Mengaborsi Koperasi

Oleh: Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

Profesor David Henly, pakar hukum adat dari Universitas Leiden yang meneliti koperasi dalam hukum adat pada tahun 2007 mengambil kesimpulan yang cukup menggelitik, koperasi di Indonesia setelah satu abad dikembangkan sebagai organisasi di Indonesia, ternyata menghadapi suatu kodisi yang kontra-faktual. Koperasi sebagai organisasi selalu diglorifikasi oleh pemerintah dan masyarakat sebagai soko guru ekonomi, namun dalam kenyataannya hanya menjadi pemain pinggiran. 

Koperasi  yang merupakan ide satu-satunya yang hampir seluruh kelompok masyarakat dan ideologi yang ada di Indonesia mendukung dengan beragam alasan ini bukan dievaluasi capaiannya dari tahun ke tahun, namun alamatnya selalu dipertanyakan relevansinya. 

Kontribusi koperasi hingga saat ini masih terasa sangat jauh dari harapan. Secara ekonomi, hingga tahun 2017 baru 4,99 persen (Kemenkop dan UKM : 2018) dari total Produk Domestik Bruto (PDB) kita.  Organisasinya juga masih dipandang sebelah mata karena alih-alih menjadi gerakan perubahan sosial dan dianggap sebagai lembaga bisnis yang kapabel, koperasi masih dianggap sebagai organisasi kecil yang hanya urus usaha simpan pinjam dalam skala mikro.

Tanpa bermaksud mengkerdilkan peranan koperasi, koperasi di Indonesia menghadapi masalah paradigmatik yang mendasar sehingga terlempar jauh dari lintas bisnis modern, dan sebagai organisasi pergerakan dikesankan hanya sebagai penerima belas kasihan. Anak muda tidak banyak yang tertarik untuk mengembangkannya sebagai modus operandi bisnis yang berkeadilan dan lebih memilih model badan usaha privat perseroan sebagai pilihan. 

Hal tersebut di atas sebetulnya wajar terjadi, sebab koperasi atau bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi yang merupakan sistem ekonomi kita memang tidak memiliki seperangkat prasyarat untuk tumbuh dan berkembang sebagai ekosistem bisnis dan organisasi. 

Sebagai bahan pembelajaran dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, koperasi memang tidak diajarkan atau dijadikan sebagai bagian penting dari kurikulum pendidikan nasional. Koperasi diimajinasikan tapi tidak pernah ada upaya untuk dilahirkan. Pada akhirnya, kita menjadi defisit pakar, penggerak  dan tenaga profesional yang handal dan mampu menangani masalah koperasi.  

Tak hanya itu, produk regulasi sebagai alat rekayasa sosial yang penting dalam membentuk paradigma di masyarakat juga tidak mengarah untuk membentuk paradigma koperasi yang baik. Hampir seluruh produk perundangan menyangkut soal ekonomi dan kemasyarakatan pada umumnya juga kalau tidak mensubordinasi koperasi hanya sebagai tempat untuk menjadi alat penerima bantuan, juga mendiskriditkan dan bahkan mengeliminasi koperasi.

Contoh produk regulasi yang mensubordinasikan posisi koperasi menjadi kerdil ini misalnya terdapat pada Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hanya tempatkan koperasi sebagai penerima dana pembinaan dari bagian kecil keuntungan. Koperasi sebagai badan hukum privat yang diakui negara tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk menjadi alternatif bagi pembadanhukuman BUMN. Sehingga dari 119 jumlah BUMN yang ada dan 800-an anak perusahaannya semua hanya diberikan satu opsi untuk menjadi perseroan. Padahal, banyak bisnis yang berurusan dengan semacam layanan publik di negara lain dikembangkan dalam basis koperasi. Misalnya, pengelolaan listrik di Amerika Serikat seperti National Rural Electricity Co-operative Association (NRECA) yang beroperasi di hampir seluruh desa di negara bagian. Sebagai perusahaan koperasi yang dimiliki pelanggannya dan bersifat non-profit alias tidak mengejar keuntungan. 

Contoh lain di Amerika adalah Group Health Co-operative (GHC) yang menjadi jaringan rumah sakit, poliklinik hingga apotik terbesar di kota Washington.  Masih banyak contoh lain yang serupa seperti di Columbia, Belgia, dan sebagainya.  Hal yang tidak mungkin terjadi karena di UU Rumah Sakit kita hanya memperkenankan perseroan sebagai pilihan badan hukum penyelenggaraan rumah sakit privat. 

Bentuk pendiskriditan dan pengeliminasian koperasi misalnya di UU perbankan. UU ini jelas-jelas menyingkirkan koperasi sebagai bentuk pilihan badan hukum bank. Padahal kalau ingin membangun sistem keuangan yang mandiri, koperasi justru dapat menjadi tulang punggung perbankan nasional, seperti di Jerman yang menguasai pangsa pasar hingga 72 persen dari pasar perbankan nasional mereka. Menjadi Bank of the Year seperti Desjardin Credit Union, di Canada, atau Bank Populaire dan Credit Agricole yang mendunia di Perancis.

Koperasi tidak pernah kita pikirkan sebagai bagian penting dari strategi untuk mengendalikan kepemilikan asing di sektor perbankkan. Hal ini terjadi karena seluruh investasi asing menurut UU Penanaman Modal kita sudah justru mengunci kesempatan karena hanya diperbolehkan dalam bentuk Perseroan. 

Sebagai salah satu bentuk pengeliminasian bahkan, setingkat Peraturan Menteri (Permen) yang seharusnya menjadi penterjemahan ke dataran teknis pengembangan koperasi yang cocok dengan sifat masyarakat desa yang penuh gotong royong, sudah diasingkan dari desa-desa dengan hanya berikan kesempatan pilihan badan hukum terhadap Badan Usaha Desa (BUMDes) yang berbadan hukum perseroan saja.

Dalam regulasi perpajakan koperasi, kita merupakan yang terburuk di dunia. Negara tetangga  saja hampir semua memberikan insentif kepada koperasi. Singapura memberikan fasilitas pembebasan pajak (tax free) terhadap koperasi dan hanya diwajibkan oleh UU mereka untuk menyetor 5 persen dari keuntungan kepada badan khusus Co-operative Development Fund (CDF) yang hanya boleh dialokasikan untuk membangun kekuatan koperasi seperti untuk biaya riset, pendidikan pelatihan dan promosi. Sehingga koperasi di negara ini bukan hanya telah menjadi bisnis raksasa yang dimiliki seperempat warga tapi juga mampu mengeliminasi mafia kartel pangan yang selalu mempermainkan harga. Demikian juga di Philipina, negara ini bukan hanya berikan fasilitas pembebasan pajak bagi koperasi, bahkan untuk koperasi yang mengimport barang modal untuk mendukung usaha-usaha anggotanya diberikan fasilitas bebas bea-masuk dengan menunjukkan nota faktur pembelian mereka kepada pihak pabean dengan stempel dari Kementerian Perindustrian.

Kita telah meninggalkan terlalu lama sistem kerja koperasi untuk menangani masalah serius bangsa ini. Kita harus upayakan perubahan paradigma dan sekaligus lakukan reformasi regulasi yang menyangkut koperasi, termasuk UU Perkoperasian yang sedang dibahas di tingkat Panitia Kerja Parlemen saat ini. Jangan lagi kita dustai Konstitusi, kecuali kita hanya ingin terus memperpanjang sejarah kegagalan kita dalam membangun sistem demokrasi ekonomi. (www.watyutink.com)

 

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…