Jakarta- Kemenkeu telah menerbitkan petunjuk teknis pelaksanaan sistem administrasi perpajakan baru. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/2024 tentang ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan (Coretax). Sementara itu, Indef meminta pemerintah menunda kenaikan tarif PPN yang menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang semula 11% menjadi 12% pada Januari 2025.
NERACA
Adapun latar belakang penerbitan PMK No. 81/2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025, adalah kebutuhan akan regulasi dalam rangka pelaksanaan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, akuntabel dan fleksibel. Seperti diketahui reformasi pajak melibatkan lima pilar, yaitu:
Pilar Organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), Teknologi Informasi dan Basis Data, Proses Bisnis, serta Peraturan Perundang-undangan. Khusus untuk Pilar Teknologi Informasi dan Basis Data serta Proses Bisnis inilah yang perlu diatur melalui regulasi yang komprehensif.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan bahwa poin-poin yang diatur dalam PMK ini menjadi dasar hukum implementasi hasil penataan ulang proses bisnis (Business Process Reengineering) pada sistem inti administrasi perpajakan yang baru. “PMK ini berdampak pada 42 peraturan yang sekarang masih berlaku. Saat ini kami sedang menggodok aturan turunan yang merupakan petunjuk pelaksanaan PMK Nomor 81 Tahun 2024," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (16/11).
Terbitnya PMK No. 81/2024 memfasilitasi kemudahan-kemudahan yang akan dinikmati oleh Wajib Pajak (WP). Antara lain:
Ketentuan lebih lengkap mengenai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81//2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dapat diakses dan diunduh pada laman landas pajak.go.id.
Tunda Kenaikan PPN
Sementara itu, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat. Kenaikan tarif PPN sudah termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk naik pada Januari 2025 menjadi 12%, dari yang saat ini telah di level 11%. Sementara itu, PPh badan direncanakan untuk dipangkas dari 22% menjadi 20%. Hal ini dilakukan untuk mendorong daya saing Indonesia.
Menanggapi hal itu, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, wacana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 11% naik menjadi 12% dinilai akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi.
“Karena jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen itu tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, maka otomatis akan terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid dalam keterangannya, Jumat (15/11).
Karena kenaikan satu produk ke produk yang lain akan memiliki implikasi terhadap double counting dalam perhitungan PPN. Di mana ketika barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan yang terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.
“Kenaikan PPN tentunya akan memiliki konsekuensinya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian memberi efek negatif bagi perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Dan dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” ujar Tauhid seperti dikutip Liputan6.com.
Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, ada tambahan penerimaan negara di atas 100 triliun. Akan tetapi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.
Terkait dengan hal itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah untuk menunda terlebih dahulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Sebab di banyak negara PPN tidak juga harus sebesar 12 persen. Bahkan Sejumlah negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10 persen,
“Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi maupun intensifikasi agar diperluas bukan kepada kenaikan tarif PPN itu sendiri, namun upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan intensifikasi kenaikan PPN tersebut. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen,” katanya.
Sementara itu, terkait dengan program makan siang bergizi, Tauhid Ahmad mengingatkan pemerintah agar mewaspadai risiko pembengkakan jumlah impor bahan pangan. Terlebih, lanjutnya, masih cukup banyak bahan pangan yang belum bisa dipenuhi di dalam negeri.
"Rasanya kayaknya sebagian besar [bahan pangan] itu impor ya, misalnya beras. Tanpa ada makan siang gratis saja kita sudah impor, kemarin 2 juta ton, hampir 3 juta ton," ujarnya.
Untuk itu, dia menekankan pentingnya untuk melibatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal untuk memperkuat suplai bagi program makan siang ini dan mengurangi impor bahan pangan. Dengan melibatkan UMKM lokal; petani, penyedia barang, sampai dengan pihak pelaksana lokal diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usaha mereka, alih-alih harus bermitra dengan pengusaha besar.
Dengan demikian, kata Tauhid, program makan siang gratis ini diharapnya tidak hanya akan memberikan dampak positif bagi kesehatan anak-anak, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha lokal.
"Ketimbang harus bermitra dengan pengusaha-pengusaha besar, [libatkan] peternak mandiri untuk penyediaan telur atau daging ayam buras. Sehingga mereka bisa terlibat lebih banyak. Iya, itu adalah dampak ekonominya di situ. Saya kira itu yang paling besar sih, itu dampak yang paling terlihat nanti," ujarnya. bari/mohar/fba
Jakarta-Keputusan pemerintah melalui Kemnaker yang menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5% pada 2025 dilakukan setelah berbagai kajian yang melibatkan…
NERACA Jakarta - Pemerintah resmi memutuskan untuk menyetop impor beberapa pangan pokok strategis selama dua tahun, yakni pada 2025-2026 seperti…
Jakarta-Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terus memicu polemik. Sejumlah kalangan menilai Kementerian…
Jakarta-Keputusan pemerintah melalui Kemnaker yang menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5% pada 2025 dilakukan setelah berbagai kajian yang melibatkan…
NERACA Jakarta - Pemerintah resmi memutuskan untuk menyetop impor beberapa pangan pokok strategis selama dua tahun, yakni pada 2025-2026 seperti…
Jakarta-Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terus memicu polemik. Sejumlah kalangan menilai Kementerian…