Etika, Hukum dan Masa Depan Demokrasi Politik

 

 

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, MH, Guru Besar FHUI

 

Dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul gelombang kemarahan yang demikian luas di kalangan elit intelektual dan para tokoh-tokoh bangsa yang diekspresikan. Saat ini kita tidak dapat merusak ruang publik dengan kebencian dan kemarahan, harus dibalik menjadi diskusi akademik yang produktif dan bersikap menerima.

Etik sangat beririsan dengan peradaban, sehingga etika dijadikan sebagai bahan acuan. Jika dikaitkan dengan Pilpres, maka muncullah pertanyaan apakah kita sebagai masyarakat dapat memanfaatkan momentum?

Mengenai perubahan UU melalui perkara pengujian dinyatakan sah dan harus dijadikan rujukan dalam penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan jadwal pendaftaran. Tetapi proses pengambilan keputusan di antara 9 hakim konstitusi, dinyatakan bermasalah oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). 

Karena itu, Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim Konstitusi yang menurut UU kekuasaan kehakiman maupun kode etik hakim konstitusi harus mundur dari penanganan perkara yang tetap melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan, diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua. Bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik MK, yang menurut tuntutan banyak pihak harus berakibat terhadap pembatalan putusan MK sebelumnya yang mengubah ketentuan mengenai syarat usia minimum calon presiden, atau berakibat tidak sahnya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden. Hal inilah yang menimbulkan narasi yang dilandasi oleh kebencian dan kemarahan, yaitu julukan kepada MK sebagai Mahkamah Keluarga, dan bahkan “Mahkamah Kentut” yang dinilai tidak mampu menemukan orang yang “kentut” di tengah bau menyengat karena adanya orang yang “kentut”.

Etika atau adab adalah kunci bagi kemajuan tingkat peradaban bangsa di masa depan. Adab atau keadaban kemanusiaan harus dipahami beririsan dengan prinsip keadilan dan bahkan ketuhanan dalam kehidupan umat manusia. Ketiganya, yaitu ketuhanan, keadilan dan keadaban merupakan Trisila kunci dalam menentukan ketinggian kualitas peradaban umat manusia di sepanjang sejarah.

Dalam perkembangan etika dan sejarah sangat penting dipahami untuk menyamakan persepsi dan pengertian mengenai apa yang kita maksudkan dengan etika dalam perbincangan ataupun bahkan dalam perdebatan publik mengenai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Ada lima pembagian etika dimana theological ethics yaitu etika yang dipahami sebagai bagian dari ajaran agama; ontological ethics yaitu etika sebagai objek kajian filsafat, objek kajian ilmiah tentang ajaran moral; positivistic ethics yaitu munculnya kebutuhan untuk menuliskan panduan-panduan etika perilaku dalam kehidupan bersama yang terorganisasi; functional ethics yaitu munculnya kebutuhan untuk menegakkan kode etik dan kode perilaku tertulis secara efektif dengan dukungan infra-struktur pelembagaan institusi penegak kode etik dan kode perilaku; dan court of ethics yaitu era keterbukaan di mana proses penegakan kode etik dan kode perilaku dipandang sebagai proses peradilan yang menurut prinsip-prinsip negara modern harus bersifat independen, imparsial, dan terbuka.

Kelima pembagian etika tersebut memperlihatkan bahwa pentingnya menyamakan persepsi di mana harus mengetahui bahwa etika mana yang  benar dan salah. Saat ini sedang terjadi gelombang democratic regression di seluruh dunia, tidak hanya terjadi di Indonesia dan harus dilihat sebagai trend kemunduran demokrasi di seluruh dunia. Khususnya di Indonesia, budaya politik kita saat ini adalah kerajaan hanya namanya saja republik. Lain hal dengan Austalia yang bentuk pemerintahannya monarki tetap bertindak seperti republik.

Oligarki dan totalitarianisme baru, menjelaskan bahwa sembilan naga yang berusaha menguasai seluruh sektor. Setelah menguasai media, berusaha menguasai gerakan civil society dikuasai, setelah itu baru akan membuat partai setelah menguasai suara masyarakat. Sehingga etika berbangsa dan bernegara perlu diperbaiki dan ditata, karena ini merupakan gejala baru yang terjadi di dunia termasuk Indonesia.

BERITA TERKAIT

Indonesia Bawa Sejumlah Misi Khusus di WWF Bali

  Oleh: Priyanka Prameswari, Pengamat Lingkungan   Acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali yang diadakan oleh World Water…

Peran Penting WWF untuk Solusi Permasalahan Air Dunia

  Oleh. Ryan Santoso, Pemerhati Sosial Budaya   Perhelatan Forum Air Dunia atau World Water Forum (WWF) ke-10 akan diselenggarakan…

Catatan Demokrasi

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Pesta demokrasi terus berlanjut dan babak akhir…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Bawa Sejumlah Misi Khusus di WWF Bali

  Oleh: Priyanka Prameswari, Pengamat Lingkungan   Acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali yang diadakan oleh World Water…

Peran Penting WWF untuk Solusi Permasalahan Air Dunia

  Oleh. Ryan Santoso, Pemerhati Sosial Budaya   Perhelatan Forum Air Dunia atau World Water Forum (WWF) ke-10 akan diselenggarakan…

Catatan Demokrasi

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Pesta demokrasi terus berlanjut dan babak akhir…