BLT Pekerja Merata Semua Pegawai?

Rencana pemerintah memberikan bantuan langsung tunai (BLT) pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta, dan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 600.000 per bulan selama 4 bulan ke depan, pada intinya bertujuan meningkatkan daya beli pekerja meningkat dan mendukung konsumsi masyarakat.

Kita tentunya menyambut baik dan patut didukung rencana pemerintah tersebut. Artinya, melalui subsidi ini sebenarnya pemerintah ingin melengkapi bantuan bagi seluruh pekerja. Sebelumnya di awal Covid-19, pemerintah telah membebaskan pembayaran PPh 21 bagi pekerja yang upahnya di atas PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak), kemudian meluncurkan Program Kartu Prakerja bagi pekerja yang ter-PHK dan pekerja informal. Saat ini akan diberikan subsidi lagi bagi pekerja yang masih aktif bekerja sebesar Rp 600.000 per bulan selama 4 bulan.

Namun, program ini berpotensi menimbulkan kecemburuan di mata pekerja. Pertama, kuota peserta di Kartu Prakerja sebanyak 5,6 juta orang sementara di program subsidi gaji sebanyak 13 juta pekerja, padahal jumlah pekerja informal dan yang ter-PHK jauh lebih banyak dari pekerja aktif.

Kedua, pekerja informal dan yang ter-PHK relatif sulit mengakses Kartu Prakerja, yaitu mendaftar secara online dan harus ikut pelatihan dulu, sementara pekerja aktif akan mudah mendapatkan subsidi, hanya karena terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Ketiga, kecemburuan juga akan muncul dari sekitar 10 juta pekerja konstruksi yang memang terdaftar sebagai peserta di BPJS Ketenagakerjaan tetapi tidak menjadi target subsidi gaji. Padahal mereka adalah pekerja yang terdampak daya belinya. Nah, untuk mengatasi kecemburuhan ini pemerintah seharusnya bisa menambah kuota peserta Kartu Prakerja dan mempermudah akses pendaftarannya. Demikian juga pekerja konstruksi seharusnya dilibatkan dalam subsidi gaji.

Menurut Timboel Siregar dari BPJS Watch, program subsidi gaji ini harus memiliki mekanisme rekrutmen yang memang tepat sasaran. Belajar dari Kartu Prakerja yang bermasalah dengan proses rekrutmen karena tidak memiliki data, seharusnya pelaksanaan program subsidi gaji ini didasarkan pada data yang tepat.

Bila sumber data hanya berasal dari BPJS Ketenagakerjaan maka subsidi ini berpotensi ada yang tidak tepat sasaran. Faktanya, belum semua perusahaan mendaftarkan pekerjanya di BPJS Ketenagakerjaan, khususnya pekerja UMKM, outsourcing dan kontrak kerja. Selain itu, masih ada pemberi kerja yang mendaftarkan gaji pekerjanya sebatas upah minimum agar iurannya menjadi lebih kecil, padahal gaji sesungguhnya di atas Rp 5 juta.

Seharusnya data yang digunakan bersumber dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), sementara data BPJS Ketenagakerjaan sebagai pembanding saja. UU 7/1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, mewajibkan seluruh perusahaan melaporkan data ketenagakerjaannya, termasuk jumlah pekerja dan upahnya. Dengan kewajiban ini seharusnya Kemnaker dan dinas tenaga kerja (Disnaker) memiliki data-data tersebut.

Dengan data yang dimiliki Kemnaker ini, tentunya jumlah pekerja yang memiliki upah di bawah Rp 5 juta per bulan lebih besar dari 13 juta orang. Dengan data ini pun, pemerintah dengan mudah memprioritaskan pekerja yang akan mendapat subsidi gaji ini, mengingat keterbatasan anggaran. Pekerja UMKM yang upahnya dipastikan di bawah upah minimum dan pekerja yang mengalami pemotongan upah seharusnya menjadi sasaran utama program ini.

Dengan tepat sasaran, maka subsidi gaji ini akan dibelanjakan karena memang kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, bagi pekerja yang masih mendapatkan upah full dari perusahaan maka subsidi ini akan “diparkir” di tabungan sehingga tidak terbelanjakan. Kondisi ini yang akan menghambat pencapaian tingkat konsumsi masyarakat guna mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi positif.

Untuk memastikan lebih tepat sasaran, Kemenaker dan Disnaker seharusnya proaktif memberikan akses kepada pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya, serta Serikat Pekerja dapat mendaftarkan anggotanya dengan tetap berkoordinasi dengan pemberi kerja. Semoga!

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…