Oleh: Donny Kurniawan, Penyuluh Pajak KPP Madya Jakarta Utara *)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan lembaga pemerintah yang memiliki peran krusial dalam pengaturan dan pengelolaan pajak di Indonesia. Sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, DJP bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sistem perpajakan di negara ini berjalan dengan baik, adil, dan transparan.
Kerangka hukum yang mengatur administrasi perpajakan di Indonesia memang sangat kompleks, mencakup berbagai undang-undang dan peraturan yang saling terkait. Hal ini mencakup Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta berbagai peraturan pelaksana yang diturunkan dari undang-undang tersebut.
Peraturan perundangan tersebut memberikan dasar hukum bagi DJP untuk mengatur berbagai aspek perpajakan. Dengan beragamnya aturan perundangan yang dikeluarkan mencerminkan kebutuhan untuk mengakomodasi berbagai jenis pajak yang ada di Indonesia dan dalam situasi yang berbeda.
Kompleksitas ini juga dapat menimbulkan tantangan bagi wajib pajak dan otoritas pajak dalam hal kepatuhan dan administrasi. Wajib Pajak (WP) harus memahami berbagai peraturan yang berlaku -termasuk ketentuan yang sering berubah untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan benar.
Di sisi lain, otoritas pajak perlu memiliki sistem yang efisien untuk mengelola dan mengawasi kepatuhan pajak, serta memberikan layanan yang memadai kepada wajib pajak. Oleh karena itu, meskipun kerangka hukum yang kompleks ini bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan efektif, tantangan dalam implementasinya memerlukan perhatian dan upaya berkelanjutan dari semua pihak yang terlibat.
Dengan kompleksitas yang tinggi dalam peraturan perpajakan, tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan administrasi pada saat WP melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, dan membuat kesalahan adalah bagian dari pengalaman hidup yang wajar.
Kesalahan sering kali muncul sebagai hasil dari keputusan yang diambil dalam situasi yang kompleks, penuh tekanan dan atau ketika informasi yang tersedia tidak mencukupi. DJP mengakomodasi sifat dasar manusia tersebut dengan mengeluarkan aturan yang mengatur pemindahbukuan.
WP dapat mengajukan pemindahbukuan untuk memperbaiki kesalahan dalam pencatatan pembayaran pajak yang telah dilakukan. Kesalahan ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti salah memasukkan kode jenis setoran, salah jenis pajak, salah memasukkan NPWP pada kode billing dan atau kesalahan dalam jumlah yang dibayarkan.
Ketika WP menyadari adanya kesalahan tersebut, mereka perlu mengajukan pemindahbukuan agar pembayaran yang telah dilakukan dapat dialokasikan ke akun atau jenis pajak yang benar. Dengan melakukan Pemindahbukuan (Pbk), WP dapat memastikan bahwa catatan perpajakan mereka akurat dan sesuai dengan kewajiban yang sebenarnya, sehingga menghindari potensi masalah di masa depan, seperti denda atau sanksi administratif.
Optimalisasi Pajak
Selain itu, Pbk juga dapat diajukan untuk mengoptimalkan pengelolaan pajak, terutama dalam konteks pengembalian pajak atau kredit pajak. WP mungkin memiliki kelebihan pembayaran pajak yang dapat dialokasikan untuk kewajiban pajak di masa mendatang.
Dengan mengajukan pemindahbukuan, mereka dapat menggunakan kelebihan tersebut untuk mengurangi kewajiban pajak yang akan datang, sehingga membantu dalam perencanaan keuangan dan pengelolaan arus kas. Dengan demikian, Pbk menjadi alat penting bagi wajib pajak untuk memastikan bahwa kewajiban perpajakan mereka dikelola dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salah satu jenis pajak yang bisa dilakukan adalah pembayaran PPh Pasal 25. Dasar hukum yang mendasari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.
PPh Pasal 25 mengatur tentang angsuran pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak orang pribadi dan badan yang telah memiliki penghasilan. Dalam ketentuan ini, wajib pajak diwajibkan untuk melakukan pembayaran angsuran pajak setiap bulan berdasarkan perhitungan yang telah mereka sampaikan pada SPT tahunan tahun sebelumnya. Untuk WP orang pribadi perubahan nilai angsuran dilakukan mulai masa pajak Maret sedangkan untuk WP badan dilakukan perubahan nilai setoran mulai masa pajak April.
Walaupun WP orang pribadi atau badan terlambat menyampaikan SPT tahunan, tetapi untuk perubahan nilai angsuran tetap di bulan Maret atau April. Hal tersebut berakibat pada penghitungan ulang atas pembayaran yang telah dilakukan mulai masa Maret atau April. Apabila pembayaran PPh Pasal 25 yang sudah dibayarkan melebihi nilai PPh Pasal 25 pada SPT Tahunan yang terlambat disampaikan, maka kelebihan tersebut bisa dilakukan Pbk tetapi apabila hasil penghitungan menyebabkan adanya kurang bayar maka DJP dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk menagih kekurangan tersebut.
Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) PMK-9/PMK.03/2018, WP yang telah melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan telah mendapat validasi berupa nomor transaksi penerimaan negara dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi. Atas pembayaran PPh pasal 25 yang sudah dilakukan maka di tahun berikutnya dapat dilaporkan pada SPT Tahunan sebagai kredit pajak.
Adakalanya, dari semua pembayaran PPh Pasal 25 tahun berjalan tidak dilakukan pengkreditan di SPT tahunan dikarenakan adanya kelalaian wajib pajak atau ada tujuan agar SPT tahunan yang disampaikan tidak berstatus “lebih bayar” sehingga dapat mengakibatkan dilakukannya pemeriksaan terhadap SPT Tahunan yang dilaporkan.
Atas nilai pembayaran PPh Pasal 25 yang tidak masuk dalam nilai kredit pajak pada SPT Tahunan ada kalanya diajukan pemindahbukuan oleh WP. Permohonan pemindahbukuan atas pembayaran PPh Pasal 25 ini tidak dapat disetujui dikarenakan nilai PPh Pasal 25 tersebut sudah digunakan dalam pelaporan SPT masa PPh Pasal 25.
Perlu diingat kembali bahwa atas pembayaran PPh Pasal 25 yang sudah mendapat validasi berupa NTPN dianggap sebagai pelaporan SPT masa PPh Pasal 25. Sehingga apabila nilai pembayaran tersebut diajukan pemindahbukuan maka secara tidak langsung memiliki arti bahwa WP dianggap belum memenuhi kewajiban pelaporan SPT masa PPh Pasal 25. Petugas peneliti permohonan pemindahbukuan wajib pajak tidak diperkenankan untuk mengubah status SPT masa PPh Pasal 25 yang pada awalnya sudah ditunaikan kewajiban pembayaran dan pelaporannya menjadi belum ditunaikan sebagai akibat dari persetujuan permohonan Pbk.
Permohonan Pbk atas pembayaran PPh Pasal 25 dapat dikabulkan apabila pada 1 (satu) masa dilakukan 2 (dua) kali pembayaran dan pada SPT Tahunan yang dikreditkan oleh wajib pajak hanya satu NTPN. Kasus permohonan pemindahbukuan lain yang dapat disetujui yaitu saat dapat dibuktikan bahwa terdapat kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 atas masa bersangkutan dan atas kelebihan tersebut tidak digunakan sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan.
Atas pembayaran PPh Pasal 25 dianggap sebagai pemenuhan kewajiban pembayaran sekaligus pelaporan SPT masa PPh Pasal 25. Apabila terdapat pembayaran PPh Pasal 25 yang tidak dikreditkan pada SPT Tahunan dan atas pembayaran tersebut diajukan pemindahbukuan maka permohonan tidak dapat disetujui kecuali dalam 1 (satu) masa dapat dibuktikan terdapat 2 (dua) kali pembayaran atau pada 1 (satu) masa dapat dibuktikan telah terjadi kelebihan bayar pajak. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Komisi III DPR telah memilih Setyo Budiyanto…
Oleh: Cahyo Widjaya, Peneliti Ekonomi Kerakyatan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memprioritaskan digitalisasi ekonomi sebagai strategi utama…
Oleh : Maya Naura Lingga, Pemerhati Investasi dan Industri Presiden RI kedelapan, Prabowo Subianto, menunjukkan komitmen besar…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Komisi III DPR telah memilih Setyo Budiyanto…
Oleh: Cahyo Widjaya, Peneliti Ekonomi Kerakyatan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memprioritaskan digitalisasi ekonomi sebagai strategi utama…
Oleh: Donny Kurniawan, Penyuluh Pajak KPP Madya Jakarta Utara *) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan lembaga pemerintah yang memiliki…