Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Kebijakan Pemerintah untuk mengatur harga acuan pada 7 komoditas pangan melalui mekanisme batas harga bawah (price flooring) dan batas harga atas (price ceiling) patut dikaji secara hati-hati. Pada mulanya kebijakan ini jadi angin segar ditengah melonjaknya harga kebutuhan pokok seperti daging sapi, bawang merah, dan ayam. Lihat saja harga daging sapi masih menjulang tinggi di atas Rp110.000 walaupun aneka cara sudah dilakukan Pemerintah dari mulai impor daging beku, daging kerbau hingga yang terakhir impor jeroan.
Selain itu kondisi pangan sepanjang tahun 2016 memang cukup pelik. Belum lagi ancaman cuaca ekstreem La Nina yang masih menghantui pasokan pangan di daerah pada akhir tahun nanti. Pemerintah memang perlu turun tangan untuk melindungi konsumen dan produsen pangan dari liarnya harga jual komoditas pangan. Pasalnya kenaikan harga ternyata lebih banyak dinikmati pedagang daripada petani.
Jadi langkah Pemerintah untuk menjaga harga komoditas memang patut di apresiasi. Namun yang jadi permasalahan adalah instrumen pengendalian harga tidak cukup hanya dengan batas bawah dan atas harga saja. Diperlukan kesiapan pasokan dari mulai hulu hingga hilir. Pasokan juga terkait infrastruktur penyimpanan gabah dan komoditas lain yang diatur Pemerintah.
Saat ini kondisi gudang Bulog tentu memprihatinkan. Sebanyak 1.500 unit gudang penyimpanan gabah di daerah kondisinya tidak terurus. Kurang optimalnya fungsi gudang penyerapan stok ini membuat kinerja Bulog biasa-biasa saja. Serapan beras hingga Agustus 2016 pun baru mencapai 2,1 juta ton, dibawah target 3,2 juta ton.
Di era Orde Baru, Bulog dimanjakan dengan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sehingga penyerapan gabah dari petani bisa optimal. Saat ini harapan mendapat suntikan dana untuk menyerap pasokan pangan terbilang utopis ditengah langkah penghematan anggaran yang diprediksi masih akan berlangsung di tahun 2017 mendatang.
Itu baru kasus beras, lalu bagaimana dengan daging sapi? Yang jelas syarat mutlak untuk menjaga harga daging sapi dalam range yang ditentukan Pemerintah lebih rumit dari beras. Lembaga penjamin pasokan yang ditunjuk harus memiliki alat pendingin, jaringan distribusi dan logistik. Besaran investasi untuk mengatur harga acuan tentu bukan main-main.
Disisi lain langkah Pemerintah dalam mematok batas harga atas pasti menimbulkan kegaduhan dari sisi pedagang karena kebijakan itu dirasa tidak berpihak pada pedagang. Tapi Pemerintah toh pada akhirnya harus memilih, menyelamatkan konsumen dan petani atau justru membiarkan pedagang terlalu ambil untung.
Jadi ada dua tantangan di depan mata yang harus diselesaikan kalau Pemerintah mau konsisten menjalankan sistem harga acuan pangan. Pertama, infrastruktur penyimpanan pasokan pangan di daerah-daerah perlu di perbaiki untuk menjamin penyerapan stok oleh Pemerintah. Kedua, penolakan dari sisi pedagang yang kehilangan untung ketika harga atas dipatok perlu dicari solusinya agar tidak menimbulkan kepanikan yang berujung mogoknya pedagang di pasaran. Tanpa dua prasyarat itu rasanya siasat mengendalikan harga pangan bisa mentah.
Oleh: Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri Indonesia saat ini dikepung oleh para koruptor (praktik korupsi). Tapi ada…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Di tahun 2024 tepatnya 18 November, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, merayakan ulang…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Pengelolaan anggaran pendapatan, belanja negara, serta pembiayaan defisit anggaran, berlangsung sejak 1…
Oleh: Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri Indonesia saat ini dikepung oleh para koruptor (praktik korupsi). Tapi ada…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Di tahun 2024 tepatnya 18 November, organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, merayakan ulang…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Pengelolaan anggaran pendapatan, belanja negara, serta pembiayaan defisit anggaran, berlangsung sejak 1…