Dukungan Dari Pemerintah Tak Jelas - Industri Indonesia Tumbang Ditangan China

Kalah dalam ketersediaan pasar dan pasokan bahan baku, industri nasional harus menyerah kalah di tangan China.

Industri nasional kesulitan bersaing melawan industri China akibat minimnya perhatian pemerintah dan tidak jelasnya strategi pemerintah untuk memajukan industri, termasuk ketidakmampuan pemerintah menyediakan pasar dan bahan baku memadai bagi Industri.

Sejak perjanjian perdagangan bebas Asean-China atau Free Trade Agreement  (ACFTA) diimplemetasikan secara penuh setahun yang lalu, produk-produk impor dari China langsung menyerbu Indonesia.

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, sepanjang tahun 2010 lalu, impor produk China yang masuk ke Indonesia nilainya mencapai US$ 20,424 juta. Artinya mengalami peningkatan sebesar 45,86% dibanding pada tahun 2009.

Padahal, pertumbuhan ekspor produk Indonesia ke China hanya sekitar 36,47%. Jumlahnya pun hanya sekitar 10% dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia dalam tahun itu.

Dalam tahun itu juga, rasio impor produk industri China terhadap total impor produk industri dunia sekitar 18,5 %, dengan nilai impor yang meningkat sebesar 33% dibandingkan tahun 2009. Sedangkan rasio ekspor produk industri Indonesia ke China terhadap total ekspor produk industri Indonesia ke dunia selama 2010, rata-adalah 8,21% dengan nilai ekspor yang meningkat sebesar 34% dibandingkan tahun 2009. Dari lima produk industri yang diimpor dari China dominan dibanding dari dunia yaitu produk mainan anak (73%), furnitur (54%), elektronika(36%).

Ketua umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa memandang, kalahnya industri nasional terhadap produk dari negara tirai bambu itu disebabkan pola industri di sana yang cukup masal, sehingga biaya produksinya jauh lebih murah.

Menurutnya, dalam implementasi ACFTA, industri nasional berhadapan dengan industri dari negara yang dirancang untuk memasok kebutuhan dunia. Sementara industri Indonesia hanya disiapkan untuk memasok kebutuhan satu negara. Kondisi ini tentu saja akan membuat industri domestik kesulitan bersaing.

Di sisi lain, Pemerintah China juga memberikan insentif khusus bagi industrinya seperti suku bunga yang cukup rendah dan insentif pemotongan pajak. Hasilnya, biaya produksi mereka lebih murah. “Sehingga menghasilkan produk yang lebih murah. Padahal berbicara produk konsumsi seperti handphone, produk elektronika, dan pakaian yang lebih murah, yang mengontrol adalah mekanisme pasar,” tutur Erwin.

Sejak awal, pemerintah China memang telah menyiapkan konsep industri yang cukup jelas sehingga industri negara itu terintegrasi dengan baik mulai dari hulu hingga hilir, plus kepastian pasokan bahan baku yang cukup besar.

Bagi Erwin, agar mampu bersaing dengan China, Indonesia harus berani melakukan perombakan dan mulai fokus dalam menjalani komitmen pengembangan industri. Pemerintah harus mulai melakukan pembenahan-pembenahan di lini yang masih dianggap lemah.

“Mau ke mana industri nasional diarahkan? Seperti apa daya saing yang akan diperkuat? Sebab, persoalannya sebenarnya adalah terletak pada jaminan pasokan bahan baku, yang kemudian mempengaruhi jaminan akses permodalan, suku bunga bank, serta infrastruktur,” jelasnya.

Bank, kata Erwin, tentu saja tidak mau membiayai industri yang pasokan bahan bakunya tidak terjamin. Misalnya, saat ini, industri yang berbahan baku dan menggunakan energi gas sangat sulit mendapat akses modal dari bank. Sementara industri China maju karena pemerintahnya turut campur dan tegas dalam urusan penyediaan bahan baku.

Apalagi, industri juga membutuhkan jaminan pasar. Erwin mencontohkan, seharusnya pemerintah tegas dan memiliki komitmen kuat untuk menggunakan produk dalam negeri. Termasuk dengan mencantumkan ketentuan itu dalam anggaran belanja pengadaan barang pemerintah. Pasalnya, adanya kontrak pengadaan tersebut, bisa berdampak pada terjaminnya keberlanjutan pasar dalam waktu cukup lama, bukan jangka pendek seperti sekarang.

Selain itu, acuan menentukan kontrak pengadaan barang juga jangan sekedar harga yang murah, apalagi kalau fokusnya hanya harga murah. Karena ujung-ujungnya pasti akan menggunakan produk China lagi.

“Sementara untuk produk-produk konsumsi seperti pakaian, itu sudah dikontrol mekanisme pasar. Konsumen tentu mencari barang murah. Karena itu kampanye cinta produk Indonesia, jangan hanya pada produk-produk art, tapi konsumsi massal juga. Kalau makanan dan minuman (mamin) sudah pasti masih menang produk lokal karena masalah rasa,” ujar dia.

Berdasarkan hasil kajian Kementrian Perindustrian, produk China yang masuk ke Indonesia, pembeli menganggap mengkonsumsi produk China lebih menguntungkan karena harganya yang murah. Selain itu, barang China lebih diminati pembeli karena lebih variatif, dengan desain menarik dan unik, dan banyak manfaat.

Erwin menilai, saat ini kalangan pengusaha mulai banting setir untuk menjadi importir daripada mengelola industri manufaktur. Hal ini akibat industri manufaktur di Indonesia memiliki resiko yang cukup tinggi, mulai dari masalah modal yang besar, masalah produksi dan bahan baku, hingga masalah buruh.

Kalangan pelaku industri mulai berpikir, bahwa menjadi importir pedagangan lebih baik, karena tidak harus menanggung resiko bisnis, sementara omzetnya tetap sama. Kecenderungan ini yang harus diubah.

“Itu sebabnya, industri manufaktur harus didukung dengan pemberian insentif. Misalnya, untuk industri yang belum ada di Indonesia dan sektor produk yang importasinya gampang, tarik investasinya. Berikan saja paket insentif yang diminta. Pasti benefitnya luar biasa. Belum lagi masalah suku bunga yang masih double digit dan infrastruktur yang sama sekali tidak lengkap,” kata Erwin.

John Mannopo, Ketua Umum Asosiasi Industri Perlampuan Indonesia (Aperlindo), punya pandangan serupa. Dia menilai, produk lampu dari China jauh lebih murah karena metode produksi masal yang dilakukan. “Mereka murah karena lebih banyak bikin, bahkan  80% (lampu dunia) itu dipasok dari China, termasuk ke Amerika,” jelasnya.

John berharap pemerintah lebih serius menangani industri dalam negeri, terutama dalam memberikan jaminan ketersediaan pasar. John mengaku ingin pemerintah mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.

Dia mencontohkan, pemerintah melalui PLN sedang menggelar program penambahan daya gratis. Sehingga ada peningkatan konsumsi lampu sebesar 30%, atau menjadi sebesar 260 juta unit. Padahal tahun lalu, konsumsi lampu baru sebanyak 200 juta unit. Sayangnya, yang akan diisi oleh lampu dalam negeri hanya sebesar 50 juta unit, walaupun kapasitas produksi nasional mencapai 500 juta unit.

“Kondisi ini serupa dengan tahun lalu. Dari perkiraan kebutuhan sebanyak 200 juta unit, sekitar 160 juta unit diantaranya diimpor dari  China. Sementara produk dalam negeri hanya kebagian 40 juta. “Kita kalah saing dengan produk China yang harganya jauh lebih murah,” tuturnya.

Keadaan ini diperparah oleh adanya kebijakan pemerintah yang mengenakan tarif Bea Masuk sebesar 5% untuk komponen lampu.

Sinyal bahaya dari sektor industri harus segera ditanggapi cepat oleh pemerintah. Lantaran industri nasional juga menyangkut masa depan jutaan pekerja.

Ketidakjelasan strategi dan rencana pemerintah dalam menghadapi serbuan produk China merupakan kelemahan paling mendasar. Sudah saatnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan duduk bersama untuk memecahkan masalah ini. Tanpa solusi cerdas dari pemerintah, industri nasional memang bakal bangkrut. 

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…