NERACA
Jakarta - Peneliti dari lembaga riset the Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov menilai pelaksanaan reforma agraria pasca-Reformasi belum ada kemajuan dibandingkan dengan implementasi kebijakan tersebut pada era Orde Baru. "Setelah reformasi, terlihat seperti tidak ada 'progress' dari era setelah Soeharto sampai sekarang. Reforma agraria seperti berjalan di tempat," kata Abra dalam jumpa pers dengan tema "Ketimpangan Lahan dan Reforma Agraria" di Kantor Indef Jakarta, Kamis (4/5).
Ia mengatakan reforma agraria era Reformasi dalam perjalanannya mengalami polemik sejak era Habibie sampai Megawati, terutama mengenai status Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). "Ketika itu (era Megawati) ada desakan UUPA ini sebenarnya di bawah UUD 1945, apakah ini posisinya harus dianggap sebagai dasar penyusunan reforma agraria atau UUPA ini sudah tidak relevan sehingga perlu direvisi," ucap Abra.
Kemudian, Abra mengatakan agenda reforma agraria pada era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) hampir mirip dengan kebijakan mengenai lahan yang diupayakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu kesamaannya yaitu jumlah redistribusi tanah yang mencapai sembilan hektare. Oleh karena itu, Abra berpendapat dinamika proses implementasi reforma agraria era SBY perlu menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Ia menilai salah satu penyebab kegagalan reforma agraria era SBY adalah adanya egosektoral dalam implementasi kebijakannya.
"Ketika itu Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional saling berebut ini proyek punya siapa. Pada akhirnya proyek tersebut hanya menjadi proyek-proyek kecil di beberapa daerah dan itu tidak masif," ucap dia. Abra mengatakan pula bahwa di era SBY telah lahir Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Ia menilai UU 41/2009 tersebut justru membuka pintu bagi lahirnya penguasaan lahan oleh korporasi besar, contohnya proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate. Abra mengatakan proyek tersebut merupakan salah satu contoh implementasi reforma agraria yang salah sasaran karena tidak ditujukan bagi petani yang belum memiliki lahan.
Sebagaimana diketahui, kebijakan reforma agraria oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan wujud komitmen pemerintah menata ulang sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Kebijakan tersebut menerapkan proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan atau akses, dan penggunaan lahan.
Reforma agraria merupakan salah satu konfigurasi program ekonomi berkeadilan di sektor lahan melalui proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan penguasaan dan penggunaan lahan. Dalam kebijakan tersebut, pemerintah akan fokus pada tanah objek reforma agraria (TORA) yang diproyeksikan seluas sembilan juta hektare dan perhutanan sosial menyangkut legalitas akses seluas 12,7 juta hektare. Selain bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan tanah, reforma agraria juga diharapkan mampu mengembangkan usaha pertanian dengan metode aglomerasi atau klaster.
Disamping itu, Indef juga menilai pemberdayaan petani paska-reforma agraria merupakan kunci kesuksesan kebijakan tersebut agar tidak berhenti pada praktik bagi-bagi lahan. "Jadi percuma lahan sudah diberi tetapi tanpa pemberdayaan dan pendampingan para petani," kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara. Ia mengatakan tanpa pemberdayaan dan pendampingan maka tidak ada jaminan petani yang sudah memiliki lahan bisa sejahtera. Bahkan, petani bisa saja menjadi lebih terpuruk dibandingkan sebelum mendapatkan lahan hasil reforma agraria.
Bhima menjelaskan praktik reforma agraria di Malaysia yang diwujudkan dalam kelembagaan the Federal Land Development Authority (Felda) dapat menjadi model keberhasilan bagi penerapan reforma agraria di Indonesia, terutama yang menyangkut pemberdayaan petani. Felda di Malaysia memiliki sistem kelembagaan petani Jawatan Kuasa Kemajuan Rancangan (JKKN) yang menunjukkan bahwa pembentukkan kelompok petani merupakan syarat keberhasilan reforma agraria.
NERACA Jakarta – Plastics & Rubber Indonesia 2024 resmi dibuka hari ini hingga 23 November mendatang, di Jakarta International…
NERACA Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati…
NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang…
NERACA Jakarta – Plastics & Rubber Indonesia 2024 resmi dibuka hari ini hingga 23 November mendatang, di Jakarta International…
NERACA Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengingatkan agar pemerintah berhati-hati…
NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy menyatakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang…