Impor Bahan Obat Capai 96% - Industri Farmasi Ketergantungan Bahan Baku Impor

NERACA

 

Jakarta - Perkembangan industri bahan baku obat di Indonesia terhambat karena industri farmasi lebih memilih mengimpor daripada memproduksi sendiri. Akibatnya ketergantungan pada bahan baku obat impor memberikan efek fluktuasi pasar dan mutu karena membutuhkan teknologi dan riset yang memakan biaya tinggi untuk mendapatkan satu bahan aktif obat, serta terhambat akan hak paten obat yang tidak mungkin dapat diproduksi di dalam negeri.

Direktur Jenderal Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, meskipun 90% dari obat yang beredar di Indonesia diproduksi secara lokal, namun sampai saat ini hampir 96% dari bahan baku obat tersebut diimpor dari luar negeri.

"Sebenarnya riset mengenai bahan baku obat di Indonesia cukup banyak tetapi untuk bisa diproduksi secara massal butuh kerjasama academic-business-government (akademisi-bisnis-pemerintah),” ujarnya di Kementerian Kesehatan, Jum’at (4/5).

Linda mengatakan pemerintah berharap pada saat pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada Januari 2014 mendatang, paling tidak produksi bahan baku obat di Indonesia bisa naik 1%. Menurut dia, hal terpenting yang dapat mendorong perkembangan industri bahan baku obat adalah niat dan komitmen industri farmasi. "Kalau riset sudah ada, secara ekonomi juga feasible (memungkinkan) tinggal tergantung niat dan komitmen saja," katanya.

Pangsa Pasar

Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi) Kendrariadi Suhanda mengatakan, keengganan industri farmasi untuk memproduksi sendiri bahan baku obat disebabkan rendahnya pangsa pasar farmasi di Indonesia.

Dia menjelaskan, bahwa pangsa pasar obat di Indonesia tahun 2012 diproyeksikan hanya sekitar US$4,7 miliar atau hanya sekitar 0,4% dari total potensi pasar obat dunia yang mencapai lebih dari US$800 miliar dolar. Dari potensi US$4,7 miliar itu diperkirakan nilai bahan baku obat hanya 25%.

"Kita tentu tidak mau produksi, karena malah akan merugi, kalau kami produksi bahan baku di sini, malah harga obatnya bukannya bertambah murah, malah jadi lebih mahal. Maka itu pengusaha farmasi lebih memilih produksi obat jadi ketimbang bahan baku obat. Namanya dagang pasti ada hitung-hitungannya," kata Kendra.

Kendra mengatakan konsumsi obat per kapita di Indonesia memang masih kecil karena daya beli masyarakat yang masih rendah. Saat ini, impor bahan baku obat terbanyak dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni sekitar Rp6,84 triliun (60%), India di posisi kedua Rp3,42 triliun (30%), dan Eropa Rp1,4 triliun (10%).

"Produksi bahan baku obat Indonesia memang kecil sekali, hanya sekitar 4%, itupun kebanyakan bahan baku pendukung seperti alkohol, sisanya kalau bahan aktif kebanyakan masih impor," katanya.

Kerja Keras

Kendra berpendapat, upaya membangun industri bahan baku obat di Indonesia membutuhkan kerja keras. Pasalnya, saat ini, beberapa industri bahan baku obat setengah jadi juga masih mengandalkan bahan baku impor. Dia mencontohkan produk parasetamol dan penisilin.

“Karena itu, pengembangan industri farmasi harus dimulai dari industri kimia dasar agar kuat. Selain itu, pembangunan pabrik bahan baku obat di Indonesia juga harus memperhitungkan pasokan ke pasar ekspor,” terangnya.

Kendra juga mengungkapkan, omset bisnis bahan baku farmasi di Indonesia ditargetkan mencapai US$1,2 miliar pada 2012. Angka ini lebih besar 1,3% dibandingkan omset tahun lalu, yakni US$1,14 miliar. Namun, meski kebutuhan terus meningkat, produksi bahan baku farmasi dalam negeri masih minim dikarenakan sektor industri kimia dasar dalam negeri belum bisa memproduksi bahan baku secara efisien.

“Karena GP Farmasi sejauh ini melihat lebih efisien mengimpor bahan baku farmasi dibanding memproduksi sendiri, maka GP Farmasi akan melihat lebih dulu ke depan, yaitu apakah ada peluang untuk mengekspor obat-obatan lokal ke luar negeri,” ujarnya.

Sementara itu, GP Farmasi mengatakan untuk pasar obat generik mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dari sisi nilai dan volumenya. Indonesia akan mengalami pertumbuhan dua digit dari US$3,7 miliar di 2010, pada tahun 2014 diperkirakan akan menjadi US$6,1 miliar.

Sebelumnya, Deputi Menteri Kordinator Perekonomian Eddy Putra Irawadi mengatakan, pemerintah dan pelaku usaha tengah merancang upaya menekan ketergantungan impor bahan baku obat hingga 20% dari total ketergantungan saat ini yang mencapai 96%, antara lain dengan memberikan fasilitas insentif dan kemudahan guna mendorong peluang membangun industri bahan baku obat.

BERITA TERKAIT

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Kemenparekraf Sertifikasi Halal Produk Mamin di 3.000 Desa Wisata

NERACA Jakarta – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) melakukan kick off akselerasi sertifikasi halal produk…

Implementasi Aturan Tata Kelola Lobster Terus Dikawal

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggandeng Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) dalam pendampingan implementasi tata kelola…

Nilai Impor di Bulan Maret Sebesar USD 17,96 Miliar

NERACA Jakarta – Nilai impor selama Maret 2024 tercatat sebesar USD 17,96 miliar. Kinerja impor ini melemah 2,60 persen dibandingkan…