Mitos Terkait Vaksin yang Perlu Diluruskan

Sejumlah lembaga di dunia saat ini berlomba menyelesaikan pembuatan vaksin Covid-19. Namun, ada beberapa mitos tentang vaksin dan imunisasi yang beredar. Dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli Windhi Kresnawati menyebutkan bahwa beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu. Saat ini, lanjutnya, hal serupa terjadi pada program vaksinasi Covid-19. Tidak sedikit dari mitos yang beredar tersebut membuat masyarakat enggan menjalankan vaksinasi.

"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengamini bahwa satu  dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin," katanya dalam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang mengangkat tema Cek Fakta Seputar Mitos Vaksin, dikutip dari CNN Indonesia.com.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi #SatgasCovid19, Windhi mengungkapkan setidaknya ada tujuh mitos soal kesehatan yang beredar yang perlu segera diluruskan.

Mitos penyakit infeksi bisa dihindari hanya dengan gaya hidup sehat

Windhi tak menampik pola hidup sehat adalah kebiasaan baik. Namun dia mengingatkan, cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Fakta soal anggapan tersebut dapat dilihat pada kasus campak di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang dari negara tersebut. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak. Yang perlu digarisbawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan."Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat," katanya.

Kondisi ini mulai berubah ketika di AS mulai muncul kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Kemudian, diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak. "Akibatnya, pada2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi," tambah Windhi.

 Mitos anak yang telah diimunisasi tetap akan sakit

Windhi menjelaskan bahwa bila pun anak mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian. "Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

Mitos vaksin memiliki kandungan zat berbahaya

Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama yakni aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya vaksin melewati proses produksi yang panjang. "Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM.  Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," kata Windhi.

Mitos vaksin menyebabkan autisme

Menurut Windhi, tidak ada kaitan antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini disimpulkan dari sebuah penelitian panjang yang dilakukan selama lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin. AS pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada 1999 karena takut dapat memicu autisme. Namun faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di AS malah melonjak.

Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika. "Jadi jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet," kata Windhi.

Mitos vaksin mengandung sel janin aborsi.

Virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak, misalnya virus campak, rubella, polio, bahkan SARS Cov-2 atau virus Corona memerlukan inang berupa sel hidup. Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal, sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," tambah Windhi.

 Mitos penyakit yang sudah ada vaksinnya, tak perlu vaksinasi lagi

"Ini pun jelas hoaks. Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut," tegas Windhi. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada akhir 2017. Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun. "Kemudian polio sempat muncul kembali di Papua. Padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita perlu waspada," jelas Windhi.

 Mitos vaksin haram

Menurut Windhi, isu halal-haram vaksin hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi. Semua masyarakat dunia pun sepakat pentingnya vaksin.

"Peserta haji saja wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita (Indonesia) saja. (Soal isu halal-haram) ini pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik. Supaya dapat komponen vaksin," kata Windhi.

BERITA TERKAIT

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

Mengatur Pola Makan Pasca Lebaran, Simak Tipsnya

  Makan makanan ini di Hari Lebaran sebenarnya enak, tapi ingat jangan berlebihan, ya! Pasalnya, mengonsumsi santan dan makanan berlemak…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

Mengatur Pola Makan Pasca Lebaran, Simak Tipsnya

  Makan makanan ini di Hari Lebaran sebenarnya enak, tapi ingat jangan berlebihan, ya! Pasalnya, mengonsumsi santan dan makanan berlemak…