Ganggu Daya Saing Industri Domestik - Industri Penyamakan Kulit Minta Pemerintah Cabut PMK No 88/2006

NERACA

Jakarta - Industri penyamakan kulit Indonesia minta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no 88 tahun 2006 tentang Ekspor Tertentu dan Pungutan Pajak untuk Ekspor Barang Tertentu.

“Kalau Kementrian Perindustrian berusaha meningkatkan daya saing industri penyamakan kulit degan revitalisasi, namun kementrian lain malah membuat peraturan yang menghambat,” tutur Sutarjo Haryono, ketua Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) di Jakarta, Selasa.

Surtarjo mengatakan, berdasarkan PMK no 88 tahun 2006 tentang Ekspor Bahan Baku Kulit, pemerintah membolehkan ekspor bahan baku kulit dengan tanpa pembayaran pajak tertentu. Ekspor itu juga dilakukan tanpa verifikasi barang oleh Bea Cukai.

“Regulasi ini tidak memberikan manfaat bagi industri namun malah menghambat industri karena industri dalam negeri juga masih membutuhkan bahan baku tersebut, ditambah lagi pajak eskpor dibayar negara tujuan sementara kualitas kulit kita terbaik,” terangnya.

Selain itu PMK ini juga memberikan peluang perubahan pos tarif oleh eksportir nakal. Dimana masih memungkinkan perubahan pos tarif demi menghindari pengenaan biaya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sanjaya, salah satu pengusaha penyamakan kulit yang juga mantan ketua umum APKI. Menurutnya izin ekspor yang diberikan pemerintah untuk kulit sapi alam negeri sangat merugikan. Pasalnya kualitas kulit sapi Indonesa termasuk kualitas terbaik. “Dan ini sering dimanipulasi eksportir agar tidak membayar pajak ekspor yang ditetapkan, izin ekspor ini harus segera dicabut,” lanjutnya.

Senjaya mengaku pernah mengajukan permohonan tersebut pada tahun lalu kepada Kementrian Perindustrian dan Kementerian Pertanian, namun hingga kini permohonan tersebut belum mendapat tanggapan.

“Kita berharap pemerintah mulai memperhatikan permohonan kami, semoga pengurus yang baru dilantik mau melayangkan surat yang sama lagi kepada pemerintah,” terangnya

Akibat adanya peraturan ini, sambungnya, industri dalam negeri kekurangan bahan baku. Saat ini kebutuhan industri dalam negeri sebesar 5 juta lembar untuk kulit sapi, dan 20 juta lembar untuk kulit domba, sedangkan kapasitas dalam negeri hanya sekitar 2 juta lembar untuk sapi dan 5 juta untuk kulit domba.

Karena kurangnya pasokan bahan baku, lanjutnya harga kulit terus mengalami peningkatan. Menurutnya, sepanjang pekan ini harga kulit sapi mengalami peningkatan Rp 2000 - Rp 3000. Dari harga minggu sebelumnya sebesar Rp 15.000 menjadi Rp 18.000.

“Produk dalam negeri tidak mencukupi, jadi dulu kita anjurkan kepada industri besar untuk mengimpor dan yang dalam negeri untuk industri kecil, tapi aturan impor juga memberatkan industri sehingga industri besar juga mengambil pasokan dalam negeri,” paparnya.

Beberapa peraturan impor yang menghambat, menurut Senjaya adalah perizinan pengeluaran barang dari badan karantina. Dimana dibutuhkan waktu 6-12 bulan untuk mengeluarkan 1 buah kontainer. “Akibat hambatan-hambatan tersebut utilisasi dalam industri hanya mencapai 50% saja,” terangnya.

Ditambah lagi peraturan dari badan karantina yang mengharuskan industri membuat instalasi karantina hewan sementara (IKHS) yang menggunakan dana perusahaan dan dibuat di wilayah gudang masing-masing. Menurutnya peraturan ini menyulitkan kalangan industri terutama industri kecil.

“Kalau industri besar tidak masalah buat ini, nah kalau industri kecil mereka harus buat tempat IKHS ditambah lagi harus menyewa dokter hewan, ini benar-benar beban buat industri,” terangnya.

Kendala lain yang juga dirasakan, lanjut Sutarjo, adalah tidak diakuinya perizinan impor yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertanian. Pasalnya setiap impor dari negara-negara yang diizinkan oleh Mentan tetap harus masuk ke dalam badan karantina dan belum tentu akan diizinkan masuk. “Mereka satu lembaga tapi keputusan tidak saling mendukung,” tuturnya.

Buka Impor Dari Asia

Melihat kebutuhan baku yang cukup besar, Senjaya meminta kepada pemerintah khususnya Menteri Pertanian untuk membuka izin impor dari negara-negara Asia, seperti Brunei Darussalam, Thailand, China, Arab Saudi dan beberapa negara Afrika. Hal ini karena harga kulit dari negara-negara yang diizinkan seperti Australia, New Zealand dan Amerika Serikat memiliki harga jauh lebih tinggi.

Menurutnya, perbedaan harga dari negara tersebut hampir mencapai 20%. Sementara negara-negara lain yang menjadi pesaing produk kulit Indonesia banyak melakukan impor dari negara seperi Thailand, China, Arab saudi. “Gimana mau kompetitf kalau harga bahan baku bisa lebih mahal 10-20%,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…