Defisit APBN pada hakikatnya merupakan sesuatu yang baik. Dalam kondisi daya beli masyarakat yang melemah, dibutuhkan suntikan dalam bentuk intervensi pemerintah. Intervensi yang memberikan stimulus kepada ekonomi. Jika defisit anggaran dioptimalkan untuk memberikan stimulus maka akan memberikan dampak positif, meningkatkan produktivitas perekonomian. Tentu semua pihak setuju i pada masalah ini.
Masalahnya, selama ini pemerintah merasa defisit telah digunakan untuk keperluan stimulus, padahal tidak. Postur APBN saat ini justru semakin buruk, sehingga dampaknya terhadap peningkatan produktivitas tidak menjadi kenyataan.
Pemerintah mengklaim defisit APBN secara nyata meningkatkan produktivitas perekonomian dengan merujuk pada data impor yang meningkat. Sebagian besar impor berupa bahan baku hingga 75 persen. Impor yang meningkat ini dimaknai oleh pemerintah sebagai kenaikan produktivitas, lalu diklaim sebagai hal yang sejalan dengan kebijakan defisit APBN yang bertujuan untuk memberikan stimulus.
Namun jika benar porsi impor adalah bahan baku sebanyak 75 persen dan barang modal sebanyak 15 persen maka sebesar 90 persen impor untuk kegiatan produktif. Kegiatan produktif tersebut harus terefleksi pada peningkatan investasi. Jika ada peningkatan produksi, tidak mungkin tidak ada peningkatan investasi. Jika investasi meningkat maka akan ada peningkatan produktivitas nasional.
Produk domestik bruto Indonesia memang meningkat, namun lebih banyak dikontribusi oleh konsumsi, sementara peran investasi justru turun dari 34 persen ke 32 persen. Dari potret ini bisa dipertanyakan apakah benar yang diimpor selama ini bahan baku dan barang modal.
Jika yang diimpor adalah bahan baku dan barang modal untuk produksi maka neraca perdagangan Indonesia tidak akan mengalami defisit, karena sekalipun produk yang dihasilkan tidak diekspor karena lemahnya daya saing Indonesia, akan ada substitusi impor yang dapat membantu mengurangi defisit neraca perdagangan.
Klaim pemerintah bahwa ada kenaikan produktivitas tidak didukung kondisi dimana tidak terjadi kenaikan ekspor maupun substitusi impor. Jika salah satu saja terjadi maka Indonesia tidak akan mengalami defisit neraca perdagangan.
Di sisi lain, dalam kondisi ekspor tidak meningkat dan tidak terjadi substitusi impor, investasi di Indonesia seharusnya naik signifikan seiring dengan kenaikan impor bahan baku dan barang modal yang mencapai lebih dari 20 persen, bahkan pada 2022 naik 25 persen.
Pada saat bersamaan industri hanya tumbuh 4,5 persen dan ekonomi 5 persen. Dengan kenaikan impor yang tinggi kemungkinan besar yang diimpor bukan bahan baku maupun barang modal. Bahkan saat terjadi tekanan pada neraca perdagangan, Kemenkeu mengeluarkan kebijakan menaikkan PPh atas 1.147 item barang konsumsi, padahal porsinya diklaim hanya 10 persen dari total impor.
Yang terjadi adalah inkonsistensi dengan mencoba menggunakan data statistik makro ekonomi sebagai justifikasi terhadap capaian atau target yang selama ini dipatok, tetapi tidak pernah dilihat secara konfrehensif. Satu varibel ekonomi dengan variabel lain tidak konsisten. Tidak jujur dalam menginterpretasikan data .
Barang masukke Indonesia dikategorikan sebagai bahan baku jika importasinya ditujukan kepada korporasi, sementara jika tujuannya untuk permintaan akhir atau masyarakat dikategorikan sebagai barang konsumsi.
Di Indonesia yang terjadi importasi yang ditujukan untuk korporasi tidak dilakukan oleh importir produsen, tetapi importir umum, sehingga tidak ada jaminan bahan baku ini diolah lebih lanjut. Jika yang mengimpor adalah importir produsen maka yang diimpor pasti bahan baku, tidak untuk dijual karena bukan core business-nya.
Hal ini harus secara sungguh-sungguh dievaluasi agar tidak bias dalam menyusun kebijakan ekonomi. Selama datanya inkonsisten maka sulit membuat kebijakan yang tepat. Jika data yang diinterpretasikan salah, misalnya, yang selama ini diimpor adalah bahan baku, lalu membuat kebijakan relaksasi agar semakin mudah melakukan impor dengan tujuan meningkatkan ekspor, tetapi yang terjadi ekspor tidak naik atau terjadi substitusi impor sehingga defisit neraca perdagangan semakin besar. Respon kebijakan dengan hasil jadi semakin jauh.
Pembangunan infrastruktur di Indonesia telah menjadi salah satu fokus utama dalam pemerintahan Jokowi di masa lalu. Presiden RI periode 2014-2024…
Pembangunan di Papua telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga hal tersebut patut untuk diapresiasi. Papua…
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memulai langkah strategis dalam membangun Indonesia yang berdaulat…
Pembangunan infrastruktur di Indonesia telah menjadi salah satu fokus utama dalam pemerintahan Jokowi di masa lalu. Presiden RI periode 2014-2024…
Pembangunan di Papua telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga hal tersebut patut untuk diapresiasi. Papua…
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memulai langkah strategis dalam membangun Indonesia yang berdaulat…