Jakarta – Akibat menanggung beban bunga kredit yang cukup tinggi di tengah kondisi perekonomian dalam negeri yang melemah belakangan, tingkat kredit bermasalah (non performing loan-NPL) sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kini mencapai 5,27% pada akhir 2014, melewati batas yang ditetapkan Bank Indonesia yaitu maksimum 5%.
NERACA
Menurut data Bank Indonesia per akhir 2014, tingkat kualitas kredit bermasalah usaha mikro kecil menengah (UMKM) mencapai 5,27%. Angka rasio non performing loan (NPL) sudah berada di atas 5%, yaitu batas atas yang ditetapkan oleh BI.
Secara sektoral, kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor perdagangan hingga 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, industri pengolahan sebesar 6,6%. Sedangkan penyaluran kredit UMKM sepanjang 2014 mencapai Rp671,72 triliun, tumbuh 10,1% dari posisi 2013 sebesar Rp 610,02 triliun. Porsi penyaluran paling besar berada pada usaha menengah senilai Rp329,47 triliun, disusul usaha kecil Rp201,97 triliun dan mikro Rp140,27 triliun.
Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini, selama ini penyebab masih tingginya suku bunga kredit untuk sektor UMKM adalah asimetric information. Artinya, bank belum mengetahui rekam jejak UMKM sehingga memberlakukan premi risiko tinggi. Bunga kredit yang dibebankan kepada UMKM berkisar antara 17% hingga 24% per tahun.
"Bagi sebagian bank, UMKM dipandang tidak bankable sehingga mengandung default risk berupa kredit macet. Untuk menekan risiko kredit macet, bank mewajibkan jaminan tambahan untuk kredit yang diberikan maupun jaminan kredit yang dimiliki nasabah,"ujarnya kepada Neraca, Kamis (26/2).
Selain itu, Hendri menilai kini kencenderungan kredit dari perbankan umumnya masih bersifat konsumtif. Seharusnya, kredit yang disalurkan lebih diprioritaskan kepada sektor produktif, sehingga dampaknya bisa lebih efektif dalam mendukung pertumbuhan perekonomian.
"Dampaknya, pertumbuhan ekonomi melambat karena ekspansi pengusaha menjadi berkurang. Belum lagi jika permintaan produksi menurun tajam, bukan tidak mungkin bakal ada perampingan tenaga kerja," ujarnya.
Direktur UKM Center Universitas Indonesia Nining Indroyono menilai, salah satu penyebab kredit macet di UMKM adalah suku bunga yang terlalu tinggi. Dia mengatakan, bunga bank untuk UMKM tinggi lantaran nilai kredit yang disalurkan kecil-kecil jadi banyak cost yang dikeluarkan. “Semakin besar nilai kreditnya, maka semakin kecil suku bunganya. Karena kredit itu dipengaruhi oleh sustainability dari kreditor dan biaya kredit, misalnya materai, surat perjanjian, biaya staf, dan lain sebagainya. Jadi, kalau kreditnya kecil seperti pada UMKM, maka sudah pasti bunganya sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu cara efektif untuk menurunkan suku bunga kredit UMKM, yaitu melalui mekanisme subsidi. Tapi masalahnya, kata dia, pemanfaatan subsidi tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena subsidi pada kredit bank juga punya dampak buruh. “Terlebih saat ini banyak yang bilang bahwa mekanisme subsidi dianggap sebagai bentuk kemubaziran,” jelasnya.
Di sisi lain, dampak negatif dari subsidi itu antara lain, sebuah produk menjadi tidak kompetitif di pasar. “Namun pada sisi lainnya sebenarnya juga ada dampak positifnya, kalau suku bunga tinggi, tentu orang juga akan agresif menabung. Sudah seharusnya, perbankan mengambil untung dari spread tersebut,” ujarnya.
Yang jelas, lanjut dia, Bank Indonesia sebagai regulator seharusnya memberikan batasan kredit agar tidak terjadi suatu persaingan yang tidak sehat. Seperti untuk BPR maksimal pemberian kredit sampai Rp 15 juta, kemudian bank-bank besar seperti bank asing memberikan kredit sampai di atas Rp 100 juta. “Sektor UMKM sebetulnya tak memperdulikan, apakah bank asing, BPR dan bank umum yang melakukan pembiayaan. Yang penting cepat dan syaratnya mudah,” ujarnya.
Dampak Suku Bunga Acuan
Pengamat ekonomi Indef Eko Lisyanto mengatakan pertumbuhan kredit UMKM sangat tergantung siklus ekonomi. Menurut dia, jika pertumbuhan ekonomi melambat, bank akan semakin hati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor UMKM lantaran khawatir kredit macet akan tinggi.
Menurut dia, masalah di sektor UMKM masih sangat klasik. UMKM terbebani dengan beban bunga yang tinggi. Di sisi lain, keadaan makro ekonomi Indonesia belum memungkinkan untuk diturunkannya suku bunga acuan. Otoritas perbankan perlu memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor UMKM agar perlambatan ekonomi tidak berdampak pada pembiayaan di sektor UMKM. Sektor ini merupakan bantalan krisis sehingga perlu terus didorong untuk berkembang.
Pengamat perbankan UI Telisa Aulia Falianty mengatakan, tingginya kredit macet UMKM dikarenakan kondisi ekonomi yang sedang melambat, disamping juga suku bunga acuan yang tinggi menjadikan bunga kredit bank untuk UMKM ikut merangkak naik. "Secara profitabilitas UMKM sedang tertekan oleh kondisi ekonomi yang melambat, ditambah lagi beban bunga kredit tinggi mengingat suku bunga acuan (BI Rate) masih tinggi," katanya.
Dengan melambatnya UMKM ini, lanjut Telisa menggambarkan melambatnya ekonomi nasional. "Ini jelas perlambatan di sektor UMKM mulai kentara, padahal industri dalam negeri 80% masih di dominasi oleh UMKM," imbuhnya.
Oleh karenanya, jika memang pemerintah ingin membangkitkan sektor UMKM. Maka bunga kredit ke sektor ini seharusnya lebih rendah daripada kredit lain. “Harus ada skema dari pemerintah agar perbankan bisa memberikan bunga kredit rendah kepada UMKM, atau dengan memberikan subsidi bunga," jelasnya.
Ada pun pemberian subsidi bunga itu diberikan pada UMKM yang memang skala menengah dimana laporan keuangannya memang sudah rapi, mengingat selama ini keinginan dari bank juga yang terpenting adalah track record dari laporan keuangan rapi. "Harus ada subsidi bunga untuk UMKM, tapi memang juga harus ada skala perioritas. Karena ini bersinggungan dengan subsidi (uang negara) jadi pertanggungjawabannya jelas," ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan, UMKM dan industri rumah tangga justru seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional. "Di berbagai daerah bahkan industri rakyat banyak yang sudah gulung tikar. Sebut misalnya industri ukiran di Jepara, industri kulit dan perak di Yogyakarta, industri logam di Tegal dan lain sebagainya," katanya.
Menurut dia, kebijakan pemerintah pada sektor perindustrian yang selalu mengandalkan investasi asing dan impor teknologi harus segera dirombak. Dia menyarankan agar adanya hubungan sub-kontrak dari industri besar dengan usaha industri skala rumah tangga. "Hubungan mutual dan saling ketergantungan antara industri skala besar dan kecil itu akan lebih menjamin industri kita secara berkelanjutan," katanya.
Karena itu, Suroto menegaskan industri skala rumah tangga harus mendapatkan prioritas kebijakan agar sektor industri di Tanah Air tidak terpuruk. Apalagi karena industri skala rumah tangga juga strategis untuk mengimbangi pertumbuhan minus di sektor utama pertanian. "Rakyat kita sebetulnya super kreatif. Asal diberikan lingkungan yang kondusif dari kebijakan perindustrian yang berpihak pada mereka maka kita akan dapat lakukan banyak lompatan," katanya. agus/iwan/bari/mohar
Jakarta-Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana mengubah Perum Bulog menjadi lembaga non-komersial yang tidak lagi berorientasi pada profit. Langkah ini salah…
NERACA Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan prasyarat kunci meningkatkan pendapatan per kapita setara dengan…
Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…
Jakarta-Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana mengubah Perum Bulog menjadi lembaga non-komersial yang tidak lagi berorientasi pada profit. Langkah ini salah…
NERACA Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan prasyarat kunci meningkatkan pendapatan per kapita setara dengan…
Jakarta-Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan, tahun 2025 akan menjadi periode penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia. Sementara itu,…