Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)
Banyak pihak seringkali sulit membedakan antara istilah SILPA dengan SiLPA. Meski serupa dan hampir sama, sejatinya kedua hal ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Yang pasti baik SILPA maupun SiLPA berurusan erat dengan masalah pembiayaan yang dapat diartikan sebagai setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun berikutnya. Mekanisme ini di dalam sistem anggaran pemerintahan kita kenal sebagai salah satu metode di dalam menutup defisit atau surplus anggaran. Untuk menutup defisit anggaran disebut sebagai penerimaan pembiayaan, sementara untuk memanfaatkan surplus anggaran dikenal dengan pengeluaran pembiayaan.
Berdasar uraian tersebut, SiLPA didefinisikan sebagai Sisa Lebih Perhitungan Anggaran sebagai selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode tertentu. Sementara SILPA dikenal dengan istilah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenan yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto. Dalam penyusuna anggaran pemerintah baik APBN ataupun APBD, SILPA ini biasanya diupayakan untuk sama dengan nol yang artinya penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi. Pertanyaannya bagaimana jika SILPA positif yang artinya masih ada sisa anggaran dari pembiayaan netto setelah dikurangi defisit anggaran yang masih belum digunakan untuk membiayaan belanja daerah atau pengeluaran pembiayaan daerah. Sebaliknya jika SILPA negatif artinya pembiayaan netto belum mampu menutup defisit anggaran yang terjadi sehingga perlu mengupayakan sumebr pembiayaan lainnya atau mengurangi belanja daerah.
Terkait dengan SiLPA, bagaimana kemudian daerah memanfaatkan dana tersebut? Mengenai bagaimana menggunakan SiLPA ini, aturan teknis dari Kemendagri menyebutkan bahwa SiLPA tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Pemaknaan inilah yang mungkin sedikit dimaknai berbeda oleh banyak daerah sehingga beberapa belum memahami persoalan ini secara tepat. Akibatnya banyak daerah mengkalim SiLPA ini sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal SiLPA adalah dana sisa yang hanya boleh digunakan dalam pembiayaan berbeda dengan definisi PAD yang betul-betul pendapatan yang dimiliki daerah dan dapat digunakan untuk keperluan apapun.
Anomali Lainnya
SiLPA sendiri memiliki dimensi yang menarik untuk dianalisis lebih mendalam baik ketika tercipta karena pelampauan realisasi PAD yang melebihi target ataupun adanya beberapa program dan kegiatan yang ternyata tidak berjalan optimal di lapangan. SiLPA yang terjadi karena realisasi PAD melampaui target tentu SiLPA positif yang harus disyukuri sembari daerah memperbaiki basis proyeksi PAD tahun berikutnya. Yang menjadi catatan adalah ketika SiLPA yang muncul justru bersifat negatif akibat beberapa program dan kegiatan yang sudah dirancang sebelumnya justru terkendala di lapangan. Hal ini dapat menjadi indikator awal adanya permasalahan antara perencanaan dan penganggaran di dalam APBD masing-masing daerah.
Bagaimana memanfaatkan dana SiLPA di APBD juga menjadi bahasan lainnya yang perlu dicermati terlebih ketika dalam beberapa periode terakhir terus saja berulang munculnya fenomena dana daerah yang mengendap di perbankan dan tidak dimanfaatkan sebagaimana yang diharapkan. Fenomena dana iddle ini bukan saja membentuk pola keteraturan setiap tahunnya namun juga terus berulang dengan beberapa variasi di dalam perjalanannya. Menurut data pemerintah misalnya, besaran dana Pemda yang masih mengendap di perbankan hingga akhir November 2020 sekitar Rp124,6 triliun dan di akhir 2020 turun hingga tersisa sekitar Rp93,96 triliun.
Pemerintah pusat sepertinya perlu secara serius mencermati fenomena tersebut meski dibandingkan periode yang sama di 2019 sudah mengalami penurunan. Dan sepertinya ini hanyalah perulangan dari pola yang selalu terjadi sebelumnya. Artinya, ada mekanisme yang kurang pas antara penganggaran di Pusat dengan Pemda. Demi menciptakan fiscal space yang besar bagi Pemda, Pemerintah Pusat berusaha sekeras mungkin melakukan berbagai upaya penghematan dan memperbesar defisit anggaran, di sisi lain Pemda justru tidak memanfaatkan hal tersebut sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Banyak permasalahan yang menjadi penyebab utamanya dan tidak seluruhnya juga menjadi kesalahan dari daerah itu sendiri karena ada faktor penyumbang besar dari regulasi Pemerintah Pusat.
Tak salah jika Pusat harus segera memikirkan mekanisme seperti apa yang dapat dijadikan alat reward and punishment bagi daerah sehingga ke depannya mampu berlomba-lomba mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Termasuk juga sisi perbaikan sistem penganggaran di Pemerintah Pusat sehingga dana akan tersalurkan tepat waktu. Keterlambatan penyaluran dana Pemerintah Pusat ke Daerah jika mau jujur juga turut andil meningkatkan endapan dana Pemda di sektor perbankan. Karenanya, keterbukaan dan saling pengertian untuk memperbaiki permasalahan masing-masing kemudian menjadi kata kunci yang mujarab dalam mengatasi persoalan ini secara bijaksana.*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh : Gavin Asadit, Peneliti Pendidikan Dasar Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan…
Oleh : Rani Setiawan, Pemerhati Sosial Budaya Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat seharusnya menjadi berkah bagi kemajuan…
Oleh: Ratna Dwi Putranti, Peneliti di Urban Catalyst Management Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…
Oleh : Gavin Asadit, Peneliti Pendidikan Dasar Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan…
Oleh : Rani Setiawan, Pemerhati Sosial Budaya Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat seharusnya menjadi berkah bagi kemajuan…