Sebagian Besar Dana Remintansi TKI untuk Keperluan Sehari-hari

 

 

NERACA

 

Jakarta – Dana remitansi yang dikirimkan oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Indonesia jumlahnya mencapai triliunan, namun sebagian besar dana tersebut hanya dikeluarkan untuk kebutuhan dasar atau kebutuhan sehari-hari. Padahal dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk modal membuat usaha. Hal itu seperti dilaporkan dalam laporan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Peneliti dari Asia Research Institute Dr. Silvia Mila Arlini menyampaikan, migran perempuan cenderung mengirimkan lebih banyak uang kepada rumah tangga mereka. Berdasarkan jenis pekerjaan, migran perempuan yang bekerja di sektor domestik cenderung mengirimkan uang lebih banyak dibandingkan dengan tiga pekerjaan lainnya yang didominasi oleh laki-laki, misalnya di sektor pertanian, konstruksi, dan produksi.

Sebagian besar remitansi digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari (35 persen) dan juga untuk biaya pendidikan dan keperluan anak-anak (26 persen). Tingginya penggunaan uang kiriman atau remitansi TKI untuk kepentingan sosial bukanlah hal yang mengejutkan karena itulah motivasi utama mereka bermigrasi untuk bekerja. Hanya ada sedikit rumah tangga yang menggunakan uang kiriman untuk investasi fisik seperti lahan pertanian, deposito bank, ternak, alat-alat pertanian maupun bisnis. “Dalam hal ini, dapat ditunjukkan bahwa migrasi bisa berperan sebagai salah satu strategi penting untuk peningkatan kehidupan yang lebih baik, terutama bagi rakyat miskin,” kata Silvia, seperti ditulis dari keterangan yang diterima, Selasa (3/11).

Penelitian yang berangkat dari survei rumah tangga ini merekomendasikan beberapa hal agar bisa menjadi input atau masukan bagi pemerintah. Pertama, mendukung diversifikasi pendapatan. Mila menyampaikan, remitansi telah menjadi komponen penting dan besar bagi sumber pendapatan keluarga migran. Namun, saat migran kembali ke tanah air, remitansi tidak bisa lagi dijadikan andalan bagi sumber pendapatan keluarga. Penelitian menemukan, remintansi tidak diinvestasikan untuk modal agar pendapatan rumah tangga tidak terus bergantung pada uang kiriman.

“Untuk itu, migran dan keluarganya sebaiknya didorong untuk mengurangi ketergantungannya terhadap remitansi. Saat memiliki remitansi yang cukup besar, perlu didorong agar menginvestasikannya pada sektor ekonomi yang produktif,” jelas Silvia.

Kedua, memfasilitasi migrasi yang aman. Migrasi bagi tenaga terampil maupun tidak terampil dapat menjadi salah satu jalan keluar dari masalah kemiskinan di perdesaan. Upaya untuk menghalangi migrasi dikhawatirkan hanya akan membatasi akses ke migrasi legal, sekaligus mengurangi kesempatan masyarakat miskin untuk memperbaiki status sosial ekonominya. Untuk memfasilitasi migrasi yang aman melalui jalur resmi, akses kredit mungkin dapat diupayakan, seperti melalui koperasi simpan pinjam atau pinjaman bank.

“Rekomendasi ketiga adalah menggalakkan pendidikan yang lebih tinggi. Tidak dipungkiri, banyak migran berkeinginan agar anaknya dapat bekerja pada jenis pekerjaan dengan ketrampilan tinggi yang biasanya juga memerlukan standar pendidikan minimal cukup tinggi,” jelas Silvia lagi.

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Joko Pitoyo mengatakan bahwa migrasi internasional yang oleh banyak media massa kerap dimaknai sebagai bentuk eksploitasi pekerja dengan berbagai cerita pilu, ternyata mempunyai makna yang berbeda di Ponorogo. Persepsi masyarakat Ponorogo tentang pekerja migran adalah positif. Tak heran, karena bekerja di luar negeri telah lama ada dan dilakukan antargenerasi. “Masyarakat menyatakan, tidak ada satu pun dusun di Ponorogo yang tidak mempunyai pekerja migran. Menjadi buruh migran di luar negeri telah menjadi gaya hidup masyarakat,” katanya.

Joko menambahkan, migrasi internasional di Ponorogo bukanlah fenomena baru, tetapi perilaku hidup masyarakat yang telah berlangsung sejak 500 tahun yang lalu. Intensifnya migrasi internasional terbentuk melalui proses internalisasi pada individu semenjak dia kecil, terus berkembang hingga dewasa, bahkan masa tua, sebagai suatu siklus hidup (life cycle). Bagi masyarakat Ponorogo, bekerja ke luar negeri adalah pekerjaan yang diimpikan dengan berbagai variasi negara tujuan.

 

 

BERITA TERKAIT

Pemerintah Upayakan Startup Lokal untuk Go Global

  NERACA Jakarta – Indonesia, yang saat ini menduduki peringkat keenam dunia dengan sekitar 2.600 perusahaan rintisan (startup), tengah berupaya…

Bappenas : Tahap 2 IKN Siap untuk Penyelenggaraan Pemerintah

  NERACA Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyampaikan bahwa pembangunan tahap…

Pemerintah Serap Rp22 Triliun dari Lelang Tujuh Seri SUN

  NERACA Jakarta – Pemerintah menyerap dana senilai Rp22 triliun dari lelang tujuh seri Surat Utang Negara (SUN) pada 17 September…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Upayakan Startup Lokal untuk Go Global

  NERACA Jakarta – Indonesia, yang saat ini menduduki peringkat keenam dunia dengan sekitar 2.600 perusahaan rintisan (startup), tengah berupaya…

Bappenas : Tahap 2 IKN Siap untuk Penyelenggaraan Pemerintah

  NERACA Jakarta – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyampaikan bahwa pembangunan tahap…

Pemerintah Serap Rp22 Triliun dari Lelang Tujuh Seri SUN

  NERACA Jakarta – Pemerintah menyerap dana senilai Rp22 triliun dari lelang tujuh seri Surat Utang Negara (SUN) pada 17 September…