RI Bisa Jadi Produsen Petrokimia Terbesar Dunia

NERACA

Jakarta - Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi produsen petrokimia terbesar kedua setelah Thailand. Langkah yang dilakukan dengan meningkatkan program hilirisasi di industri petrokimia.

Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, saat ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk meningkatkan komunitas industri kimia. Karena dalam dua sampai tiga tahun ke belakang, industri kimia mulai mengalami kebangkitan setelah terpuruk pada tahun 1998.

“Kondisi ini memperlihatan ketangguhan sektor kimia, padahal bahan baku impor sebesar 60% dari total kebutuhan bahan baku, ini yang harus dimanfaatkan untuk dikembangkan,” terang Menteri Perindustrian MS Hidayat di Jakarta, Rabu (23/3).

Menurut Hidayat, melihat tingginya impor bahan baku dan pertumbuhan industri kimia yang bergerak pada 2-4%, pemerintah akan menyusun program pengembangkan hilirisasi kimia, guna meningkatkan value added. Untuk memperkuat hilirisasi petrokimia, pemerintah harus meningkatkan pembangunan unit-unit kilang minyak untuk memproduksi nafta dan kondesat.

“Salah satu langkah kita adalah memastikan pembangunan refinery dan pembangunan kilang untuk memperkuat industri nasional. Saat ini sudah ada dari Lotte Group, perusahaan asal Korea yang akan membangun kilang dengan investasi sebesar US$ 5 miliar, mereka sedang mencari lokasi antara Merak dan Subang,” terang Hidayat.

Dengan adanya pengembangan industri petrokimia hilir, lanjut Hidayat, Kemenprin bertekad untuk menghilangkan penggunaan bahan baku seperti nafta yang masih di impor. Sehingga industri dapat memiliki daya saing lebih tinggi.

“Itu jangka pendek. Untuk jangka panjang kita bisa menjadi produsen terkuat untuk industri petrokimia setelah Thailand serta bisa dapat menggantikan posisi pasar Thailand di Jepang,” terangnya. Thailand merupakan produsen utama produk petrokimia di Jepang.

Pengembangan industri petrokimia, lanjut Hidayat, merupakan hal yang sangat wajib. Hal ini karena petrokimia hilir merupakan salah satu industri dasar bagi industri manufaktur lainnya.

“Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa mempunyai industri petrokimia hilir yang cukup kuat sehingga industri mereka cukup maju,” tuturnya.

Apalagi, cadangan minyak bumi dan gas alam di Indonesia yang merupakan modal dasar industri petrokimia hilir cukup banyak ada di tanah air.

Hidayat mengatakan, saat ini cadangan minyak bumi di Indonesia mencapai 7,9 triliun barel, dan gas alam mencapai 160 triliun cubic feet serta batubara sebesar 105 miliar ton.

“Selama ini gas alam, batu bara dan minyak kita baru dimanfaatkan untuk sumber energi, sudah saatnya untuk dioptimalkan untuk peningkatan value added dengan pengembangan industri petrokimia hilir,” terangnya.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkat pengembangan industri petrokimia hilir, lanjut Hidayat, telah menyiapkan beberapa insentif fiskal berupa tax allowence sesuai dengan PP 62 tahun 2008, pemberian Bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) untuk bahan baku dan bahan baku penolong yang belum ada di dalam negeri.

Selain itu untuk kawasan khusus diberikan potongan pajak penghasilan (PPh) dan Pajak penambahan nilai (PPN) untuk kawasan ekonomi khusus (KEK). “Kita juga sedang mengodok insentif berupa tax holiday,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jendral Basis Industri Manufaktur Panggah Susanto mengatakan, industri petrokimia yang masih berpeluang untuk dikembangkan adalah industri bahan baku kilang minyak.

“Untuk upstream masih mungkin dikembangkan nafta, cracker, propylene dari kilang minyak, butadine, fatty acid, fatty alkohol, glycerin sedang untuk mid stream yang dapat dikembangkan butadiene rubber, caprolactam, sedang downstream adalah polypropilene, polythethylene, polycetal,” terangnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Plastik dan Olefin Indonesia (Inaplas) Budi Susanto Sadiman membenarkan langkah pemerintah untuk mengembangkan industri petrokimia.

Menurutnya, yang dibutuhkan untuk pengembangan industri adalah insentif fiskal berupa pemotongan pajak serta insentif untuk mendorong investasi dalam pembangunan kilang minyak di dalam negeri.

“Insentif yang diberikan dapat berupa fasilitas bebas pajak (tax holiday) dan pengadaan lahan mengingat untuk membangun kilang dibutuhkan lahan minimal 300 hektare,” kata Budi.

Disatu sisi, Budi memandang langkah pemerintah dalam melindungi industri dalam negeri dengan memberikan insentif Bea Masuk bahan baku dan memproteksi  impor produk serupa yang berasala dari negara di luar Asian sudah sangat tepat.

“Jika ingin kompetitif, industri Petrokimia harus memiliki kilang minyak sendiri. Sepanjang belum memiliki kilang, perlindungan tetap dibutuhkan dari pemerintah,” ujar Budi.

Berdasarkan data kebutuhan nafta untuk industri petrokimia sangat besar. Impor nafta sepanjang 2010 mencapai 2,08 juta ton dengan nilai US$ 1,66 miliar, angka tersebut meningkat 30% dari impor 2009 senilai US$ 1,02 milliar.

Budi mengatakan jika Indonesia dapat mengembangkan nafta didalam negeri maka pemerintah dapat melakukan penghematan devisa. “Dibutuhkan setidaknya tiga kilang baru dengan kapasitas sebesar 300.000 barel per hari yang harus dibangun dalam waktu dekat, sekitar 20% dari produksi kilang tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nafta sebagai bahan baku bagi industri petrokimia dan sisanya, sebesar 80 % bisa digunakan untuk menyuplai bahan bakar minyak,” tutur Budi.

Dia menambahkan, pembangunan tiga kilang tersebut untuk memenuhi target produksi polypropylene (PP) yang dibutuhkan industri plastik sebanyak 1,5 juta sampai 1,6 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini sebanyak 600.000 sampai 700.000 ton per tahun.

“Pembangunan kilang tetap menjadi domain dari PT Pertamina. Sementara, dari pihak swasta ada sejumlah perusahaan petrokimia yang bersedia mendukung jika diminta bergabung dalam konsorsium, termasuk dengan menggandeng investor asing,” tandas Budi.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…