Hambatan dalam Implementasi Pendidikan Karakter

 

 

Mungkinkah kita berhasil mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah umum binaan pemerintah dewasa ini? Jawaban saya: mungkin bisa, tapi sulit. Mungkin bisa, karena sejatinya pendidikan dan karakter memang satu-nyawa, tidak dapat dipisahkan. Pendidikan membentuk karakter sedangkan karakter memperkuat pendidikan. Inilah yang menjadikan pendidikan dan karakter itu penting untuk terus dievaluasi prosesnya dalam pembelajaran sehari-hari.

Akan tetapi, dalam praktiknya di lapangan, pendidikan karakter kerap kali menghadapi berbagai macam persoalan mulai dari yang bersifat teknis hingga pragmatis. Ini banyak terjadi di lembaga pendidikan formal binaan pemerintah mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Peristiwa pemukulan seorang siswa terhadap gurunya sendiri di Sampang Madura Jawa Timur (1/2) lalu membuka fakta betapapun canggihnya kurikulum pendidikan karakter yang selama ini diajarkan di kelas, moral siswa masih belum tersentuh. Akibatnya kekerasan baik terhadap sesama maupun gurunya sendiri akan tetap terjadi. Bisa saja hal ini juga terjadi di daerah lain.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa sejatinya pendidikan karakter di Indonesia yang dijalankan di sekolah umum belum selesai. Ada banyak hambatan dalam implementasinya yang perlu didiskusikan bersama.

Pertama, dari pihak keluarga. Ruang lingkup pendidikan karakter pertama kali tentu harus ditanam melalui sebuah keluarga. Sebagai sekolah pertama bagi seorang anak, keluarga yang diperankan utamanya oleh kedua orang tua memiliki posisi sentral dalam mengintroduksi seorang anak kepada pendidikan karakter.

Namun dalam praktiknya, hal ini tidak mudah dilakukan. Pendidikan karakter erat hubungannya dengan nilai-nilai agama di tengah masyarakat. Sedangkan tipologi masyarakat Indonesia dalam memahami pendidikan karakter terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelompok bawah, menengah, dan atas.

Kelompok bawah, mereka pada dasarnya tidak paham apa dan bagaimana pendidikan karakter ini. Mereka pun tidak ambil pusing untuk mengetahuinya. Ini terjadi karena kelompok bawah lebih mementingkan roda ekonomi keluarga yang belum mapan sehingga pendidikan karakter bagi anak mereka terlupakan. Dengan tipe keluarga seperti ini proses pengenalan pendidikan karakter dalam internal keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kedua, lingkungan. Jamak kita ketahui bahwa lingkungan berperan besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Betapapun bagusnya sebuah keluarga dalam mengajarkan pendidikan karakter di rumah namun jika lingkungan anak tersebut tidak mendukung, sudah pasti proses ini akan gagal.

Indonesia sendiri adalah negara yang sedang berkembang. Berbagai macam informasi masuk dan dikonsumsi masyarakatnya dari yang muda hingga tua. Tentu ini bagus. Akan tetapi kemampuan menganalisa dan menyaring informasi tersebut masih belum dimiliki pelajar kita.

Dalam hal ini, informasi yang telah dikonsumsi dengan tanpa adanya kemampuan mengkritisi akan menjadi karakter bagi seorang anak yang membentuk kepribadiannya. Pada tahun 2008 lalu seorang bocah sekolah dasar meninggal setelah bermain smack down bersama temannya. Perilaku ini dipengaruhi oleh tontonan serupa di salah satu TV nasional kala itu.

Ketiga, kurikulum dan pendidik. Dalam praktiknya di lapangan, pemerintah telah merevisi berkali-kali kurikulum nasional yang menekankan akan pentingnya nilai-nilai karakter diterapkan dalam pembelajaran. Beberapa di antaranya adalah kejujuran, religius, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, dsb. Langkah seperti ini masih terlihat belum optimal mengingat toleransi khususnya kepada yang berbeda keyakinan mulai menurun di kalangan pelajar sekolah menengah (survey the Wahid Institute, 2016).

Keseriusan pelaksana pendidikan dalam hal ini guru masih belum maksimal. Pembelajaran di kelas, seperti jamak kita rasakan, masih menitik beratkan murid kepada kemampuan kognitif saja. Orientasi pembelajaran masih banyak dipengaruhi oleh nilai rapor bukan internalisasi karakter itu sendiri. Lebih parah lagi, dikotomi mata pelajaran eksakta dan sosial-bahasa menambah keruh rekam jejak pendidikan selama ini. Setiap sekolah lebih mementingkan rasa gengsi mereka untuk meluluskan anak didiknya dalam memasuki PTN favorit. Tentu ini hal yang baik namun tendensius melupakan tujuan utama pendidikan, yaitu character building.

Pemerintah masih perlu bekerja keras membangun iklim pendidikan yang ideal bagi penanaman karakter yang telah lama dicanangkan dalam kurikulum sekolah selama ini. Seperti yang saya awali dalam pembuka tulisan di atas bahwa implementasi pendidikan karakter di Indonesia mungkin bisa, tapi sulit. Hal-hal yang masih belum selesai perlu terus didiskusikan bersama agar tujuan pendidikan karakter bisa tercapai dan kasus-kasus negatif dalam dunia pendidikan tidak lagi ada. (CNN)

BERITA TERKAIT

Orangtua Perlu Kritis Menyaring Informasi Mengenai Kesehatan Anak

Dengan masifnya perkembangan media sosial, arus berita sudah tidak bisa dibendung lagi. Sayangnya, tak semua kabar yang tersebar sesuai dengan…

Pencegahan Bullying Lebih Mudah Jika Murid dan Guru Terbuka

  Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trina Fizzanty mengatakan bahwa hubungan antara guru dan siswa…

Calistung di PAUD Harus Hadir dengan Konsep Bermain

  Psikolog yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra mengatakan kegiatan baca, tulis, dan hitung (calistung) di kalangan…

BERITA LAINNYA DI

Orangtua Perlu Kritis Menyaring Informasi Mengenai Kesehatan Anak

Dengan masifnya perkembangan media sosial, arus berita sudah tidak bisa dibendung lagi. Sayangnya, tak semua kabar yang tersebar sesuai dengan…

Pencegahan Bullying Lebih Mudah Jika Murid dan Guru Terbuka

  Kepala Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Trina Fizzanty mengatakan bahwa hubungan antara guru dan siswa…

Calistung di PAUD Harus Hadir dengan Konsep Bermain

  Psikolog yang juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra mengatakan kegiatan baca, tulis, dan hitung (calistung) di kalangan…