Oleh: Rita Helbra Tenrini, Peneliti BKF Kemenkeu
Bencana alam terus terjadi di seluruh Indonesia sejak awal 2021. Tercatat 1205 bencana alam terjadi dari 1 Januari sd 30 April 2021, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dari seluruh bencana alam, banjir merupakan kejadian yang mendominasi dengan 501 kali, kemudian angin putting beliung 339 kali dan tanah longsor 233 kali.
Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terdapat tiga jenis bencana yaitu bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Sementara itu, bencana non-alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.Pendanaan yang dibahas dalam study ini adalah pendanaan untuk bencana alam.
Letak geologis Indonesia terletak diantara tiga lempeng utama di dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Australia, dan lempeng Pasifik, serta berada pada wilayah cincin api (ring of fire) membuat Indonesia memiliki potensi bencana alam yang tinggi seperti gempa, tsunami, longsor, dan erupsi gunung api. Pengaruh dari perubahan iklim dan aktivitas manusia seperti perambahan hutan juga berkontribusi terjadinya peningkatan bencana alam.
Kejadian bencana alam yang sulit diprediksi menyebabkan masyarakat kurang siap dalam menghadapi bencana alam dan akhirnya hal ini berdampak pada kehilangan aset, maupun perekonomian bahkan keselamatan diri sendiri. Berdasarkan UU Penanggulangan Bencana Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dana penanggulangan bencana berasal APBN, APBD dan/atau masyarakat.
Penanggulangan bencana mempunyai tugas secara terintegrasi meliputi prabencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Setiap tahapan membutuhkan pembiayaan masing-masing, pembiayaan pada tahap prabencana dilakukan melalui kerangka kerja Konvergensi Adaptasi Perubahan Iklim – Pengurangan Risiko Bencana (Konvergensi API – PRB). Pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim secara umum berasal dari tiga sumber, yaitu : (i) APBN, berupa rupiah murni, revolving fund, hibah luar dan dalam negeri, Debt to Nature Swap; (ii) Swasta Dalam Negeri, berupa dukungan perbankan, nonBank, Corporate Social Responsibility (CSR) dan (iii) Dukungan Internasional, yang saat ini tersedia diantaranya Adaptation Fund, Copenhagen Green Climate Fund dan skema pendanaan lainnya yang dibahas di forum-forum internasional serta dari swasta atau yayasan internasional.
Pada tahap tanggap darurat bencana, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana, dana penanggulangan bencana meliputi: (i) dana penanggulangan bencana yang telah dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk masing-masing instansi/lembaga terkait; (ii) dana siap pakai yang dialokasikan dalam anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); dan (iii) dana siap pakai yang telah dialokasikan pemerintah daerah dalam anggaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Dana penanggulangan bencana dalam tahap pascabencana digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dana penanggulangan bencana dalam APBN masuk dalam dana cadangan penanggulangan bencana alam. Alokasi dana cadangan tersebut mengalami peningkatan lebih dari 2 kali dari tahun 2016 sebesar Rp4.000 miliar menjadi Rp8.787,6 miliar, akan tetapi mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi Rp3.829,7 miliar.
Akan tetapi dana cadangan penanggulangan bencana alam ini tidak mencukupi untuk mengganti kerugian ekonomi, Kementerian Keuangan juga mencatat bahwa kerugian ekonomi akibat bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai Rp 22,8 triliun (Republika, 2021). Oleh karena itu dibutuhkan skema risk transfer yang secara konvensional mengalihkan risiko seseorang ke perusahaan asuransi. Dengan asuransi bencana maka masyarakat mendapatkan pelindungan dari risiko tertentu.
Pengasuransian BMN
Salah satu isu utama yang dibahas pada pertemuan tahunan IMF-WB 2018 adalah terkait bencana. Pertemuan tersebut melakukan penyusunan Disaster Risk Finance and Insurance (DRFI), yakni bagaimana nantinya ada skema pembiayaan dalam mengatasi risiko bencana dan asuransi pasca bencana. Berdasarkan pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui PMK No 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara (BMN) telah mulai mengasuransikan Barang Milik Negara. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah sernua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Akan tetapi tidak seluruh BMN diasuransikan, hanya yang berupa gedung dan bangunan yang mempunyai dampak yang besar terhadap pelayanan umum apabila rusak atau hilang serta menunjang kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan.
Pengasuransian BMN dilaksanakan berdasarkan PMK Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara. BMN yang dapat diasuransikan berupa gedung dan bangunan yang memenuhi kriteria mempunyai dampak yang besar terhadap pelayanan umum apabila rusak atau hilang serta menunjang kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan pengasuransian BMN berada pada pimpinan satuan kerja K/L selaku pengguna barang. Implementasi terhadap asuransi BMN secara efektif dilaksanakan pada tahun 2019 dengan pilot project BMN pada Kementerian Keuangan. Pada tahun 2020, program asuransi BMN dilanjutkan meskipun masih pada BMN yang berada dalam penggunaan Kementerian Keuangan dan diharapkan sudah dapat diimplementasikan untuk beberapa K/L lainnya.
Sementara itu Kementerian Pertanian melakukan transfer risiko berupa asuransi pertanian melalui Permentan No.40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang fasilitasi asuransi pertanian yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dan perlindungan dalam menanggung risiko usaha tani. Akan tetapi bencana alam dialami oleh seluruh aspek masyarakat, mulai dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Masyarakat juga turut menanggung kerugian akibat bencana alam, bantuan yang diberikan pemerintah, swasta dalam bentuk CSR dan lembaga internasional tidak cukup menjadi pengganti bagi seluruh kerugian yang diderita masyarakat. Terutama masyarakat miskin, jumlah masyarakat miskin mengalami peningkatan pasca bencana alam, seperti pada bencana Tsunami Aceh, kemiskinan di Aceh mengalami peningkatan pasca bencana tsunami, dari 28,4 persen pada tahun 2004 menjadi 32,6 persen pada tahun 2005 (World Bank, 2008)
Cara lain untuk mengurangi dampak ekonomi dari kejadian bencana alam adalah dengan melakukan transfer risiko ke asuransi seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa perusahaan asuransi telah menawarkan paket asuransi khusus bencana alam. Akan tetapi menurut Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Hastanto SM Widodo menyatakan kesadaran masyarakat untuk memiliki asuransi bencana alam naik penetrasinya hanya sebesar 0,5% (kontan.co.id). Saat ini asuransi yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah risiko gempa bumi dan bencana. Tarif premi asuransi gempa bumi mengikuti Polis Standar Asuransi Gempa Bumi (PSAGBI) per zona risiko gempa dan untuk tarif premi asuransi banjir, menggunakan klausula perluasan risiko banjir, dengan tarif yang diatur sesuai data risiko banjir. Zona risiko gempa bumi dan banjir dan dampaknya ke tarif premi telah diatur pada Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.6/SE OJK/2017.
Beberapa negara berkembang seperti Turki, Iran, dan China telah mempunyai dan menjadikan asuransi bencana alam wajib. Di Turki misalnya pemerintah mewajibkan asuransi gempa bumi pada setiap rumah, ruko, maupun apartemen melalui The Turkish Catastrophic Pool (TCIP) (Tatok D.S., 2016). TCIP pertama diperkenalkan pada tahun 2000, dianggap sebagai metode kompensasi bagi para pemilik rumah tanpa membebani anggaran pemerintah dengan premi asuransi yang terjangkau.
Berdasarkan data Worldbank PDB perkapita Turki sebesar USD 9.126,6, Iran sebesar USD 5.550,1 dan China sebesar USD 10.216,6 pada tahun 2019 nilainya lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia dengan PDB per kapita sebesar USD 4.135,6. Perbedaan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan asuransi bencana alam belum menjadi kewajiban di Indonesia. Akan tetapi dengan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar, maka teori the law of big number dapat menjadi salah satu strategi dalam menarik minat perusahaan asuransi untuk menawarkan asuransi bencana alam.
Sebagai negara yang rawan bencana alam, Indonesia hendaknya terus mengupayakan terwujudnya asuransi bencana alam. Terbaginya risiko yang ditanggung antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan asuransi merupakan salah satu cara agar anggaran pemerintah tidak terlalu terbebani, dan masyarakat dapat terhindar dari kemiskinan akibat gangguan ekonomi pasca bencana alam.
Oleh: Etin Suprihatin, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *) Dokter memiliki peran sentral dalam kesehatan masyarakat. Peran…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Sosial Ekonomi Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menghargai peran vital tenaga pengajar di perguruan tinggi,…
Oleh: Sumintro Disastra, Peneliti di Urban Catalyst Institute Di tengah dinamika perekonomian global yang penuh tantangan, kebijakan ekonomi…
Oleh: Etin Suprihatin, Penyuluh Pajak di KPP WP Besar Satu *) Dokter memiliki peran sentral dalam kesehatan masyarakat. Peran…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Sosial Ekonomi Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dalam menghargai peran vital tenaga pengajar di perguruan tinggi,…
Oleh: Sumintro Disastra, Peneliti di Urban Catalyst Institute Di tengah dinamika perekonomian global yang penuh tantangan, kebijakan ekonomi…