FOOD ESTATE DI PAPUA: - Solusi Ketahanan Pangan atau Ancaman bagi Ekosistem Masyarakat Adat?

 

 

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP,  Ekonom  UPN Veteran Jakarta

 

Memindahkan proyek food estate dari Kalimantan ke Papua mungkin terdengar sebagai solusi pragmatis karena kondisi tanah di Kalimantan dinilai kurang subur. Namun, keputusan ini berpotensi menimbulkan masalah baru yang tidak kalah serius.

Pertama, Papua memiliki kondisi geografis dan sosial yang sangat kompleks. Meskipun tanah di Papua, khususnya di Merauke, dikenal subur, tantangan infrastrukturnya sangat signifikan. Akses transportasi dan logistik di wilayah ini masih sangat terbatas, yang akan meningkatkan biaya produksi dan distribusi. Tanpa infrastruktur yang memadai, hasil dari food estate akan sulit dipasarkan dengan efisien, menambah beban pada anggaran dan bisa menghambat tujuan ketahanan pangan nasional.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, indeks pembangunan infrastruktur di Papua masih berada di level yang rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, dengan skor 48,9 (dari 100), jauh di bawah rata-rata nasional. Akses jalan dan transportasi di wilayah pedalaman Papua sangat terbatas, sementara biaya logistik di Papua diketahui mencapai 3-5 kali lebih mahal dibandingkan dengan wilayah di Indonesia bagian baratt.

Tanpa infrastruktur memadai, distribusi hasil panen dari food estate akan memerlukan investasi besar di sektor logistik. Ini menambah beban anggaran dan menghambat ketahanan pangan nasional karena tingginya cost per unit produksi dan distribusi.

Kedua, ada isu serius terkait hak tanah dan kesejahteraan masyarakat adat. Papua memiliki sejarah panjang terkait konflik tanah ulayat, dan proyek besar seperti food estate berpotensi memicu ketegangan lebih lanjut. Meskipun pemerintah menjamin tanah tidak akan diambil alih oleh swasta atau pemerintah, realitas di lapangan bisa sangat berbeda. Potensi marginalisasi masyarakat adat Papua dalam pengelolaan lahan food estate sangat besar jika tidak ada pengawasan ketat dan transparansi dalam implementasinya.

Studi dari Lembaga Penelitian Masyarakat Adat Nusantara (2022) menunjukkan bahwa sekitar 80% lahan di Papua masih berstatus tanah ulayat, yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat. Proyek-proyek besar di Papua seperti food estate berisiko menimbulkan konflik tanah. Sebagai contoh, pada 2021, protes masyarakat adat Marind di Merauke muncul terkait proyek-proyek agribisnis yang dinilai melanggar hak-hak ulayat mereka.

Meskipun pemerintah berjanji bahwa food estate akan dikelola masyarakat, kurangnya mekanisme yang jelas untuk melibatkan dan memberdayakan masyarakat adat bisa berujung pada marginalisasi. Tanah ulayat yang dialihfungsikan tanpa persetujuan kolektif bisa menciptakan ketegangan sosial yang menghambat kelancaran proyek.

Ketiga, keberlanjutan proyek ini juga patut dipertanyakan. Pengalaman proyek serupa di Kalimantan yang gagal memberikan hasil optimal menunjukkan bahwa food estate bukan solusi instan. Ketahanan pangan memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, termasuk diversifikasi sumber pangan, modernisasi pertanian skala kecil, dan investasi dalam teknologi pertanian yang sesuai dengan karakteristik lokal, bukan hanya cetak sawah massal.

Proyek food estate di Kalimantan Tengah, yang diluncurkan pada 2020, hanya mencapai 23% dari target produksi yang diharapkan, menurut laporan dari Kementerian Pertanian (2022). Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan ini, termasuk tanah yang tidak cocok dan kurangnya teknologi pertanian yang tepat untuk lahan marginal.

Pengalaman Kalimantan menunjukkan bahwa tanpa pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi lokal, proyek food estate di Papua bisa mengalami nasib serupa. Ketergantungan pada skala besar tanpa pertimbangan diversifikasi dan teknologi modern yang sesuai untuk kondisi lokal cenderung kurang efektif dalam jangka panjang.

Keempat, risiko lingkungan. Papua adalah salah satu daerah dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Proyek skala besar seperti food estate berpoteensi menyebabkan deforestasi dan kerusakan ekosistem lokal jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Hal ini akan berdampak panjang terhadap keseimbangan ekologis di Papua, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi sumber daya alam lainnya, termasuk perikanan dan kehutanan.

Laporan dari Greenpeace (2021) memperkirakan bahwa lebih dari 3 juta hektare hutan di Papua dapat terancam oleh proyek food estate dan perluasan perkebunan besar lainnya.

Deforestasi di Papua sendiri mencapai 90.000 hektare per tahun. Papua adalah rumah bagi 50% spesies flora dan fauna Indonesia, dan banyak dari spesies tersebut hanya ditemukan di wilayah ini.

Proyek skala besar seperti food estate dapat mempercepat deforestasi dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Dampak lingkungan yang negatif, seperti hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan siklus air, dapat mengakibatkan masalah jangka panjang yang lebih sulit diataasi, termasuk perubahan iklim lokal dan global serta pengurangan sumber daya alam yang penting bagi masyarakat adat dan ekosistem.

Pemindahan food estate ke Papua mungkin dapat menyelesaikan masalah lahan di Kalimantan, tetapi akan membuka tantangan baru yang lebih besar. Alih-alih menggantungkan ketahanan pangan pada satu solusi besar yang penuh risiko, akan lebih bijak untuk mengadopsi pendekatan yang lebih berkelanjutan dan terintegrasi, yang mempertimbangkan semua faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan secara menyeluruh, bukan melakukan food estate dengan skala industri yang jauh dari pelibatan masyarakkat kecil.

BERITA TERKAIT

Kebutuhan Pokok Tak Terdampak, Penyesuaian PPN 1% Berpihak ke Rakyat Kecil

    Oleh : Vania Salsabila Pratama, Pengamat Perpajakan       Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%…

Peran Aktif Masyarakat: Kunci Sukses Berantas Judol

Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya     Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…

Peran Strategis Direksi dan Komisaris Mencegah Kepailitan

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum             Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…

BERITA LAINNYA DI Opini

Kebutuhan Pokok Tak Terdampak, Penyesuaian PPN 1% Berpihak ke Rakyat Kecil

    Oleh : Vania Salsabila Pratama, Pengamat Perpajakan       Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%…

Peran Aktif Masyarakat: Kunci Sukses Berantas Judol

Oleh : Samuel Christian Galal, Pengamat Sosial Budaya     Perjudian online atau yang sering disebut judol telah menjadi ancaman…

Peran Strategis Direksi dan Komisaris Mencegah Kepailitan

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik, Konsultan Hukum             Kecenderungan meningkatnya perkara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran…