Negeri Ini Dikekang Salah Kaprah Kebijakan Gas

 

Indonesia mengaku sudah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tapi sejak era orde baru, negara luar banyak mengatur kebijakan Pemerintah. Kasus kontrak jual beli minyak dan gas misalnya. Indonesia tak berkutik diinjak negara asing agar menjual gasnya ke mereka. Jadi, benarkah Indonesia sudah merdeka, kalau isi Undang-undang saja sarat kepentingan asing?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kasus perjanjian Karaha Bodas yang disidang di pengadilan Amerika Serikat hingga menimbulkan kerugian bagi Indonesia sebesar US$ 236 juta menimbulkan trauma cukup dalam bagi pemerintah. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia tak pernah berani lagi membatalkan perjanjian kerjasama, terutama kerjasama business to business (B to B).

Alhasil, saat Indonesia kekurangan pasokan pupuk, pemerintah pun tak berani mengambil sikap seperti Hugo Chavez, Presiden Kolombia yang berani membatalkan semua kontrak kerjasama dengan perusahaan minyak gas asing yang beroperasi di negerinya.

Buntutnya, Indonesia kebingungan mengatasi masalah krisis pasokan pupuk. Ironis, pemerintah malah sempat ingin mengimpor gas dari luar negeri. Padahal, cadangan gas di Indonesia melimpah ruah. Cuma masalahnya ya itu tadi, semua gas itu sudah diijonkan ke negara asing dengan harga murah.

Ketidakberanian pemerintah membatalkan atau setidaknya merevisi kontrak kerjasama jual beli gas lantaran dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, sangat berpihak pada kepentingan konsumen asing dan melemahkan pemerintah selaku pihak yang mendapat mandat rakyat untuk mengelola kekayaan alam. Ini mungkin sewaktu sedang menyusun RUU Migas, para anggota legislatif dan eksekutif tidak punya kemampuan memadai menyusun UU yang pro rakyat.

Dampaknya dari UU tersebut baru terasa sekarang. Salah satunya adalah ketersediaan pasokan gas untuk produksi pupuk. UU Migas sekali tidak mendukung produksi pupuk yang bahan baku utamanya adalah gas. Akibatnya produksi pupuk nasional untuk menjaga ketahanan pangan sangat terancam.

Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa maksimal 25% produksi gas nasional untuk kebutuhan konsumsi, sedangkan 75% sisanya untuk ekspor. Bahkan, batasan maksimal 25% itu lantas hilang karena ada konotasi bisa saja nol persen.

Akibatnya, sejumlah perusahaan migas selaku kontraktor kontrak kerja sama (K3S) yang melakukan eksploitasi migas di Indonesia lebih memprioritaskan ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri, apalagi memasok produsen pupuk.

Tak pelak, Pemerintah pun didesak mengeluarkan beragam kebijakan yang sifatnya dapat mengintervensi terkait pengaturan gas domestik serta memiliki rencana yang konkrit dalam pengembangan lapangan gas di Indonesia.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai, perlu ada intervensi nyata dari pemerintah, khususnya Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dalam penentuan dan pengaturan pengembangan gas domestik.

Selain itu harus ada langkah sinergi dan koordinasi antara KESDM dan berbagai instansi terkait dalam merombak struktur pasar dan harga domestik yang lebih "sehat". Di sisi lain, pemerintah juga wajib bersikap tegas dalam mengarahkan serta mensinergikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Migas agar tidak berjalan sendiri-sendiri.  “BUMN harus rela menjadi bagian dari solusi dan pemerintah harus lebih kreatif untuk merealisasikan itu,” jelas Pri Agung.

Langkah kreatifitas pemerintah dapat dilakukan dengan cara menjembatani atau tidak kaku dalam mengutamakan deviden dan laba sebagai ukuran utama bagi BUMN. Hal tersebut sangat penting karena keberlangsungan berbagai industri yang membutuhkan pasokan gas domestik merupakan suatu aspek yang benar-benar harus dapat dipertimbangkan.

Pemerintah, memang perlu memiliki rencana pengembangan berbagai lapangan gas ("proven reserves") yang ada dengan rencana pengembangan infrastruktur pengembangan gas yang lebih kongkrit. “Tidak hanya sekadar kompilasi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan BUMN yang cenderung masih berjalan sendiri-sendiri,” tegas Pri.

Keterbatasan Infrastruktur

Bagi Pri, penyebab defisit gas dinilai tidak hanya akibat adanya keterbatasan infrastruktur seperti pembangunan perpipaan, tetapi juga dapat diakibatkan oleh beragam faktor lainnya. “Penyebab terjadinya defisit gas tidak selalu keterbatasan infrastruktur seperti pipa transmisi, distribusi, LNG ‘receiving terminal’,” ujanya.

Sementara faktor lain yang juga berdampak kepada defisit gas antara lain adalah menurunnya kemampuan produksi dari lapangan gas yang ada. Selain itu, adalah cadangan terbukti ("proven reserves") yang tersedia sudah dialokasikan untuk ekspor dan cadangan terbukti yang tidak/belum dialokasikan untuk ekspor masih belum terlalu jelas atau memiliki kepastian rencana pengembangannya.

Secara keseluruhan, berbagai faktor tersebut juga terkait dengan struktur pasokan gas domestik yang "tidak sehat". Selain itu, hal itu juga dinilai terkait dengan relatif lemahnya posisi tawar pemerintah di dalam pengelolaan gas nasional, dan tidak integralnya pengembangan energi gas nasional karena pelaku utamanya cenderung untuk berjalan sendiri-sendiri.

Ketergantungan dan posisi tawar konsumen juga relatif sangat lemah terhadap PGN, yang menguasai lebih dari 90% jalur distribusi. “Misalnya pipa transmisi gas yang didominasi Pertamina sebagian besar masih belum "open access",” tuturnya.

Bukan hanya soal jalur distribusi, pasokan gas domestik tidak cukup hanya mengandalkan ketersediaan cadangan gas yang perhitungannya juga dinilai kerap tidak sesuai dengan kenyataan. Saat ini total ketersediaan cadangan gas di Indonesia terdiri atas sekitar 107 TCF untuk cadangan yang "proven" dan sekitar 52 TCF untuk cadangan yang "potential".

Perhitungan itu bisa "missleading" (menyesatkan) ketika di dalam memperhitungkan ketersediaan pasokan yang diperhitungkan meliputi baik pasokan potensial maupun pasokan yang telah diproyeksikan ("project supply"). Akibatnya, ‘Project supply’ masih tinggi tingkat ketidakpastiannya. Ketidakpastian itu antara lain juga karena masih tergantung pada ketersediaan infrastruktur dan hitungan keekonomiannya. Karenanya, tidak selalu penambahan produksi gas nasional berarti sama dengan penambahan pasokan gas untuk domestik. “Tidak selalu POD (rencana pengembangan) suatu lapangan gas disetujui lalu berarti ada jaminan tambahan pasokan gas untuk domestik,” paparnya.

Pasokan Gas

Jika Pemerintah mengurangi pasokan gas kepada industri nasional, maka akan mengurangi volume produksi serta meningkatkan biaya produksi yang berdampak pada menurunnya daya saing industri nasional. Apalagi daya saing industri nasional berpengaruh besar terhadap kelangsungan industri itu sendiri.

Seretnya pasokan gas ke industri pupuk bakal menimbulkan dampak yang sangat besar. Jika volume produksi pupuk turun, maka produksi padi akan ikut melorot, ketahanan pangan pun tak lagi terjaga. Des, kalau harga pangan melonjak, maka rakyat pasti marah dan gejolak sosial pasti muncul.

Jika produksi pupuk nasional berkurang maka harga pupuk menjadi lebih mahal. Di sisi lain, karena pasokan berkurang maka tidak seluruh kebutuhan pupuk di tingkat petani terpenuhi sehingga produksi padi menjadi menurun.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Thomas Darmawan mengatakan, kebutuhan gas bagi industri makanan dan minuman sangat mendesak. "Berkurangnya pasokan gas pada industri nasional, membuat kalangan industri harus menurunkan volume produksi," katanya.

Ia mengimbau, pemerintah hendaknya bisa mencari solusi untuk mengatasi kekurangan pasokan gas yang merupakan sumber energi bagi industri nasional agar industri nasional tetap bertahan dan memiliki daya saing dengan produk impor.

Kekurangan pasokan gas pada industri nasional, juga berdampak mengurangi kepercayaan asing yang telah menanamkan investasinya dengan mendirikan pabrik di Indonesia.

Sebelumnya, Perusahaan Gas Negara Tbk menyatakan mengalami kekurangan pasokan gas sebesar 297 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Penyebabnya antara lain, PT Pertamina tidak memperpanjang kontrak pasokan gas dengan PGN dari lapangan Pertamina Offshore North West Java (ONWJ) dengan volume 65 MMSCFD. Kekurangan pasokan gas terutama di Jawa Barat yang terdapat sekitar 340 industri kelas menengah.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…