Mendag : Perdagangan Bebas Menggunakan Protokol Bilateral

NERACA

Jakarta – Pemerintah baru menyadari dampak negatif dari kerjasama perdagangan bebas dengan China. Namun kalangan pengusaha dan pengamat menilai pengakuan pemerintah tersebut sudah terlambat dan tak bisa lagi menolong industri.

Hanya saja, saat diminta tanggapan terkait kritik terhadap pernyataannya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan enggan memberi komentar.

Mendag malah mengatakan perdagangan bebas sudah dibahas sejak tahun lalu dan kerangkanya sudah ada sesuai dengan arahan Menteri Koordinator Perekonomian dengan menggunakan protokol bilateral.

“Kita akan menggunakan protokol bilateral yang sudah kita bentuk dari tahun lalu untuk membahas hal-hal yang akan membawa Indonesia kepada perdagangan bilateral antara China dan RI yang tumbuh dan berimbang,” kata Mendag di Jakarta, Selasa (12/4).

Menurut Mendag, dalam protokol tersebut ada langkah-langkah yang sudah dan akan dilakukan, diantaranya meningkatkan investasi dari China dan mendorong hubungan Business to Business.

“Meningkatkan investasi dari China terutama untuk industri olahan, industri permesinan dan juga infrastuktur. Di luar itu, juga mendorong peningkatan kapasitas berbagai bidang, terutama daya saing kita,” ucapnya.

Terkait dengan peningkatan hubungan bisnis antar kedua negara, Mendag mencontohkan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sudah membuat perjanjian dengan asosiasi serupa di Cina.

API, imbuh Mendag, sudah melakukan kunjungan Cina untuk mempromosikan produk tekstil Indonesia. “Mereka (API) juga meningkatkan ekspor kita ke sana. Jadi kita bukan hanya impor tapi juga ekspor. Jenis yang kita ekspor ke sana yang memiliki daya saing seperti polyester fiber, meskipun ada juga yang kita impor  dari sana,” terangnya.

Menurut dia, hal itu merupakan salah satu tujuan untuk meningkatkan investasi dan daya saing. “Implementasi dari perjanjian bilateral ini saling menguntungkan dan tidak menyebabkan masalah. Tapi tentunya ada pekerjaan rumah dalam negeri yang memang sudah kita lakukan sejak beberapa waktu lalu, termasuk Infrastructure Summit. Ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan daya saing,” tuturnya.

Dia menegaskan, Kemendag akan benar-benar melihat sektor per sektor dalam  masalah daya saing. “Kalau kita lihat sector by sector kan masalahnya beda-beda ya. Ada yang mengalami masalah bahan baku, ada yang mengalami masalah mata pasokan. Kita benar-benar mempelajari sehingga bisa menjawab dengan tepat masalah yang dihadapi,” tukasnya.

Dia menambahkan, untuk perdagangan tugas pemerintah selain pengamanan perdagangan, juga pengawasan SNI dan pengawasan standar edar yang memenuhi standar label berbahasa Indonesia. “Ini berlaku untuk semua produk ya, termasuk diantaranya produk Indonesia. Ini bagian dari perlindungan konsumen dan mengamankan perdagangan,” cetusnya.

Sementara itu, terkait pengamanan pasar dalam negeri adalah seperti regulasi anti dumping dan safeguard. Dia menyebutkan, beberapa produk yang sudah dikenakan  bea masuk anti dumping (BMAD) antara lain produk baja dari China, Taiwan, Rusia, India dan Tailand. Kemudian plastik lembarn untuk kemasan dari Tailand. Selanjutnya alumunium  mildes dari Malaysia, polyester fiber dari China, India, dan Taiwan. “Ini beberapa dalam enam bulan terakhir sudah dikenakan bea masuk antidumping,” imbuhnya.

Sementara untuk safeguard, Mendag menukas, telah dikenakan untuk semua negara,  kecuali negara yang sedang berkembang yang impornya kurang dari 3% dari total  impor Indonesia. Produk-produk yang sudah dikenakan safeguard antara lain  keramik tableware, kawat seng, tali kawat baja ada dua macam, kain tenun dari  kapas. Ini yang banyak impor dari China tapi bukan hanya China yang kena.

“Langkah-langkah perdagangan telah dilakukan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk BMAD maupun Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPDI) untuk safeguard dan masih ada beberapa yang sedang dilakukan,” tandasnya.

Sebelumnya, kalangan dunia usaha dan pengamat ekonomi menilai pernyataan Menteri Perdagangan yang mengakui adanya kecurangan China dalam perdagangan dengan Indonesia sudah sangat terlambat dan tak ada artinya lagi.

“Sudah terlambat. Kok, pemerintah baru sadar sekarang,” tegas Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Ahmad Wijaya.

Menurut Wijaya, sudah tidak ada lagi solusi yang bisa mengatasi keterpurukan produk lokal yang disebabkan merebaknya produk China. Pasalnya, perjanjian perdagangan bebas sudah diterapkan dan tidak bisa dibatalkan lagi.

Wijaya menyebut, pemerintah sekarang lebih melihat kepada praktik politik, bukan praktik ekonomi. “Yang ada hanya wacana saja, tanpa ada realisasi,” ucapnya.

Dia menegaskan, hal itu karena pemerintah tidak melihat mikro ekonomi dan hanya mengutamakan makro ekonomi, sehingga yang dilihat hanya peredaran uang keluar masuk akibat perdagangan bebas. “Makro ekonomi itukan menjual negara, sedangkan mikro itu yang mensejahterakan rakyat,” tandasnya.

Saat ini, imbuh Wijaya, kalangan pengusaha condong menjalankan ekonominya secara sendiri-sendiri dengan mengimpor lebih banyak daripada memproduksi sendiri. “Pengusaha sangat kecewa dengan kabinet Indonesia Jilid II ini. Terlambat sudah pemerintah sadar, nanti semuanya jadi PT Trading Indonesia Raya,” selorohnya.

Selain itu, terkait klaim pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi 6,1%, Wijaya mengatakan itu merupakan pertumbuhan konsumtif, bukan pertumbuhan produktif. “Ini justru berbahaya,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menegaskan, perdagangan Indonesia tidak bisa ada pertolongan lagi. “Apa pentingnya pengakuan Mari Elka itu. Yang pertama kali menjerumuskan terpuruknya perdagangan di Indonesia pemerintah sendiri. Selamat menjadi kuli di negeri sendiri,” ucapnya.

Dia mengatakan, kebijakan pemerintah terkait perdagangan bebas tersebut sudah dikritik dan diprotes habis-habisan dalam rapat dengan DPR  RI. Tapi, lima menteri, diantaranya Mari Elka sendiri, Menteri Perindutrian Mochammad  Sulaeman Hidayat dan Menteri Keuangan yang kala itu masih dijabat Sri Mulyani  ngotot untuk menyetujui perdagangan bebas tersebut. “Yang nyesekin dada dan  nyebelin banget, mereka baru mengakuinya sekarang. Dua minggu ini baru pada ngomongin dampak perdagangan bebas. Dari dulu kemana aja. Katanya jangka pendek memang merugikan, tapi jangka panjangnya akan menguntungkan. Dari logikanya saja sudah nggak bener,” ketusnya.

Menurut dia, satu-satunya cara menyelamatkan perekonomian adalah dengan revolusi, minimal revolusi pemikiran dan sikap. “Kalau pemimpinnya masih terus memilih jadi penjilat dan mengabdi pada globalisasi, selamat semoga bangsa ini menjadi bangsa penjilat,” tandasnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…