KPPI Selidiki Lonjakan Impor Barang Expansible Polystyrene

NERACA

Jakarta – Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Mardjoko menyampaikan, KPPI telah memulai penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard measures) atas lonjakan jumlah impor barang Expansible Polystyrene (EPS) terhitung mulai 18 November 2020.

Penyelidikan dilakukan setelah mendapat permohonan PT Kofuku Plastic Indonesia (KPI) atas nama industri dalam negeri penghasil komoditas tersebut pada 6 November 2020. Barang yang diselidiki adalah EPS dalam bentuk butiran dengan kode Harmonized System (HS) 3903.11.10 sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2017.

“Dari bukti awal permohonan yang diajukan oleh PT KPI, KPPI menemukan adanya lonjakan jumlah impor barang EPS. Selain itu, terdapat indikasi awal mengenai adanya kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah impor barang EPS,” ujar Mardjoko.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam tiga tahun terakhir (2016—2019) terjadi peningkatan jumlah impor barang EPS dengan tren sebesar 7,94 persen. Pada 2016, jumlah impor naik sebesar 23.867 ton.

Kemudian, pada 2017 naik sebesar 10,82 persen menjadi 26.451 ton. Pada 2018 naik 4,77 persen menjadi 27.712 ton, dan pada 2019 naik 9,38 persen menjadi 30.312 ton. Negara asal impor barang kertas EPS, antara lain Taiwan dengan pangsa pasar 31,16 persen, Jepang (25,17 persen), Tiongkok (16,44 persen), Vietnam (8,31 persen), Thailand (5,19 persen), India (4,75 persen), Korea Selatan (4,42 persen), dan negara lainnya (4,56 persen).

Sedangkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut, menurut Mardjoko, terlihat dari beberapa indikator kinerja industri dalam negeri pada 2016—2019. Indikator tersebut di antaranya penurunan volume produksi dan penjualan domestik yang berdampak terhadap penurunan keuntungan secara terus menerus.

Selain itu, ada peningkatan volume persediaan akhir atau jumlah barang yang tidak terjual, penurunan kapasitas terpakai, berkurangnya jumlah tenaga kerja, serta penurunan pangsa pasar industri dalam negeri di pasar domestik.

"KPPI telah menyampaikan informasi terkait dimulainya penyelidikan tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti industri dalam negeri, eksportir, eksportir produsen, dan importir. Pihak-pihak yang berkepentingan dipersilakan mendaftarkan diri selambat-lambatnya 15 hari sejak tanggal pengumuman ini. Pendaftaran dapat disampaikan secara tertulis kepada KPPI," ungkap Mardjoko.

Mardjoko menambahkan, pihak yang berkepentingan diberikan kesempatan untuk menyampaikan tambahan informasi, tanggapan secara tertulis, dan/atau permintaan dengar pendapat (hearing) yang berkaitan dengan penyelidikan dan kerugian.

Meski begitu, disisi lain Indonesia memperoleh pengecualian dari pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard) oleh Afrika Selatan (Afsel) atas produk threaded fasteners of iron or steel: bolt ends & screw studs, screw studding and other hexagon nuts (fastener).

Seperti diketahui, fastener adalah sebutan lain baut pengencang, benda dengan ukuran kecil namun sangat penting dalam struktur sebuah bangunan.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengungkapkan, penyelidikan pada 2019 oleh Otoritas Afsel atas produk fastener impor baru saja rampung dan menempatkan Indonesia dalam daftar yang dikecualikan dari pengenaan safeguard.

“Afsel sangat terusik dengan banjirnya produk dari Tiongkok. Karena itu, mereka gencar melindungi industri dalam negerinya melalui safeguard. Namun demikian, kita tentu tidak tinggal diam dan mengupayakan Indonesia lolos dari pengenaan safeguard,” ujar Agus.

Tiap tahun sejak 2018, Afsel tidak pernah absen dalam penyelidikan safeguard produk fastener, masing-masing dengan cakupan HS yang berbeda. Sejak 1 Maret 2019, International Trade Administration Commission of South Africa (ITAC) selaku Otoritas Pengamanan Perdagangan Afsel melakukan penyelidikan atas permohonan South Africa Iron and Steel Institute (Petisioner).

Penyelidikan tersebut berlangsung selama 17 bulan dan telah selesai dilakukan. Dalam laporannya, ITAC menemukan semua prasyarat pengenaan safeguard berupa lonjakan impor, kerugian material industri domestik, dan hubungan sebab akibat di antara keduanya. ITAC memutuskan memberlakukan safeguard berupa ad valorem duty selama tiga tahun. Afsel mengenakan bea masuk safeguard selama tiga tahun terhitung mulai 24 Juli 2020.

Sesuai ketentuan WTO, tarif akan diliberalisasi memasuki tahun kedua dan tahun ketiga. Tarif tahun pertama ditetapkan sebesar 54,04 persen; lalu diliberalisasi menjadi 52,04 persen di tahun kedua; dan 50,04 persen pada tahun ketiga.

 

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…