Sejumlah Tantangan Masih Belenggu Industri Petrokimia Nasional

Jakarta - Beberapa tantangan pada Indonesia's Chemical 4.0 . Pada Indonesia's Chemical 4.0 terdapat beberapa tantangan, mulai dari pabrik tidak efisien, adaptasi teknologi rendah, kurangnya kemampuan R&D, dan persoalan rantai pasok.

NERACA

Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Muhammad Khayam mengatakan produksi berbasis migas dan batubara tetap akan dilaksanakan secara beriringan. Hal tersebut berkaitan dengan skema Indonesia’s Chemical 4.0 yang ingin dicapai.

“Kemenperin optimis produksi kimia dasar akan meningkat di tahun 2030, lalu penggunaan bahan baku kawasan industri juga akan semakin meningkat. Untuk melaju kesana, dalam tiga sampai lima tahun pertama hingga 2021, Kita berupaya mengurangi impor kimia dasar hingga 35 persen,” papar Khayam pada acara seminar web bertajuk Indonesia Petrochemical and Plastic Industry Outlook 2021.

Lebih lanjut Khayam mengatakan cara pengurangannya adalah dengan meningkatkan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk menyalurkan ke industri hilir. Kemudian, efisiensi akan diringkatkan dengan menggunakan teknologi 4IR, dan memperkuat produksi serat sintesis untuk mendukung industri tekstil. Pada lima dan sepuluh tahun selanjutnya, yaitu 2025, kontribusi penjualan resin sintetis dan serat sintetis akan ditingkatkan sebesar lebih dari 1,5 kali.

Dengan cara meneruskan peningkatan produksi serat sintetis, memperkuat produksi produk perantara, dan meningkatkan kemampuan untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar. "Terakhir, 10 sampai 15 tahun hingga 2030, Kemenperin membidik Indonesia menjadi Top produsen biofuel dan bioplastic," ujar Khayam

Lebih lanjut, menurut Khayam, Kemenperin memproyeksi proses produksi industri petrokimia sudah dapat dilakukan dengan berbasis energi terbarukan (renewable energy) pada tahun 2030. "Kita harapkan pada 2030, industri petrokimia ini nantinya berbasis renewable energy," kata Khayam.

Di tempat yang sama, Ekonom CORE, Hendri Saparini mengatakan ada tantangan besar bagi industri petrokimia pascapandemi COVID-19, yaitu bahan baku dan produk turunannya. Industri petrokimkia dituntut menemukan inovasi bahan baku dan pengolahan produk turunan dengan harga bersaing dibanding produk luar negeri sehingga lebih kompetitif dan meningkatkan market share.

Bagi Indonesia, kondisi ini akan menjadi lebih berat karena sejumlah hal, Pertama, harus menghadapi ketidakpastian dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta perlambatan permintaan akibat penundaan ekspansi dan penurunan pertumbuhan industri di negara yang menjadi pasar utama ekspor Indonesia.

Kedua, karena dalam kondisi ini Indonesia harus tetap fokus membangun dan memperkuat industri di sisi hulu untuk mewujudkan struktur industri nasional yang dalam (deep industry). Langkah untuk membangun industri hulu tidak bisa lagi ditunda karena Indonesia sudah sangat terlambat dibanding negara-negara lain.

Salah satu yang menjadi prioritas pemerintah dalam membangun industri manufaktur yang kuat dan kompetitif adalah memperkuat industri hulu petrokimia. Ada beberapa alasan mengapa industri petrokimia menjadi pilihan. Antara lain, total bisnis industri ini sangat besar. Di tahun 2019, menurut Kementrian Perindustrian (Kemperin nilai bisnis industri plastik secara keseluruhan mencapai sekitar Rp 250 triliun.

 

Disamping itu, produk turunan industri petrokimia memiliki permintaan dalam negeri yang besar, tetapi masih sangat bergantung pada produk impor terutama dari negara di kawasan ASEAN. Padahal, kebutuhan domestik akan terus tumbuh. Dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas 5% per tahun dan industri hilir yang sudah sangat berkembang, penyediaan bahan baku yang akan dihasilkan oleh industri petrokimia menjadi sangat penting, baik jangka pendek maupun menengah panjang.

Pemerintah sangat serius dalam membangun industri hulu dan kesungguhan pemerintah tersebut sudah ditunjukkan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas pernah menyampaikan bahwa pemerintah akan mendukung pembangunan industri hulu petrokimia untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku. Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat meresmikan pabrik Chandra Asri yang bernilai investasi sangat besar, yakni sekitar Rp 5,7 triliun.

Pabrik ini akan menjadi salah satu solusi bagi penguatan industri manufaktur nasional karena akan mengurangi dan menyelesaikan masalah ketergantungan terhadap impor poli etilena (PE). Saat ini kebutuhan PE dalam negeri sebesar 2,3 juta ton tetapi produksi dalam negeri baru mampu memenuhi 280.000 ton sehingga 1,52 juta ton sisanya masih harus diimpor.

Pernyataan Presiden Jokowi bahwa kalau kita mampu kenapa harus impor merupakan pesan yang jelas bahwa pemerintah akan bersungguh-sungguh mendukung pembangunan industri hulu petrokimia ini. Presiden menyampaikan telah menyiapkan insentif pajak berupa tax holiday dan tax allowance. Tentu dukungan tersebut belum cukup, karena langkah Presiden Jokowi ini perlu segera diikuti dengan kebijakan lain secara komprehensif.

Kebijakan fiskal, terutama bagi industri dan perdagangan yang akan mendukung pengembangan industri petrokimia nasional sangat diperlukan agar tujuan untuk mengurangi ketergantungan impor, menyehatkan neraca perdagangan, menyelesaikan defisit transaksi berjalan, mendukung daya saing industri manufaktur maupun kemampuan memanfaatkan pasar dalam negeri dapat direalisasikan dengan baik.

Lebih lanjut, pembangunan industri hulu yang sudah sangat terlambat ini juga harus dibarengi dengan pemahaman yang sama dan dukungan dari semua pemangku kepentingan, baik dalam memandang permasalahan, tantangan dan peluang. Investasi besar yang dilakukan saat ini bukan pilihan tetapi sebuah keharusan karena Indonesia harus bersiap untuk menangkap peluang dan bersaing di masa depan.

Tentu pilihan ini membawa konsekuensi tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga perusahaan karena akan ada tekanan terhadap pendapatan bersih yang cukup besar bagi perusahaan dalam jangka pendek. Itulah sebabnya mengapa harus ada perubahan cara pandang dari seluruh pemangku kepentingan.

Semua pihak tidak boleh hanya melihat kepentingan jangka pendek tetapi juga dalam perspektif kepentingan bisnis dan strategis nasional yang lebih luas dan jangka panjang. Dengan demikian akan dapat memahami bahwa investasi dan ekspansi yang dilakukan dalam kondisi lingkungan bisnis kurang favourable seperti saat ini dapat diyakini sebagai pil pahit yang harus ditelan agar perusahaan dan industri lebih sehat dan kuat untuk mengambil peluang yang lebih besar di masa depan.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…