FINTECH MIRIP RENTENIR ERA DIGITAL - OJK: Kredit Macet Fintech Meningkat

Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, penempatan dana pada perusahaan teknologi keuangan (Fintech) dalam bentuk pinjaman peer to peer (P2P) memiliki risiko yang tinggi. Pasalnya, terjadi peningkatan yang signifikan rasio pembiayaan macet dari semula 0,99% (Desember 2017) menjadi 1,28% pada Januari 2018.

NERACA

Padahal, menurut data OJK, penyaluran pinjaman Fintech pada periode yang sama kian besar juga meningkat signifikan menjadi Rp 3 trilun, dari sebelumnya di kisaran Rp2,5 triliun. Dengan demikian, pinjaman macet Fintech secara nominal naik 54% dari sekitar Rp2,5 miliar menjadi sekitar Rp3,8 miliar.

Angka pinjaman macet tersebut berasal dari 36 Fintech yang terdaftar di OJK. Dari 120 Fintech peer to peer (P2P) lending, masih terdapat 42 perusahaan yang tengah mengajukan pendaftaran.  

Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, perusahaan Fintech berawal dari kegiatan pinjam meminjam dana dalam komunitas yang memiliki kedekatan. Pemberian pinjaman pun diberikan berlandaskan kepercayaan karena kedekatan satu sama lain. "Fintech ini muncul dari komunitas. Jadi kasih pinjaman juga kalau hilang (tidak dibayar) ya lillahi ta-ala (berserah pada Allah). Kalau macet pun susah dilacak," ujarnya di Bandung, akhir pekan lalu.

Meski saat ini Fintech sudah berkembang, Wimboh mengingatkan kepada masyarakat akan tingginya risiko menempatkan dana pada Fintech. Masalahnya, OJK tidak mengawasi pengelolaan risiko penyaluran pinjaman pada Fintech. "OJK tak bertanggung jawab kalau perusahaan Fintech default (bangkrut). Pemilik dana menanggung risiko sendiri," ujarnya.

Saat ini, menurut Wimboh, manajemen risiko penyaluran pinjaman pada Fintech ditentukan oleh masing-masing perusahaan. Berbeda dengan lembaga jasa keuangan (LJK) yang manajemen risiko penyaluran pembiayaannya diatur OJK.

Dia menegaskan, Fintech bukan termasuk lembaga jasa keuangan (LJK) yang kinerja keuangannya diawasi pihaknya. Namun, mereka diminta menyampaikan laporan keuangan guna memastikan aspek perlindungan konsumen.

OJK nantinya juga akan meminta Fintech lebih transparan kepada pemilik dana atau investor. "Nanti pemilik dana harus tahu ke mana dananya disalurkan dan berapa lama sampai ke peminjam dana. Profil peminjam dananya juga harus jelas," tutur dia.

Menurut data OJK hingga Januari 2018, total debitur atau peminjam dana dari 36 Fintech yang terdaftar dengan jumlah debitur mencapai 330.154 orang. Sementara total pemilik dana mencapai 115.897 orang. Adapun rata-rata suku bunga pinjaman yang diberikan Fintech mencapai sekitar 21% dengan rata-rata nilai pinjaman yang disalurkan mencapai Rp88,46 juta.

Wimboh mengatakan, lembaganya saat ini tidak mengawasi kinerja Fintech dalam mengelola keuangan. OJK hanya mengawasi dari sisi perlindungan konsumen. Masyarakat yang menurutnya perlu waspada risikonya, terutama platform pinjaman. "Yang kami ingin dorong adalah bagaimana Fintech ini transparan," ujarnya.

Seperti diketahui saat ini, sejumlah Fintech sengaja mencantumkan logo OJK saat beriklan guna memberikan konsumen rasa aman untuk menempakan dana di Fintech. Pencantuman logo tersebut, menurut dia, sering kali menimbulkan kesan adanya jaminan keamanan dari OJK. "Nanti tidak boleh lagi mereka [Fintech] mencantumkan logo OJK. Kalau bangkrut, memang OJK yang akan tanggung jawab? Itu yang akan tanggung jawab pemegang saham dan pemilik dana," tegas dia.

Berinvestasi atau menempatkan dana di Fintech, menurut Wimboh, ibarat menaruh dana di saham. Risiko kehilangan dana sepenuhnya ditanggung oleh pemilik dana.

Rentenir Era Digital

Wimboh mengakui, bunga yang diberikan Fintech kepada investor cukup tinggi. Demikian pula dengan bunga yang dikenakan pada debitur. Wimboh bahkan mengibaratkan perusahaan Fintech layaknya rentenir di era digital.

Kendati demikian, menurut dia, OJK tak bisa mengatur tingkat bunga tersebut. OJK juga tak mewajibkan Fintech memenuhi rasio-rasio keuangan tertentu layaknya lembaga jasa keuangan yang diawasinya. OJK hanya bisa meminta Fintech melaporkan kinerja keuangannya.

Meski terkesan 'lepas tangan' pada kondisi keuangan Fintech, OJK mengaku akan menerbitkan prinsip dasar panduan bagi Fintech guna menjaga perlindungan konsumen. Prinsip tersebut, menurut dia, akan mengatur keterbukaan pada masyarakat yang wajib dipenuhi Fintech. "Pemilik dana harus tahu berapa lama dananya disalurkan kepada peminjam, risikonya, dan siapa yang dipinjamkan," tambah dia.

Selain itu, OJK juga meminta perusahaan Fintech menyiapkan modal atau dana khusus di luar operasional. Hal tersebut juga dilakukan semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Pertumbuhan start-up Fintech yang bergerak dalam bidang P2P lending di Indonesia disebut masih memiliki lahan yang luas untuk bergerak. Data Otoritas Jasa Keungan (OJK) mengungkap bahwa kebutuhan kredit nasional mencapai Rp1.700 triliun per tahun. Namun, hanya Rp700 triliun investasi terpenuhi.

Meski saat ini sekitar 30 perusahaan rintisan P2P lending terdaftar di Indonesia, masalah permodalan tersebut tetap menjadi kendala. Menurut eksekutif Djaring, salah satu web developer untuk UMKM Indonesia, mengatakan mereka berencana untuk membuat platform P2P lending yang ditargetkan rampung tahun ini. "Nantinya, kami akan menggunakan rekaman data transaksi, data penjualan yang ada di server dari UMKM kami. Jadi, investor bisa melihat performa mereka sebagai proyeksi investasi," ujar Laksamana Mustika, CEO sekaligus pendiri Djaring seperti dikutip Liputan6.com.

Perusahaan ini juga menyediakan platform untuk mempertemukan penyedia jasa tenaga kerja yang berhubungan dengan ecommerce dengan pemilik UMKM. Laks melihat sistem yang dia bangun akan menyerupai Gojek yang memiliki banyak mitra penyedia jasa pengantaran orang maupun barang. "Kami sudah menyiapkan platform di luar penjualan yang bisa menyediakan misalnya jasa admin. Biasanya anak-anak kuliah yang ingin bekerja bisa sambil menjadi admin," ujarnya.

Sistem akan berjalan dengan dimulai dari tenaga kerja yang mendaftar melalui platform. Bagi bisnis yang membutuhkan tenaga bisa menemukan penyedia jasa yang dibutuhkan. Pembayaran dilakukan melalui Djaring agar lebih murah, sebab menggunakan sistem sharing.

"Nanti kalau ada orang yang membutuhkan pekerjaan bisa menggunakan platform yang sedang kita kembangkan ini untuk memberikan jasa mereka. Nanti kami bayarkan melalui platform itu juga. Jadi seperti mitra untuk desain, foto, video dll. Daripada membayar harga yang sangat tinggi sesuai UMR," ujarnya. Menurut dia, platformnya masih dalam tahap pengembangan. Sistem P2P lending itu masih akan dimatangkan terlebih dahulu.

Pada bagian lain, Wimboh mengungkapkan hingga saat ini baru 36 platform Fintech (teknologi keuangan) yang terdaftar di instansinya. Sementara sebanyak 42 Fintech sedang dalam proses mendaftar. "Soal Fintech itu tidak bisa dibendung dan larang tapi penting bagaimana masyarakat bisa terlindungi. OJK punya tugas edukasi dan perlindungan konsumen," ujarnya.

Menurut dia, hal yang mendorong maraknya keberadaan Fintech karena platform ini mampu menyediakan berbagai produk atau jasa, di mana masyarakat dapat mengakses secara cepat. Tetapi Wimboh mengingatkan, masyarakat meningkatkan kehati-hatian dalam menggunakan layanan platform pinjaman langsung tunai (P2P lending) Fintech, ini untuk menghindari kerugian di masyarakat.

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2 Muhammad Ihsanuddin mengatakan, jika nilai peer to peer mencapai sekitar Rp 3 triliun hingga Januari 2018 dengan jumlah pemberi pinjaman mencapai 115 ribu dan peminjam 330 ribu orang. "Nilai injaman terendah Rp 210 ribu dan rata-rata Rp 88,46 juta nilai pinjaman per platform daripada Fintech. tapi rata-rata nilai pinjaman Rp 12,8 juta," ujarnya.

Menurut dia, keberadaan Fintech ini tak hanya tersebar di Pulau Jawa namun juga di pulau lain. Jumlah terbanyak di Jabodetabek sebanyak 34. Sisanya di Surabaya 1 dan Ternate 1 perusahaan.  "Jumlah peminjam dan pemberi pinjaman lewat fintech tersebar di beberapa daerah baik di Jawa dan Luar Jawa," ujarnya.

Adapun nama 36 Fintech yang resmi terdaftar di OJK antara lain: PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas), PT Digital Tunai Kita (TunaiKita), PT Progo Puncak Group (PinjamWinWin), PT Danakita Data Prima (DanaKita), PT Lunaria Annua Teknologi (Koinworks), PT Relasi Perdana Indonesia (Relasi), PT i Grow Resources Indonesia (Igrow), PT Qreditt Indonesia Satu (Qreditt), PT Cicil Solusi Mitra Teknologi (Cicil), PT Intekno Raya (Dana Merdeka), PT Kas Wagon Indonesia (Cash Wagon), PT Esta Kapital Fintek (Esta), PT Ammana Fintek Syariah (Ammana), PT Gradana Teknoruci Indonesia (Gradana), PT Mapan Global Reksa (Dana Mapan), PT Aktivaku Investama Teknologi (Aktivaku). bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

PENUH TANTANGAN EKONOMI 2025 - Indonesia Makin Bergantung pada China

Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…

UNTUK MELINDUNGI PETERNAK LOKAL: - Pemerintah Wacanakan Aturan Impor Susu

NERACA Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan impor susu dalam negeri yang menjadi syarat pengusaha untuk mengimpor susu.…

DAMPAK NEGATIF KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Berpotensi Terjadi PHK di Kalangan Pekerja dan Buruh

Jakarta-Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PENUH TANTANGAN EKONOMI 2025 - Indonesia Makin Bergantung pada China

Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…

UNTUK MELINDUNGI PETERNAK LOKAL: - Pemerintah Wacanakan Aturan Impor Susu

NERACA Jakarta - Pemerintah tengah menggodok aturan terkait dengan impor susu dalam negeri yang menjadi syarat pengusaha untuk mengimpor susu.…

DAMPAK NEGATIF KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Berpotensi Terjadi PHK di Kalangan Pekerja dan Buruh

Jakarta-Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi…