekuensi di komponen lainnya. Kebijakan di belanja tentu tidak terpisah dari keputusan yang dibentuk di komponen pendapatan dan pembiayaan. Sebaliknya kebijakan belanja juga mempengaruhi keputusan yang diambil di dalam komponen lainnya. Kausalitas hubungan inilah yang diharapkan mampu menjadi infrastruktur memadai bagi pembentukan APBN yang adil, sehat, berketahanan, inklusi dan berkelanjutan.
Ketika belanja negara sudah bekerja sangat keras memberikan stimulan, sementara di sisi pendapatan mengalami perlambatan, tentu harus dipikirkan solusinya. Pemerintah kemudian mengajukan reformasi perpajakan untuk menjawab tantangan ini sekaligus mendukung pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Reformasi meliputi dua aspek yaitu aspek penguatan administratif dan kebijakan. Reformasi administratif merupakan langkah perbaikan terus-menerus untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Reformasi administratif dilakukan melalui peningkatan layanan dan simplifikasi administrasi, penerapan ICT dan basis data yang integratif, serta program peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Reformasi aspek kebijakan diwujudkan melalui penyempurnaan PPN, penguatan kebijakan PPh OP, dan potensi pengenalan jenis pajak baru misalnya terkait pemajakan untuk mengendalikan eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Langkah lainnya melalui penggalian potensi dan pengenalan jenis pajak baru yang diarahkan untuk mengendalikan negative externality dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu potensi pajak baru tersebut adalah pajak karbon, yang merupakan salah satu instrumen nilai ekonomi karbon (carbon pricing) yang diharapkan dapat mendorong investasi hijau, mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim, dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Ketika kemudian terdapat usulan pengenaan PPN baru atas sembako, penulis melihat bahwa publik harusnya dapat mencerna lebih mendasar ketika kondisi eksisting semua sembako dibebaskan dari pungutan PPN tanpa mempertimbangkan jenis, harga dan kelompok yang mengkonsumsi. Padahal jenis-jenis sembako itu sendiri memiliki variabilitas yang cukup lebar seperti kasus daging sapi misalnya ada yang dikenakan Rp110.000 per kg ada juga jenis daging sapi spesifik yang dihargai hingga Rp1,200.000 per kg. Ketika keduanya sama-sama dibebaskan dari fasilitas pungutan PPN, selain tidak menciptakan rasa keadilan juga dikhawatirkan menimbulkan distorsi pasar. Karenanya usulan pengenaan pungutan baru PPN atas sembako berusaha membenahi tata kelola yang selama ini dirasa belum benar dan masih mengandung banyak kelemahan. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh : Gavin Asadit, Peneliti Pendidikan Dasar Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan…
Oleh : Rani Setiawan, Pemerhati Sosial Budaya Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat seharusnya menjadi berkah bagi kemajuan…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh : Gavin Asadit, Peneliti Pendidikan Dasar Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan…
Oleh : Rani Setiawan, Pemerhati Sosial Budaya Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat seharusnya menjadi berkah bagi kemajuan…