NERACA
Depok – Dalam sidang S3 Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI), mengemuka bahwa tingginya masalah kelapa sawit yang ada di Tanah Air ini lebih dikarenakan banyaknya kementerian dan badan yang mengurusi komoditas tersebut.
Ada 32 kementerian dan kelembagaan yang turut campur dengan sawit. Saling menonjolkan ego. Kementerian ini belum termasuk kementerian yang sudah dipisah dengan nama yang baru, hal ini berarti akan ada penambahan jumlah kementerian yang akan mengurusi sektor sawit.
Menanggapi hal tersebut maka dibutuhkan suatu kebijakan baru, yang mampu melihat serta menyelesaikan tantangan dan hambatan pelaku usaha sawit secara holistik melalui sinergitas aktor-aktor penting dalam industri sawit melalui pembentukan Badan Otoritas Sawit Indonesia (BOSI).
"Badan Otoritas Sawit Indonesia (BOSI), ini menurut saya sangat bisa untuk mengurai segala persoalan industri kelapa sawit yang ada sekarang, Prof," kata Mutiara Panjaitan, dalam paparan sidang.
Ada delapan orang profesor dan doktor yang akan menguji BOSI yang disodorkan oleh putri dari pasangan (alm) Batara Manuasa Panjaitan dan Rukia Napitupulu itu.
Mulai dari Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H yang merangkap promotor, Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si (kopromotor), Prof. Dr. Yetty Komalasari Dewi, S.H., MLI, Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, Msc, Dr. Sadino, S.H., M.H.
Kemudian, Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H, Dr. Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP., C.APO., C.IMA dan Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. Dr. Parulian Paidi Aritonang, S.H., LL.M yang akan menjadi ketua sidang.
"Ragam persoalan yang dihadapi oleh para pelaku sawit, baik di hulu maupun di hilir. Walau begitu, ada irisan persoalan di antaranya yang saling terhubung," begitulah Mutiara menengok persoalan yang ada itu, yang kemudian diuraikan dalam disertasinya.
Selain itu, bahwa paradigma berfikir holistik pada industri kelapa sawit menjadi suatu keniscayaan ditengah-tengah gempuran kewajiban pemenuhan prinsip dan kriteria keberlanjutan. Paradigma berfikir ini harus diberlakukan terhadap pembentukan kebijakan di Indonesia, yang saat ini sifatnya masih sangat sektoral.
Mutiara juga kemudian menggambarkan bahwa ada dua pelaku usaha di hulu; perusahaan sawit dan petani sawit yang persoalannya beririsan dengan dua jenis usaha di hilir; perusahaan biofuel dan oleokimia.
Irisan persoalan yang saling terhubung kepada keempatnya, ada tiga; ketidakpastian legalitas lahan, disharmoni kebijakan antar kementerian dan lembaga yang ada serta kebijakan internasional.
Tiga irisan persoalan tadi, ada 3,3 juta hektar kebun kelapa sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan.
"Irisan ketiga adalah, adanya diskriminasi yang kemudian berlindung pada sustainability product," ungkap perempuan yang karib dipanggil Muti ini mengurai.
Menurut Muti, kalau tiga irisan ini tidak segera dituntaskan, persoalan legalitas lahan akan membuat produksi turun. Dampaknya, devisa akan turun, Pungutan Ekspor turun, biodiesel terancam.
“Lalu bila diskriminasi terus terbiarkan, akan menjadi penghambat ekspor. Dampaknya, akan terjadi over suplay, harga fluktuatif dan harga TBS (tandan buah segar) dipastikan terjerembab,” ucap Mutiara.
Menengok semua kenyataan itulah maka Mutiara menyodorkan apa yang disebut BOSI tadi. Lembaga ini akan menjadi satu-satunya yang mengurusi sawit, mulai dari hulu sampai hilir.
BOSI akan bersinergi langsung dengan swasta dan asosiasi kelapa sawit yang ada. BOSI juga akan menerapkan mekanisme akuntabilitas dan transparansi serta standar kredibilitas yang tinggi.
"Tapi lembaga ini baru akan bisa berjalan kalau mendapat dukungan langsung dari Presiden Prabowo. Sebab BOSI diharapkan akan berada langsung di bawah presiden," kata Mutiara.
Tak berlebihan sebenarnya bila Mutiara punya harapan besar kepada Presiden Prabowo untuk segera melirik idenya itu. Sebab apapun ceritanya, sawit telah menjadi ikon negara sejak lebih dari satu dekade terakhir.
Terbukti, sawit tak hanya menghidupi lebih dari 20 juta keluarga masyarakat Indonesia dan pada tahun 2023 industri sawit berkontribusi ke APBN sebesar Rp 88,7 triliun dengan rincian pajak sebesar Rp50,2 triliun, PNBP sebesar Rp32,4 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp6,1 triliun.
Angka ini belum termasuk peran sawit menghemat devisa impor hingga di angka lebih dari sekitar Rp100 triliun dan menurunkan emisi karbon hingga 32 juta ton per tahun. “Jadi diharapkan BOSI menjadi sebuah jalan mengatasi problematikan perkelapa sawitan di Indonesia,” pungkas Mutiara.
NERACA Jakarta – Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi mendorong dan mendukung penuh Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) yang merupakan member…
NERACA Semarang – Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mendorong masyarakat di Kota Semarang untuk menggalakan kembali konsep pertanian kota alias urban…
NERACA Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan percepatan hilirisasi akan memiliki peran penting dalam…
NERACA Jakarta – Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi mendorong dan mendukung penuh Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) yang merupakan member…
NERACA Semarang – Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mendorong masyarakat di Kota Semarang untuk menggalakan kembali konsep pertanian kota alias urban…
NERACA Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan percepatan hilirisasi akan memiliki peran penting dalam…