Pasar Obat Rata-rata Tumbuh 11% Per Tahun - Birokrasi Persulit Investasi, Industri Farmasi Terpaksa Bergantung Bahan Baku Impor

NERACA

Jakarta – Industri farmasi di Indonesia mengalami ketergantungan bahan baku dari luar negeri yang sangat besar lantaran 99% bahan baku masih harus diimpor. kondisi itu terjadi karena investasi di industi pengolahan bahan baku kurang mendapat dukungan dari pemerintah.

“Indonesia kekurangan bahan baku untuk farmasi. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah terpaksa mengimpor bahan baku impor sudah diuji klinis sehingga layak dibuat obat,” kata Chairman International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Lutfi Mardiansyah dalam diskusi bertema “Masa Depan Industri Farmasi dan Kepastian Hukum di Indonesia” di Jakarta, Rabu (22/6).

Padahal, imbuh Lutfi, pasar obat di tanah air mengalami pertumbuhan yang cukup besar setiap tahunnya seiring dengan kenaikan jumlah penduduk, membaiknya kondisi ekonomi, dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan.

Lutfi mengungkap, dalam setahun, konsumsi obat di tanah air rata-rata tumbuh sekitar 11%. Pada tahun 2010 lalu, nilai penjualan obat-obatan dengan resep mencapai US$ 2,4 miliar atau setara dengan Rp21,25 triliun.

“Bila dibandingkan dengan penjualan obat-obatan pada tahun 2009, maka ada pertumbuhan hingga 11%,” katanya di Jakarta, Rabu.

Lutffi memproyeksikan pada 2011 pasar obat-obatan dengan resep tersebut akan tumbuh 11% pula. Dia berharap pertumbuhan yang sama juga terjadi sampai lima tahun mendatang.

“Kalau melihat jumlah penduduk yang terus meningkat, kepedulian pada kesehatan, dan kenaikan GDP, maka pertumbuhan pasar obat tahun ini dan lima tahun ke depan bisa mencapai 11%,” jelas Lutfi.

Pertumbuhan pasar yang sama, imbuhnya, terjadi pada obat bebas atau OTC ("over the counter"). Tahun lalu total pasar obat-obat besar di Indonesia mencapai sekitar US$ 2 miliar atau sekitar Rp17 triliun.

"Berdasarkan data Askes, biaya kesehatan naik cukup tajam, namun pertumbuhan (pasar) obat tinggi, karena kontribusinya tidak signifikan terhadap total biaya kesehatan,” terangnya.

Dia menambahkan, kendati pasar obat mengalami pertumbuhan, namun tidak sebanding dengan pertumbuhan investasi.

Lutfi yang juga ketua asosiasi perusahaan farmasi asing itu mengungkap, ada sejumlah hambatan bagi perusahaan obat asing masuk ke Indonesia. “Saat ini ada 12 anggota kami kesulitan masuk ke Indonesia karena ketentuan tidak boleh mengedarkan obat, bila tidak memiliki pabrik di Indonesia. Ijin edar harus tunjuk perusahaan lain di Indonesia, padahal bagi perusahaan farmasi asing tidak bisa sembarangan kasih itu (obat),” urai Lutfi.

Selain itu, kata dia, hambatan lainnya adalah adanya ketentuan industri farmasi masuk dalam Daftar Negatif Investasi, sehingga perusahaan asing yang mau membangun pabrik di Indonesia harus bekerja sama dengan mitra lokal dengan komposisi saham asing 75% dan lokal 25%.

“Saya yakin kalau asing boleh 100%, maka investasi industri farmasi di Indonesia akan jauh lebih besar,” tutur Lutfi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan, kurang berkembangnya industri farmasi di Indonesia karena sektor ini berada di bawah Kementerian Kesehatan. Seharusnya industri farmasi berada di bawah naungan Kementerian Perindustrian. Sementara Kementerian Kesehatan harus menjadi pionir pelaksanaan kesehatan, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Sofjan menerangkan, ada satu hal yang mengganjal yaitu masalah Undang –Undang Sertifikasi Halal untuk Farmasi. Rancangan Undang-Undang Sertifikasi Halal yang tengah dibahas di DPR dan bakal menjadi Undang-Undang (UU) diharapkan tidak dijadikan senjata untuk mencari uang oleh orang atau kelompok tertentu. Kalau UU ini berlaku diharapkan tidak dijadikan senjata untuk mencari uang.

Dia beralasan, kalau UU Halal itu dijadikan senjata untuk mencari uang maka industri farmasi di Indonesia bakal tidak berkembang. “Saya pikir UU seperti ini tak perlu ada. Ini menghambat perkembangan industri farmasi kita. Negara-negara di Arab saja yang muslimnya hebat tidak membuat UU seperti ini,” tambah Sofjan.

Sementara itu pakar Hak Paten, Ansori Sinungan mengatakan, industri farmasi di Indonesia akan terus berkembang pesat ke depan, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar.

Menurutnya, agar pertumbuhan industri ini baik, maka perlu ada penegakan hukum yang tegas.

Dia menegaskan, penegakan hukum ini penting untuk mencegah jangan sampai ada pabrik obat palsu. “Obat palsu di Indonesia banyak. Oleh karena itu perlu ada penegakkan hukum, yang tegas oleh para aparat penegak hukum,” tandasnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…