Oleh: Budi Setiawanto
Menjelang penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan umum kepala daerah seperti saat ini, isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kembali menjadi perhatian. SARA merupakan karakteristik yang "given" alias sudah ada dari sananya, di negeri bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Seperti maknanya, berbeda-beda tetapi tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika menjadi salah satu pilar kekuatan bangsa ini, di samping Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, serta Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar konstitusi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejak awal, Indonesia sudah terdiri atas beragam suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan.Setidaknya terdapat 1.340 etnik atau suku bangsa di Indonesia, berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010. Terdapat enam agama resmi di Indonesia, yakni Islam yang dianut mayoritas penduduk, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Beragam ras juga hidup di nusantara ini. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, terdapat beragam ras seperti Papua melanezoid di Papua, Pulau Aru, Pulau Kai. Ras negroid yakni seperti orang Semang di Semenanjung Malaka, orang Mikopsi di Kepulauan Andaman.
Ras weddoid seperti orang Sakai di Siak Riau, orang Kubu di Sumatra Selatan dan Jambi, orang Tomuna di Pulau Muna, orang Enggano di Pulau Enggano, dan orang Mentawai di Kepulauan Mentawai. Ras Melayu mongoloid terdiri atas proto Melayu(Melayu tua) seperti Batak, Toraja, Dayak, dan deutro Melayu (Melayu muda) seperti Bugis, Madura, Jawa, Bali.
Selain itu juga penduduk keturunan Tionghoa (ras Mongoloid), keturunan Arab, Pakistan, India (ras Kaukasoid), dan sebagainya yang hidup berdampingan membaur menjadi satu warga negara Indonesia.
Masyarakat Indonesia tidak mengenal superioritas suatu ras dan tidak menganut paham rasialisme. Antargolongan di Indonesia juga beragam dari yang religius, konservatif, moderat, liberal, radikal hingga ekstrem, ditambah beragam aliran kepercayaan dan aliran dalam agama, menambah keberagaman di negeri ini.
Walaupun sempat diguncang berbagai kerusuhan berlatar belakang SARA, Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap kokoh berdiri.
Sementara banyak negeri lain yang telah porak poranda. Di Asia, seperti di India yang pada Agustus 1947 menjadi India dan Pakistan, sedangkan Pakistan pecah menjadi Pakistan (dahulu Pakistan Barat) dan Bangladesh (dulu Pakistan Timur).
Di Eropa, Uni Soviet yang bubar pada Desember 1991 pecah menjadi 15 negara baru. Begitu juga Yugoslavia tinggal kenangan karena pecah lantaran SARA hingga menjadi tujuh negara baru. Cekoslovakia yang tinggal sejarah karena telah beranak menjadi dua negara, Ceko dan Slovakia.
Di benua Afrika, Sudan terpecah menjadi dua negara Sudan dan Sudan Selatan yang terbentuk sejak Juli 2011.
Indonesia bukanlah seperti negara-negara terpecah belah itu dan jangan sampai terpecah belah seperti negara-negara itu hanya lantaran SARA. Indonesia tetaplah satu. Seperti dalam Sumpah Pemuda, putra-putri Indonesia bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia.
Berpolitik Santun
Oleh karena itu, kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara besar dan kaya dengan keberagaman, termasuk keanekaragaman hayati, harus menjadi pedoman bersama yang dipegang erat-erat dan dirawat sebaik-baiknya.
Elit-elit politik jangan bermain-main dengan isu SARA yang justru mengusik fitrah dan khittah Indonesia sebagai negeri majemuk, apalagi hanya untuk kepentingan politik tertentu. Terlalu mahal keberagaman dan kekayaan yang tak ternilai harganya, bila terusik oleh perilaku elit yang mencoba bermain-main dengan isu SARA.
Upaya mempertahankan kekuasaan oleh elit politik yang sedang berkuasa atau memimpin tak seharusnya bermain-main dengan sentimen SARA dengan beragam cara, bahkan menistakan agama atau kitab suci yang diyakini oleh pemeluk agamanya.
Boleh saja, misalnya, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan mengingatkan media massa untuk tidak menampilkan isu SARA dalam pemberitaan pilkada serentak 2017. Saat ini menurut Megawati, menjelang Pilkada DKI Jakarta, mulai ada gejala menampilkan isu SARA secara terus-menerus padahal dasar negara kita empat pilar, terutama Pancasila.
Pancasila mengajarkan toleransi agama, ras, dan sebagainya. Kalau media ikut-ikutan melakukan seperti demikian maka sebuah kemunduran bagi demokrasi Indonesia yang sekarang berjalan dengan baik, ujar Megawati.
Putri Presiden I RI Soekarno itu pasti tidak lupa bahwa media massa hanya menangkap fakta atau peristiwa dan opini yang berasal dari narasumber termasuk para elit politik. Semestinya Megawati juga mengingatkan elit politik untuk tidak bermain-main dengan isu SARA.
Sikap, pernyataan, dan perilaku elit politik yang menunjukkan kesejukan dan kondisi yang kondusif bagi iklim berpolitik yang sehat tentu disambut baik oleh media massa. Kedewasaan perlu ditunjukkan dengan tidak mengembus-embuskan isu sensitif tersebut di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Hal menarik disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang mengajak untuk tidak terlalu larut dalam politisasi SARA yang biasa digembar-gemborkan saat pesta demokrasi berlangsung, termasuk ketika penyelenggaraan pilkada.
Moralitas pilkada di mana pun harus demokratis, berkeadaban, mementingkan kepentingan bangsa bukan untuk golongan pribadi dan atau partai, kata Haedar.
Menurut dia, isu SARA kerap mengemuka saat ajang kontestasi politik berlangsung. Terkait hal ini, seluruh komponen bangsa diharapkan bisa memilah isu SARA dalam dimensi politik atau nonpolitik. Isu SARA bisa terjadi di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja tetapi harus dibedakan antara dimensi politik dan dimensi nonpolitik, katanya.
Dia mengatakan politisasi SARA tidak dibenarkan. Kendari begitu, adanya kenyataan persoalan SARA dalam dimensi kultural terjadi di tengah masyarakat.
Terkadang, ditemui kasus-kasus adanya dominasi mayoritas atau tirani minoritas. Dengan kata lain, terdapat problem SARA bahwa ada pihak yang mayoritas menekan minoritas atau golongan minoritas yang menguasai mayoritas. Tidak boleh kelompok kecil menguasai kelompok besar, sebaliknya juga seperti itu. Persoalan itu sangat tidak sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dimensi kultural terkait SARA harus memperkuat integrasi nasional. Lebih dari itu, arena politik harus memberi keadilan atau tidak terjadi persoalan dominasi kultural atau tirani. Politik seharusnya tidak hanya melulu soal demokrasi, tetapi juga harus mengedepankan keadilan.
Seruan bijak juga datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta agar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak pada 2017 tidak dinodai dengan kemunculan isu-isu bernuansa SARA yang saling menjatuhkan.
Seruan itu dikeluarkan berdasarkan hasil koordinasi Kemendagri bersama Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri yang telah menyepakati adanya deteksi dini terhadap kemungkinan munculnya provokasi SARA serta konflik selama masa Pilkada serentak mendatang.
Kepolisian serta BIN telah memetakan secara mendetail seluruh wilayah penyelenggara Pilkada yang memiliki potensi konflik. Meski demikian, potensi itu tidak akan terjadi apabila penanganan oleh seluruh pemangku kepentingan dapat terlaksana dengan baik.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Mendagri mengimbau kepada seluruh pasangan calon agar tidak memprovokasi pendukungnya. Kalau nanti kalah ya kalahlah secara terhormat, kalau menang ya menang secara terhormat pula.
Merujuk pada penyelenggaraan Pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di 101 daerah, yakni di tujuh provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, 76 kabupaten untuk memilih bupati dan wakil bupati, serta 18 kota untuk memilih wali kota dan wakil wali kota, dengan sebaran dari Aceh hingga Papua, kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia kembali dipertaruhkan dalam menempatkan SARA secara bijaksana, bukan justru memecah-belah bangsa.
Pengalaman berbagai pemilihan umum terdahulu memang membuktikan bangsa Indonesia tetap utuh. Kekayaan dan keberagaman SARA di Indonesia merupakan kekuatan yang menyatukan. Semua tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu harga mati. (Ant.)
Oleh: Meliana Kede, Analis Ekonomi Makro Langkah pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menghapus utang macet yang membelit pelaku Usaha Mikro, Kecil…
Oleh: Akmal Luthfi Adha Siregar, Staf di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. Aceh *) Provinsi Aceh merupakan salah satu…
Oleh: Alfandi Nagara, Pengamat Sosial Politik Pilkada Serentak 2024 akan menjadi momen yang sangat penting dalam perjalanan demokrasi…
Oleh: Meliana Kede, Analis Ekonomi Makro Langkah pemerintahan Prabowo-Gibran dalam menghapus utang macet yang membelit pelaku Usaha Mikro, Kecil…
Oleh: Akmal Luthfi Adha Siregar, Staf di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prov. Aceh *) Provinsi Aceh merupakan salah satu…
Oleh: Alfandi Nagara, Pengamat Sosial Politik Pilkada Serentak 2024 akan menjadi momen yang sangat penting dalam perjalanan demokrasi…