Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L) di negeri ini. Bahkan, instansi dengan tunjangan kinerja pegawainya yang tinggi sekalipun, ternyata belum mampu memberikan pelayanan yang maksimal dan optimal bagi masyarakat.

Contoh kasus tertahannya barang hibah untuk sekolah luar biasa dari Korea Selatan selama hampir dua tahun di kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, menunjukkan bukti bahwa budaya pelayanan birokrasi yang  masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan pada umumnya.

Adalah SLB-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta seharusnya sudah menerima hibah 20 keyboard braille bernama taptilo yang dikirim perusahaan OHFA Tech Korea Selatan sejak Desember 2022. Namun, alat belajar itu tertahan seiring dikenakan tarif bea yang besar yang jumlahnya hingga ratusan juta rupiah.

Pihak Bea Cukai sempat menetapkan nilai barang tersebut sebesar Rp361,03 juta dengan meminta pihak sekolah untuk membayar Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) sebesar Rp116 juta, serta membayar biaya penyimpanan gudang yang dihitung per hari. Ini memang keterlaluan sekali.

Dan dengan entengnya pihak Bea dan Cukai bilang bahwa persoalannya sepele, yakni miskomunikasi karena tidak ada pemberitahun bahwa itu barang hibah. Padahal, barang hibah tersebut sudah jelas dari awalnya untuk keperluan murid sekolah luar biasa (SLB).

Memang, akhirnya setelah Menkeu Sri Mulyani turun tangan karena kasus barang hibah tersebut telah viral di media sosial, barang hibah tersebut akhirnya diserahkan kepada pihak SLB tanpa dikenakan biaya alias gratis.

Bayangkan, akibat miskomunikasi di tingkat birokrasi ini telah memberikan dampak negatif yang besar bagi siswa-siswa SLB karena kehilangan kesempatan untuk belajar dengan alat peraga pendidikan dalam dua tahun terakhir. Kita melihat masalah tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika aparat Bea Cukai memiliki jiwa pelayanan publik yang semestinya menjadi pedoman strategis di petugas lapangan khususnya yang berada di garda terdepan bandara di seluruh Indonesia.

Tentu yang paling dikhawatirkan, bahwa yang terungkap lewat media sosial hanya fenomena gunung es. Persoalan yang tidak teratasi ternyata lebih besar daripada yang kelihatan. Pasalnya, sejumlah kasus kecil pelayanan publik, termasuk di bea cukai, bukan kali ini saja terjadi.

Sebelumnya, pengakuan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Benny Rhamdani, awal April lalu, yang menemukan banyak tumpukan barang kiriman pekerja migran Indonesia yang tertahan di tempat penimbunan sementara PT di Semarang, Jawa Tengah dan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya selama berbulan-bulan menjadi bukti bahwa fenomena gunung es itu terjadi.

Tentu, ke depan, harapan publik ingin agar para birokrat bermental melayani, jangan lagi seolah semena-mena kepada publik. Jelaskan semua aturan tentang kepabeanan kepada masyarakat, jangan justru mencari celah akan ketidaktahuan masyarakat terhadap aturan.

Tidak hanya itu. Pengalaman seseorang lainnya saat akan mendapat kiriman sebuah mainan boneka yang dikirim dari rekannya di luar negeri, sampai sekarang masih tertahan di Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat, akibat petugas Bea Cukai yang bertugas di kantor pos tersebut melarang untuk diserahkan ke rekannya di Bekasi. Padahal yang bersangkutan bersedia membayar bea masuknya (jika ada), tetapi malah petugas Bea Cukai menjawab akan mengembalikannya ke luar negeri.

Jelas, kasus barang hibah untuk SLB dan beberapa kasus lainnya menunjukkan buruknya koordinasi, komunikasi, juga sosialisasi. Padahal, di era digital saat ini yang seharusnya kecepatan layanan menjadi tuntutan utama yang menjadi way of life petugas Bea Cukai di lapangan.

Nah, birokrasi yang sehat harusnya mampu bertransformasi menjadi pelayan publik yang sopan, ramah, berkualitas, profesional, sigap, dan kompeten. Tanpa keandalan pelayanan publik yang profesional, jangan salahkan masyarakat dengan kemudahan akses media social, saat ini gencar mengungkap berbagai kasus ketidakprofesionalan birokasi. Kita mengimbau jangan menunggu viral dulu, baru menyadari kekeliruan di mata publik.  

BERITA TERKAIT

Peran Strategis RI di WWF ke-10

    Pertemuan internasional World Water Forum (WWF) ke-10 akan dilaksanakan di Bali pada 18-25 Mei 2024. Forum ini menjadi…

Menuju Energi Bersih

Upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan oleh sektor industri terus digencarkan. Saat ini, sektor industri berkontribusi sekitar…

Inkonsistensi Data

Defisit APBN pada hakikatnya merupakan sesuatu yang baik. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang melemah, dibutuhkan suntikan dalam bentuk intervensi…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Peran Strategis RI di WWF ke-10

    Pertemuan internasional World Water Forum (WWF) ke-10 akan dilaksanakan di Bali pada 18-25 Mei 2024. Forum ini menjadi…

Menuju Energi Bersih

Upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan oleh sektor industri terus digencarkan. Saat ini, sektor industri berkontribusi sekitar…

Inkonsistensi Data

Defisit APBN pada hakikatnya merupakan sesuatu yang baik. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang melemah, dibutuhkan suntikan dalam bentuk intervensi…